Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Semua mata calon penumpang fokus ke depan. Menghadapkan pandangan ke arah konter layanan. Untuk menunggu giliran check-in penerbangan. Ada dua belas konter di area B tempat para calon penumpang itu menunggu giliran. Di terminal internasional Bandara Soekarno-Hatta Jakarta di Tangerang. Jam kala itu menunjuk ke angka 03:28 WIB waktu dini hari. Di Hari Selasa, 22 April 2025. Dan dalam hitungan satu menit seusai itu, masing-masing staf yang semula berada di balik meja kedua belas konter itu tiba-tiba keluar. Menuju bagian depan meja konter-konter itu. Satu-persatu melakukan itu. Hingga semua staf di dua belas konter itu sudah berada di depan meja konter masing-masing.

Mereka lalu berdiri rapi. Dengan pakaian yang juga terkenakan secara rapi. Pandangan mereka juga fokus ke depan. Ke arah para calon penumpang yang sedang menunggu waktu untuk check-in penerbangan. Dan, dalam hitungan detik kemudian, mereka tiba-tiba secara kompak nan serempak berucap: “Selamat Pagi! Terima kasih telah setia menunggu!” Saat mengakhiri kalimat itu, mereka semua yang asli Indonesia itu secara serempak pula merundukkan badan. Mirip sekali dengan budaya masyarakat Jepang saat harus menunjukkan apresiasi kepada sesama. Semua kita pun dari calon penumpang penerbangan yang akan melakukan proses check-in di konter-konter itu seakan mendapati pemandangan asyik dan menarik.

Aku pun lalu berujar dalam hati: “Ahaaaa!!! Ini pemandangan pertama nan khas yang kudapati sepanjang pengalamanku bepergian dengan pesawat selama ini.” Mereka tampil kompak. Seakan ada orkestra kerja yang menggerakkan. Dan, pelayanan mereka sungguh menawan. Itu pun diawali dengan disiplin waktu yang sangat tinggi. Mereka memang baru membuka konter check-in jam 03:30 WIB dini hari itu. Diperuntukkan secara partikular untuk melayani penerbangan pertama jam 05:20 WIB, seperti yang kualami kala itu. Tapi, mereka sudah berada di titik pusat area layanan check-in itu sejak jam 03:15 WIB. Yakni, seperempat jam sebelum masing-masing konter itu resmi dibuka untuk pelayanan pagi itu.

Sungguh sangat disiplin. Sekali lagi, konter baru dibuka untuk melayani check-in penerbangan jam 03:30 WIB. Tapi mereka sudah berada di titik pusat area layanan check-in itu sejak jam 03:15 WIB. Artinya, semua sangat disiplin dalam bekerja. Kulihat sendiri, begitu mereka datang ke titik pusat check-in penerbangan di area B terminal internasional itu, masing-masing lalu mendapatkan briefing serta kertas kerja dari supervisor mereka di titik pusat check-in itu. Lalu dalam hitungan sekitar lima menit, masing-masing mereka lalu bergegas menuju konter layanan check-in masing-masing.

Dinyalakanlah komputer oleh masing-masing petugas layanan itu. Lalu disiapkanlah semua yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada semua calon penumpang yang sudah mengantri-mengular di garis antrean di depan dua belas konter layanan itu. Kusaksikan semua mereka begitu cekatan dalam bekerja. Cepat dan efektif dalam melakukan persiapan. Hingga angka 03:28 WIB ditunjuk oleh jarum jam, seperti kujelaskan di atas. Kemudian, mereka semua bergegas ke arah bagian depan konter masing-masing. Lalu keluarlah pemandangan menarik: suara koor keluar dari kedua belas pegawai konter layanan check-in penerbangan itu. Suara koor keluar secara serentak diiringi dengan gerakan badan merunduk yang serempak. Seperti kusebutkan di atas.

Tak berlebihan rasanya kusebut pemandangan itu sebagai kejadian khas. Sebab, banyak penerbangan internasional kujalani. Namun tak pernah kujumpai pemandangan serupa atau yang semisalnya. Kecuali saat ku sedang check in untuk penerbanganku ke Hawaii, Amerika Serikat, dari Jakarta kali ini. Karena itu, aku pun sempat terpanah menyaksikan pemandangan itu. Lalu, kubisikkan sesuatu ke dalam pikiranku: kau harus tulis kejadian itu untuk pelajaran hidup yang bisa ditiru! Maka, tulisan ini kubuat untuk mengabadikan peristiwa itu.  

Tentu, karena memang tugasnya adalah rutin untuk membantu pelayanan check-in penerbangan, maka pemandangan dari pegawai pelayanan yang kutemukan kala itu sejatinya juga terjadi dalam keseharian. Karena tugas mereka sehari-hari memang melayani check-in penerbangan itu. Hanya, aku sendiri baru berkesempatan bepergian dengan pesawat penerbangan itu. Dan dari situ aku menemukan kejadian itu. Jadi, tetap saja, apa yang kudapati kala itu adalah pengalaman baru bagiku. Belum pernah aku dapatkan pada pengalamanku sebelum-sebelum itu.

Tapi, kejadian yang betul-betul serupa kutemukan lagi saat aku harus kembali dari Hawai, Amerika Serikat, untuk pulang ke Indonesia melalui Bandara Honolulu. Tepatnya, di Hari Sabtu (26 April 2025), sekitar jam 08:30 pagi waktu setempat. Kala itu aku juga mau check in. Di konter penerbangan yang sama, ANA, di bandara itu. Pesawat ANA inilah yang membawaku terbang pulang-pergi Jakarta-Honolulu dan sebaliknya. Sebagai sebuah perusahaan penerbangan, ANA sendiri kependekan dari All Nippon Airways. Sebuah perusahaan penerbangan milik otoritas Jepang. Untuk proses check-in itu, tentu prosedur tetap berlaku. Yakni, semua harus mengantre. Sesuai dengan titik antrian kedatangan di depan konter pelayanan.

Dan yang menarik, semua yang kutemukan sebelumnya di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta seminggu sebelumnya kudapatkan juga di Bandara Honolulu itu. Persis sama. Semua pegawai pelayanan sudah datang dan berada di konter pelayanan check-in kira-kira lima belas sebelum konter dibuka. Mereka lalu mempersiapkan semua kebutuhan untuk terjadinya pelayanan check-in kepada seluruh calon penumpang. Dan, persis saat menit untuk menandai dimulainya pelayanan check-in itu, para pegawai di konter pelayanan itu langsung bergegas untuk berdiri di depan konter masing-masing. Lalu, mereka merundukkan badan dan mengucapkan salam kepada para calon penumpang yang sudah sejak beberapa saat sebelumnya mengantre di depan konter.

Ahaaa!!!, aku pun segera memahami. Bahwa pemandangan semacam itu adalah praktik baik (best practice) oleh perusahaan penerbangan ANA Jepang. Seluruh karyawan pelayanan check-in diarahkan untuk melakukan gerakan hormat dan terima kasih seperti diuraikan di atas. Gerakan hormat dan terima kasih itu dilakukan dalam kesamaan irama dan keserasian gerak tubuh yang berderajat tinggi. Pemandangan indah pun muncul. Dan semua calon penumpang yang sejak beberapa waktu sebelumnya sudah berdiri-mengantre bisa menangkap keindahan pemandangan itu. Akhirnya semua pun sedikit terhibur pula oleh pemandangan indah itu.

(Foto Konter Layanan Check-in Penerbangan ANA di Jakarta [Kiri] dan Honolulu [Kanan])

Begitu disiplinnya mereka dalam bekerja.  Begitu rapinya cara mereka bekerja. Bahkan lebih dari itu, begitu apik dan rancaknya mereka dalam memberikan apresiasi kepada para calon penumpang di awal pelayanan. Sungguh pemandangan yang menarik. Hingga aku sendiri menyempatkan diri untuk mengabadikan momen itu dalam video singkat. Karena aku pun tak mau ketinggalan dengan pemandangan khas nan unik itu. Tak pernah kusaksikan pada pelayanan dari perusahaan penerbangan lainnya. Unik dan khas sekali. Juga indah. Itu kesanku atas pemandangan itu.

Ada tiga pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian pelayanan penerbangan ANA Jepang di atas. Pertama, distingsi itu perlu, bahkan bisa wajib. Dalam urusan kerja pun, distingsi itu sangat diperlukan. Agar kinerja yang dihasilkan bisa melampaui standar. Persis bisa diibaratkan dengan es krim. Bahan dan rasa dasar es krim adalah vanila. Mungkin juga coklat. Atau strawberry. Tapi, yang membuat sebuah es krim berharga lebih mahal [jika dilakukan pembandingan setara], bukanlah bahan atau rasa dasarnya. Melainkan adanya toping yang diletakkan di atas cup es krim itu. Begitulah kira-kira posisi distingsi dalam sebuah perkara. Termasuk dalam urusan kerja.

Perusahaan penerbangan ANA Jepang telah mengajarkan bagaimana distingsi itu dilakukan pada bisnis layanan check-in penerbangan yang diselenggarakan. Seperti diuraikan sebelumnya, cara yang dilakukan perusahaan penerbangan ANA Jepang saat membuka dan mengawali layanan check-in itu adalah dengan suara koor secara serentak oleh staf konter layanan check-in diiringi dengan gerakan badan merunduk yang serempak. Itu yang menjadi bagian dari distingsi dimaksud. Tentu kita semua bisa menyaksikan bahwa dalam urusan lainnya, semua standar. Tak beda dengan perusahaan penerbangan lainnya. Tapi, bagaimana perusahaan penerbangan itu membuka dan mengawali layanan check-in yang diselenggarakan sungguh sangat khas sekali.  

Kata “distingsi” di sini tentu dalam maksud nilai kelebihan positif. Bukan dalam pengertian nilai negatif. Sebab, kalau nilai keburukan, tentu itu bukan cakupan distingsi. Tapi anomali atau deviasi.  Mengapa begitu? penjelasannya sederhana. Kata “distingsi” itu terambil dari Bahasa Inggris, distinction. Artinya adalah excellence. Yakni, keunggulan. Maka, cakupan nilai dari kata “distingsi” adalah nilai kelebihan yang positif. Jika tidak, maka tak bisa disebut keunggulan sebagaimana yang dicakup oleh kata excellence. Melainkan anomali atau deviasi. Maka, setiap perkara, termasuk dalam urusan pekerjaan, baru bisa disebut distingtif jika terdapat keunggulan positif di dalamnya. Nah, nilai distingsi yang berbalut keunggulan ini yang harus diperkuat oleh perkara apapun jika ingin berharga atau bernilai lebih mahal dari yang lazim.    

Kedua, orkestrasi kerja adalah prasyarat awal untuk lahirnya kinerja. Bentuknya adalah serentaknya penunaian tugas pekerjaan dengan proses dan orientasi yang serempak. Itulah yang dipertontonkan oleh staf konter layanan check-in perusahaan penerbangan ANA Jepang di atas. Seperti diuraikan sebelumnya, mereka semua datang seperempat jam sebelum dimulainya layanan check-in penerbangan. Saat memulai layanan check-in tersebut, mereka melakukan koor secara serentak diiringi dengan gerakan badan merunduk yang serempak. Hasilnya adalah pemandangan yang indah dengan ketepatan waktu pelayanan yang tinggi. Para calon penumpang pun puas dan juga terhibur dengan keindahan tampilan kerja mereka.

Bayangkan jika para staf konter layanan check-in perusahaan penerbangan ANA Jepang datang telat. Atau melakukan teriakan suara atau koor dengan tidak serentak. Termasuk juga merundukkan badan secara masing-masing tanpa adanya keserempakan sama sekali satu sama lain. Tentu, calon penumpang akan kecewa. Karena layanan check-in tidak disipin waktu karena telat ditunaikan. Juga, tarikan suara dan gerakan tubuh merunduk para staf layanan check-in itu acak-acakan dan membuat bising. Maka, tak akan pernah tercipta kinerja yang maksimal. Alih-alih, tampilan kerja dipertontonkan secara asal-asalan. Dan, tentu semua itu akan jauh dari profesionalisme pekerjaan.

Karena itu, kepemimpinan memegang peranan penting untuk lahirnya orkestrasi kerja yang apik. Seandainya tak ada kepemimpinan yang efektif, maka orkestrasi kerja tak akan bisa diwujudkan. Alasannya sederhana. Persis dengan permainan musik orkestra di atas panggung, jika tak ada pemimpin orkestra, maka masing-masing komponen dalam kelompok kerja itu bergerak dengan kemauannya masing-masing. Akibatnya, tak pernah akan muncul lagu, nyanyian, dan alunan musik yang enak didengar. Penampilan pun akan mengecewakan. Telinga penonton akan terpekak dengan suara yang tak singkron. Mata pun dibikin sepet untuk menonton penampilan itu.

Ketiga, orkestrasi kerja tak memberi ruang bagi adanya kesenjangan antara kepemimpinan (leadership) dan kepengikutan (followership). Prinsip tiadanya kesenjangan ini muncul walaupun kepemimpinan memegang peranan penting untuk lahirnya orkestrasi kerja yang apik. Sebab, tak selalu ada jaminan sinkronisasi antara kepemimpinan dan kepengikutan jika tak ada loyalitas pada kepentingan institusi. Tiadanya loyalitas ini biasanya muncul karena kuatnya dorongan kepentingan personal daripada kerja, atau pengabdian, atau khidmat kepada kepentingan institusi. Gejala seperti ini bisa menimpa semua lapisan pekerjaan dan pelakunya. Mulai dari jajaran atas hingga yang paling bawah.

Kesenjangan kognitif bisa saja menjadi faktor lainnya. Tapi, sebagai sebuah tambahan analisis, kesenjangan kesadaran kerap jauh lebih menyolok daripada kesenjangan kognitif. Semua ini terjadi karena tak selalu informasi dan pengetahuan yang menjadi sumber dan basis kognitif mendorong seseorang untuk sampai kepada tingkat dan basis kesadaran yang memadai. Basis kesadaran bukan saja urusan kognitif, melainkan urusan mental hidup. Urusan kognitif hanya menjadi salah satu sumber kemungkinan saja bagi lahirnya sebuah kesadaran. Karena itu, kesenjangan kognitif bisa saja menjadi faktor, tapi kesenjangan kesadaran jauh lebih mendasar sebagai sebuah penyebab.

Maka berlaku prinsip: jangan pernah bermimpi bisa menjadi pemimpin yang baik jika untuk menjadi pengikut yang baik saja tak mampu. Karena itu, menjadi pengikut yang baik itu modal penting untuk bisa bergerak pada saatnya untuk bisa menjadi pemimpin yang baik. Dari prinsip inilah, maka penting bagi setiap kita untuk menjalani proses secara baik melalui penunaian setiap tugas pekerjaan yang diamanahkan saat menjadi pengikut. Selanjutnya, penting pula untuk mengambil makna dan pelajaran atas pengalaman dalam menjalani proses itu. Semua itu dibutuhkan agar muncul kecakapan bidang yang dibutuhkan bagi sebuah jenis pekerjaan serta sekaligus mentalitas kerja yang menjadi penumbuh kesadaran positif atas pekerjaan.

Di sisi lain, pemimpin yang lahir karena pengalaman menjalani proses dan memaknai setiap jenis dan uraian tugas dari tingkat yang lebih bawah secara baik akan besar kemungkinan untuk memiliki kecakapan kerja dan kesadaran hidup yang lebih kontributif. Sebab, menjadi pemimpin tak bisa main sulap. Tak bisa ujug-ujug atau tiba-tiba lahir. Butuh proses yang harus dijalani. Butuh sistem karir yang harus diikuti. Butuh jenjang pekerjaan yang akan memberikannya pengalaman praktis dalam mengelola tanggung jawab. Saat semua proses, karir, dan jenjang pekerjaan itu diikuti secara baik, maka seorang pemimpin akan dilengkapi dengan mentalitas kerja yang baik pula.

Orkestrasi kerja yang apik memang harus dikelola secara baik. Kepentingannya adalah untuk lahirnya kinerja yang baik pula. Di sinilah kepemimpinan memegang peranan penting untuk lahirnya orkestrasi kerja yang apik itu. Namun, kepemimpinan yang baik dalam mengelola orkestrasi kerja yang apik itu hanya lahir dari pengalaman kepengikutan yang baik pula. Karena itu, jalanilah proses kepengikutan secara baik nan positif. Agar muncul pengalaman berproses yang baik. Kalau itu yang terjadi, maka pengalaman kepengikutan yang baik pada saatnya akan membentuk mental kepemimpinan yang baik dalam diri.

Sebab, sekali lagi, tak akan pernah terbentuk mental kepemimpinan yang baik jika tak pernah memiliki pengalaman kepengikutan sebelumnya yang baik pula. Memimpin orkestrasi kerja membutuhkan proses pembentukan mentalitas yang apik seperti ini. Harus disadari, ada saatnya berada dalam kepengikutan, dan ada saatnya pula untuk berada dalam kepemimpinan. Maka, prinsip paling penting adalah menjalani semua tugas yang diamanahkan secara baik dan bermartabat sebagai penunaian proses. Kata “bermartabat” ini penting diatribusikan sebagai penyempurna agar muncul mental kepengikutan dan kepemimpinan yang bermartabat pula. Ujungnya, agar lahir orkestrasi kerja yang berkinerja dan bermartabat untuk semua.