Articles

Dr. Slamet Muliono Redjosari

Akal sehat seharusnya mengarahkan manusia untuk membalas budi baik atas kemakmuran hidup yang telah diperolehnya. Namun kenyataan terjadi sebaliknya, dimana kemakmuran melahirkan kedurhakaan. Bani Israil merupakan contoh kaum yang mendapatkan kenikmatan, namun mereka tidak tahu diri dengan melakukan kekufuran. Kekufuran yang dilakukan berujung kebinasaan. Mereka dibebaskan dari perbudakan, hidup nyaman dengan perlindungan awan, mudah memperoleh makanan dan minuman serta kecerdasan yang tak diberikan kepada komunitas lain. Namun mereka menolak melakukan penyembahan kepada Allah semata. Manusia saat ini tidak berbeda dengan Bani Israil. Kemakmuran hidup justru mematikan nalar sehatnya. Hidupnya menjadi ancaman orang lain, hilang kepedulian sosial, dan ingin terus hidup dengan menumpuk kekayaan.

Anugerah Kenikmatan

Manusia banyak mendapatkan kenikmatan yang tak terhitung. Berbagai kenikmatan seperti organ tubuh berfungsi normal, bisa menikmati makanan dan minuman serta leluasa bepergian. Allah juga menyiapkan segala fasilitas kehidupan seperti air, udara, dan tumbuhan-pepohonan. Manusia juga dianugerahkan pula berbagai jenis binatang yang bisa disembelih, berkendara, atau menjaga dirinya.

Allah juga menciptakan langit dan bumi untuk kebutuhan hidup manusia. Dari benda langit, muncul matahari, bulan, dan bintang yang bermanfaat bagi manusia. Dari bumi muncul daratan, lautan dan berbagai sumber air yang bisa dimanfaatkan manusia untuk menopang kebutuhan hidupnya. Allah menyediakan semuanya sebagai bentuk penghargaan atas kemuliaan manusia.

Begitu kenikmatan terbentang, ketika diperintah untuk berterima kasih kepada Allah dengan menyembah-Nya, manusia justru enggan. Inilah bentuk kedurhakaan manusia dengan menolak perintah untuk mengagungkan Allah. Al-Qur’an merekam kedurhakaan manusia itu sebagaimana firman-Nya :

أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ بَدَّلُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ كُفۡرٗا وَأَحَلُّواْ قَوۡمَهُمۡ دَارَ ٱلۡبَوَارِ

Artinya:

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah  dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan ? (QS. Ibrāhīm : 28)

Al-Qur’an memastikan bahwa manusia yang melakukan kedurhakaan, setelah mendapatkan kenikmatan. Hal itu mengundang kebinasaan. Dikatakan mengundang kebinasaan karena telah melupakan Dzat yang telah memberinya berbagai kebaikan. Dengan menolak untuk mengagungkan-Nya, berarti melalaikan dan meremehkan-Nya.

Al-Qur’an memaparkan Bani Israil sebagai contoh komunitas yang telah mendapatkan kebaikan, tetapi menolak perintah Allah. Alih-alih berbuat baik, Bani Israil justru melakukan kedurhakaan sesaat setelah mendapat berbagai keistimewaan. Mereka diberi keutamaan dan menyaksikannya secara langsung. Awan telah menaunginya, makanan gratis diperoleh tanpa usaha maksimal. Namun ketika diperintah berbuat baik, mereka justru bermaksiat. Hal ini dinarasikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

وَظَلَّلۡنَا عَلَيۡكُمُ ٱلۡغَمَامَ وَأَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَنَّ وَٱلسَّلۡوَىٰ ۖ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ ۚ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَٰكِن كَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ

Artinya:

Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu manna dan salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS. Al-Baqarah : 57)

Melimpahnya kekayaan tidak serta merta membuat akalnya sehat dengan berbuat baik, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Mereka justru berbuat kerusakan. Kesehatan badan tidak dimanfaatkan untuk beribadah, kendaraan yang baik hanya dihabiskan dengan menyibukkan diri untuk berkeliling hingga melupakan Tuhannya. Istana-istana yang mewah dimanfaatkan untuk berfoya-foya dengan berpesta pora, berjudi, dan berzina. Bahkan harta kekayaan yang banyak justru semakin pelit dan tak peduli pada orang miskin.

Kekayaan yang melimpah ini justru menjadi pendorong perbuatan aniaya. Bukankah badan, kendaraan yang bagus, istana-istana mewah, kekayaan yang banyak justru melupakan dirinya untuk beribadah kepada Dzat yang telah memberinya kenikmatan.  

Kecintaan dunia

Al-Qur’an mendeskripsikan dengan detail bahwa kejahatan kemanusiaan berakar pada kecintaan pada dunia. Dunia sebagai permainan dan melailaikan mendorong manusia semakin berangan-angan tinggi. Mencintai dunia mendorong manusia untuk mewujudkan angan-angan untuk hidup dengan umur panjang. Umur panjang justru dimanfaatkan  untuk menebar kemaksiatan dan kedurhakaan. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

وَلَتَجِدَنَّهُمۡ أَحۡرَصَ ٱلنَّاسِ عَلَىٰ حَيَوٰةٖ وَمِنَ ٱلَّذِينَ أَشۡرَكُواْ ۚ يَوَدُّ أَحَدُهُمۡ لَوۡ يُعَمَّرُ أَلۡفَ سَنَةٖ وَمَا هُوَ بِمُزَحۡزِحِهِۦ مِنَ ٱلۡعَذَابِ أَن يُعَمَّرَ ۗ وَٱللَّهُ بَصِيرُۢ بِمَا يَعۡمَلُونَ

Artinya:

Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 96)

Orang yang bergelimang dalam kekayaan condong berkeinginan hidup abadi, dan tidak menginginkan kematian. Kehidupan yang panjang itu dimanfaatkan untuk menikmati kekayaannya. Mereka tidak ingin melewatkan sesaat pun di dunia ini kecuali ingin menikmati secara maksimal. Konsekuensinya, ketika menikmati kekayaan, manusia condong dan lupa terhadap sang pemberi nikmat. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang justru melakukan kemaksiatan di tengah banjirnya kekayaan. Al-Qur’an banyak memaparkan bahwa orang-orang yang diberikan keluasan rejeki justru sebagai tokoh atau sumber kejahatan.    

  Dunia dengan berbagai kenikmatannya benar-benar membuat manusia lupa diri dan lalai berbuat baik untuk akheratnya. Dengan kata lain, di tengah kekayaan yang melimpah terdapat dorongan untuk berbuat kerusakan dan lalai adanya hidup sesudah kematian. Bahkan mereka yang berlimpah kekayaan secara tidak sadar menjadi pelopor adanya penentang hari kebangkitan. Inilah puncak terkuburnya nalar sehat.

Surabaya, 19 Juni 2025