Column

Oleh Dr. Yusuf Amrozi, M.MT *

Pada pekan ke-5 perkuliahan di UINSA saat ini ruang-ruang perkuliahan, beranda gedung hingga di taman atau luar gedung kampus dipenuhi riuh aktivitas akademik dan suasana pendukungnya. Demikian juga geliat akademik mahasiswa di Fakultas Sains dan Teknologi di tempat saya mengajar. Bahkan sejumlah mahasiswa baru mengenakan nametag di dadanya dengan nickname. Hal ini mungkin dimaksudkan untuk mempercepat kenal antar sesama maba atau dengan kakak tingkat maupun agar mudah diketahui namanya oleh para dosennya.

Diantara fasilitas kampus selain ruang perkuliahan, menurut saya semua mahasiswa UINSA apalagi mahasiswa FST setidaknya ada 3 fasilitas lain yang harus lebih “diramaikan”, yaitu Laboratorium, Perpustakaan, dan Tempat Ibadah. Sebenarnya mengacu pada Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti), setiap kampus dituntut ada 11 sarpras minimal yang harus dipunyai, yaitu: lahan, ruang kelas, perpustakaan, laboratorium/studio/bengkel kerja/unit produksi, fasilitas berolahraga, ruang untuk berkesenian, ruang untuk unit kegiatan mahasiswa, ruang pimpinan, ruang Dosen, ruang tata usaha, serta fasilitas umum. Oleh sebab itu melalui tulisan ini saya mencoba mengelaborasi atau memberi highlight fasilitas pendidikan tersebut, terutama ke-4 yang disebutkan diatas agar saya tidak hanya menyampaikannya pada mahasiswa semester satu yang biasa saya ajar.

Pertama; ruang perkuliahan. Hal ini sebenarnya sudah tidak ada perdebatan sebagai fasilitas untuk transformasi pengetahuan kepada peserta didik. Namun yang menarik tentang kelas perkuliahan ini adalah apakah fasilitas ruangan tersebut telah sesuai dengan SN Dikti yang ada? Atau  di era teknologi informasi saat ini –bahkan dengan adanya pembelajaran daring, tuntutan fasilitas pembelajaran menjadi meningkat dengan kebutuhan “smart class”. Smart class atau smart classroom adalah ruangan untuk pembelajaran yang dilengkapi dengan teknologi digital untuk mendukung pembelajaran agar yang lebih interaktif dan menarik sehingga lebih memungkinkan efektivitas transformasi pengetahuan dan menunjang kompetensi mahasiswa.

Dalam hal smart classroom ini sejumlah literatur menjelaskan beragam, tetapi paling tidak ada dua kategori Smart Classroom, yaitu: Standard Smart Classroom (SSC) yang dilengkapi dengan perangkat keras seperti LCD proyektor dan laptop atau komputer di ruangan tersebut, hingga dilengkapi dengan whiteboard digital untuk menulis, presentasi dan penjelasan materi. Untuk integrasi data absensi, tiap ruangan dapat diberi semacam akses entry data untuk masuk ruangan, dan dapat “ceck out” kehadiran lagi setelah selesai jam kuliah. Entry data dapat melalui sistem finger, menggunakan smartcard atau cara lain.

Berikutnya adalah Virtual Smart Classroom (VSC). Dalam hal ini VSC biasanya sudah dilengkapi dengan peralatan seperti headset virtual reality (VR) untuk mendukung simulasi pembelajaran. Memang tidak semua jurusan memerlukan media VR ini. Tetapi nampaknya berdasar fenomena yang ada, teknologi virtual belakangan ini mampu memberi impresi yang lebih untuk kemudian membantu ketercapaian kompetensi peserta didik.

Selain daya dukung hardware dan suasana digital di dalam kelas, tentu dukungan tools administrasi pembelajaran dan fasilitas e-learning juga mutlak ada. Seperti fasilitas learning management system (LMS), termasuk untuk pembelajaran daring. Yang seperti ini di kita sudah tersedia. Aplikasi SINAU dan yang lain sudah menyatu di laman myuinsa.ac.id. Pada intinya Smart Class harus dapat mengakomodir blended learning atau pembelajaran yang menggabungkan tatap muka maupun daring.

Kedua; laboratorium. Hal kedua yang harus diramaikan adalah laboratorium. Mahasiswa eksakta seperti Fak. Saintek ini tidak boleh jauh jauh dari lab. Ini adalah suatu keniscayaan. Lab punya dua fungsi untuk pembelajaran dan untuk penelitian. lazimnya pada jurusan eksakta, desain kurikulumnya biasanya mengambil porsi praktikum yang tidak sedikit. Saya pernah diajak seorang kolega dosen ke kantornya di jurusan vokasi salah satu PTN di Surabaya. Sebagai dosen senior beliau justru kantornya di lab. Terus kemudian saya ketemu dengan mahasiswa disitu. Kebetulan laki-laki. Saya tanya, biasanya ngapain disini mas dan sampai berapa lama? Mahasiswa tadi menjawab: “Lab ini sudah seperti rumah saya pak. Untuk ukuran waktu sudah tidak terkira. Kebetulan saya sedang riset tugas akhir tentang perilaku dan kinerja motor listrik. Oleh sebab itu saya terbiasa nggulung dinamo motor listrik untuk mengetahui perbedaan karakteristiknya”, paparnya.

Bagaimana dengan lab di kampus kita? Seperti yang kita ketahui bersama secara umum masih bagus karena baru. Oleh karena itu kita wajib menjaganya. Tentu dengan cara memahami dan mempedomani SOP berkegiatan di lab atau manakala menggunakan peralatan di lab. Pengetahuan dan budaya K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) harus diketahui dan ditegakkan. Dengan seperti itu maka kita akan terbiasa menerapkannya saat sudah bekerja, apapun dan dimanapun pekerjaan kita. Alhamdulillah saya pernah diberi amanah oleh Lembaga Penjaminan Mutu UINSA untuk melakukan Audit Internal di Laboratorium Integrasi UINSA. Audit internal ini dilakukan untuk menyongsong Audit eksternal oleh manajemen ISO. Sebagaimana diketahui Lab. Integrasi UINSA adalah salah satu fasilitas kampus yang telah berlisensi ISO 9001:2015 untuk sistem manajemen mutu pada layanan pendukung pendidikan. Artinya ini telah berstandart internasional. Pengguna lab diberi hak komplain untuk menjaga kepuasan layanan. Selain itu secara periodik Lab. Integrasi di audit atau dikunjungi oleh tim surveilance ISO agar terjaga standart mutunya.

Ketiga, perpustakaan. Dulu saat mendengar kata-kata perpus, ya isinya buku atau bahan pustaka yang berjejer di rak serta deretan meja kursi baca. Itu masih iya, tapi perpus sekarang tidak cukup itu. Artinya buku, referensi ataupun sumber belajar lainnya mayoritas sudah harus terdigitalisasi dan dapat diakses kapanpun dan dimanapun asalkan memiliki otorisasi untuk mengaksesnya. Sehingga di era sekarang masuk perpus, duduk di kursi yang tersedia membuka laptop dengan sinyal wifi yang bagus,mengerjakan tugas atau merampungkan penelitian dengan membaca buku hardcopy serta dapat mengakses jurnal atau e-resources lain yang dilanggan oleh perpustakaan kampus. Anda boleh percaya atau tidak, suatu perguruan tinggi yang mapan tagihan pertahunnya untuk membayar publisher jurnal yang top tier bisa sampai satu M. Oleh sebab itu eman jika kita tidak memaksimalkan mengakses sumber pustaka tersebut.

Perpus UINSA semakin kesini nampaknya semakin oke. Selain telah terakreditasi A, tampilan dan fasilitas semakin keren. Demikian program dan layanannya, serta tentu saja pustaka yang dikoleksi. Beberapa minggu yang lalu saya diundang untuk menghadiri acara di perpustakaan kampus A Yani. Sebuah acara yang bertajuk Launching Aussie Banget Corner (ABC) yang dihadiri Konjen Australia tersebut salah satu inovasi dalam menghadirkan suasana baru, bahwa ada ‘Pojok Australi’ di perpus kita.

Launching Aussie Banget Corner di Perpus UINSA

Demikian pentingnya perpustakaan tersebut beberapa hari yang lalu Prof. Ahmad Zainul Hamdi (Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI) menulis artikel yang begitu ciamik di Arina.id1. Prof. Inung (sapaan akrab beliau) menjelaskan kira kira sebagai berikut bahwa majunya suatu peradaban bukan dibangun  dari kekuatan militer, tetapi dari kesadaran berfikir yang akhirnya melahirkan ilmu pengetahuan. “Dan kemajuan ilmu pengetahuan tersebut salah satunya didukung dari kualitas sumber pengetahuan yang ada di perpustakaan”, demikian pesan tersirat dari tulisan mantan wakil rektor III UINSA ini. Kita harus bangga bahwa setidaknya sudah ada 38 perpustakaan milik perguruan tinggi keagamaan islam negeri (PTKIN) hari ini telah terakreditasi A.

Oleh sebab itu biasanya manakala saya mengampu mahasiswa semester 1 pada prodi Sistem Informasi, saya sampaikan bahwa pada tahun pertama kuliah, hal yang harus anda ‘bereskan’ adalah keterampilan mengoptimalkan sumberdaya digital yang ada. Beberapa tools misalnya reference manager dan lainnya harus sudah diinstall di laptop masing-masing dan digunakan. Dengan demikian akan memudahkan pengerjaan tugas atau portofolio pada semester dan tahun selanjutnya.

Terakhir yang harus juga diramaikan adalah Masjid. Masjid sebagai simbol tempat ibadah ini tidak cukup dimaknai sekedar tempat atau ruangan untuk sholat. Tetapi yang perlu digaris bawahi adalah masjid sebagai simbol religiusitas. Artinya bahwa mahasiswa saintek harus juga belajar dalam menguasai ilmu-ilmu agama baik dari sisi pemahaman keagamaan yang moderat hingga keterampilan membaca al-Qur’an, dan seterusnya. Spirit agama harus dapat di internalisasi dalam keseharian melalui ritus-ritus ibadah, misalnya qiyamul lail, tadarus al-Qur’an, sholat dhuha, dan lainnya. Kehadiran Universitas Islam Negeri rata rata memiliki konsep dan filosofi dalam mengembangkan ilmu keagamaan dan non keagamaan. UINSA memilih konsep Integrasi Twin Tower, yang artinya mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu umum. UINSA berupaya menciptakan lulusan yang tidak hanya ahli dalam bidang keagamaan tetapi juga kompeten dalam ilmu sosial, humaniora, sains, dan teknologi. Dengan demikian iklim akademik yang dibangun harus mengandung nilai-nilai keislaman yang kuat sertamenggabungkan nilai spiritualitas dengan pengetahuan ilmiah. Namun demikian ketekunan ibadah tersebut juga harus dibarengi dengan etika moralitas dan amal sholeh.

Maka mengutip dua Hadist yang cukup populer bahwa “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang bekerja dengan baik. Apabila salah seorang diantara kalian bekerja, hendaklah dia melakukannya dengan bersungguh-sungguh” (HR. Thobroni), serta “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim). Semoga kita diberikan kemudahan dan keberkahan oleh Alllah SWT baik dalam bekerja maupun mencari ilmu. Amin Ya Robbil ‘Alamin.

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi Fakultas Sains dan Teknologi, dan Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi UIN Sunan Ampel Surabaya.

1 https://arina.id/mozaik/ar-oCwyZ/perpustakaan-dan-peradaban-manusia-berpikir