Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Balkondes. Kata itu menarik sekali. Enak didengar. Gampang diingat. Dan menimbulkan aura cantik di namanya. Awalnya kukira itu istilah baru yang muncul untuk menggambarkan desain bangunan yang berbasis balkon. Kukira juga awalnya istilah itu berasal dari Bahasa Spanyol, karena ujungnya ada fonem “des”, seperti “mandes” yang artinya dalam Bahasa Indonesia “mengirim”. Tapi ternyata aku segera sadar bahwa itu adalah nama singkatan. Kepanjangannya adalah Balai Ekonomi Desa.
Nama itu pertama kali kudengar dan kuketahui saat memulai liburan panjang lebaran idul adha 1444 H atau tahun 2023 lalu di serangkaian kota Yogyakarta-Magelang-Semarang. Kebetulan, pemerintah kala itu menetapkan libur idul adha cukup panjang waktunya. Idul adha sendiri jatuh pada Hari Kamis tanggal 29 Juni 2023, dan sehari setelahnya adalah tanggal merah. Bahkan sebelumnya, yakni tanggal 28 Juni 2023, juga libur sebagai cuti bersama. Akhirnya, libur pun panjang bisa kita nikmati kala itu.
Persis hanya beberapa jam seusai shalat idul adha, akupun pergi berkendara meninggalkan kota tempat tinggalku. Kuarahkan kendaraankan untuk menghabiskan empat hari liburan ke Yogyakarta, Semarang, dan Magelang. Titik awal dan akhir liburanku adalah Kota Yogyakarta. Kota yang tak pernah bikin aku bosan untuk menikmati keindahannya. Padahal di awal bulan Juni itu juga saya sudah menghabiskan liburan selama empat hari di kota itu.
Sesampai di Yogyakarta, kami lalu bergeser ke Magelang. Sekitar dua jam perjalanan darat. Itupun sudah plus kemacetan di titik pertemuan Kabupaten Sleman dan Magelang. Namanya Tempel. Sesampai di Magelang, akupun bersama keluarga intiku diajak oleh keluarga kakak iparku untuk bersama-sama menghabiskan waktu dengan menginap dan menikmati pemandangan dan wisata alam serta budaya di sekitar Candi Borobudur. Candi yang terkenal sebagai bagian dari tujuh keajaiban dunia. Itu setelah siang hingga sorenya kami habiskan di sekitar Wisata Kopeng dan puncak Gunung Merbabu yang sangat eksotik di Kabupaten Semarang itu. Saat sinar di puncak Gunung Merbabu mulai meredup, kami pun lalu bergeser ke Kawasan Candi Borobudur di Magelang.
Kala itu hari sudah petang. Cahaya mentari sudah tak terlihat lagi. Malam berganti menyelimuti. Kunikmati kuliner di area samping Candi Borobudur. Usai makan malam itu, kami pun lalu bergegas menuju Balkondes Ngadiharjo. Kata “Ngadiharjo” di belakang balkondes ini menunjuk ke nama desa. Letaknya di kaki Gunung Menoreh. Di sekitarnya adalah suasana pegunungan dan desa yang masih sangat eksotik dan genuine.
Setelah melewati ujung pedesaan, sampailah aku dan keluargaku di lokasi balkondes itu. Aku pun langsung terpesona dengan balkondes itu. Dikitari oleh pemandangan gunung. Desain lokasinya persis seperti resort. Keren banget untuk kebutuhan rehat dari rutinitas di kota besar seperti Suarabaya, tempatku menghabiskan hari-hari kerja sepanjang tahun.
Di balkondes itu, ada cottage yang bisa disewa untuk penginapan. Desainnya seperti rumah panggung. Tapi dengan arsitektur serba kayu nan indah. Kebersihan dalamnya sangat terjaga dan rapi sekali. Persis seperti layanan hotel berbintang. Ada jarak sekitar lima hingga enam meter antar satu cottage dan lainnya. Di ujung depan area balkondes itu ada lobby, persis seperti layanan hotel pada umumnya. Ada pula beberapa balai pertemuan. Desainnya terbuka. Semuanya dari kayu. Indah sekali.
Desain dan tata letak kawasan sangat modern. Area untuk penginapan cottage dibuat eksklusif yang tidak bercampur dengan para pengunjung atau tamu lain yang datang hanya untuk acara-acara besar tertentu seperti pesta pernikahan, rapat-rapat, atau kegiatan lain yang tidak mengharuskan pengunjung atau tamu menginap. Dengan begitu, tamu-tamu di penginapan cottage sangat terjaga privasinya. Tidak terganggu dengan tamu-tamu lain yang datang untuk berkegiatan singkat.
Di ujung lainnya, ada kawasan yang dikhususkan untuk kebutuhan parkir kendaraan. Ada pula ruang terbuka yang memanjakan pengunjung atau tamu yang menginap untuk jalan-jalan santai menikmati indahnya alam pedesaan dan pegunungan yang menjadi kelebihan balkondes itu. Bahkan, ada pula area terbuka yang dibangun dengan desain untuk pertemuan alam. Intinya, kawasan balkondes ini betul-betul serasa resort mewah di kawasan mahal, padahal senyatanya terletak di pedesaan di kaki sebuah gunung Menoreh yang penuh cerita itu.
Keindahan balkondes itu makin sempurna dengan keberadaan warga sekitarnya yang sangat ramah. Pagi itu, seperti biasanya, aku lari. Kali ini, aku ingin berlari sambil menikmati indahnya kawasan pedesaan di kaki pegunungan nan menyenangkan itu. “Mbah, monggo!” begitu kusapa seorang perempuan tua yang berjalan dengan sebuah gendongan yang ada di panggulnya. “Oh nggih mas, monggo,” begitu sahut simbah dengan ramahnya. “Tindak dateng pasar mbah?” tanyaku lebih lanjut sambil mengayunkan kaki. “Nggih mas, bade belonjo,” jawabnya dengan ramahnya.
Sampai di sini, cerita tentang balkondes dan keindahan alam di sekitarnya serta layanan menginap di dalamnya belum berhenti kunikmati. Usai sarapan, mobil kuno VW Safari dua biji datang memasuki parkiran balokendes itu. Kakak iparku menyewa dua mobil eksentrik itu untuk kami berdelapan. Aku dan anak-isteriku, serta kakak iparku beserta isteri, anak dan menantunya. Dua VW Safari itu didesain dengan kap yang bisa dibuka-tutup. Saat udara masih pagi, kap dibuka sehingga kita bisa menikmati udara yang sejuk di sekitar pegunungan Menoreh dan di pedesaan sekitar Kecamatan Borobudur yang dilintasinya. Saat hari sudah menginjak siang dan panas mulai menusuk, kap mobil ditutup.
VW Safari yang antik itu disewa dengan seluruh paket layanannnya. Komplit. Mulai dari kunjungan ke tempat-tempat UKM yang dijalankan oleh warga desa (seperti produksi rengginang dan gula merah), mengunjungi destinasi wisata, hingga mengambil gambar foto dengan pengarahan yang profesional pada titik-titik eksotik yang dikunjungi. Jumlah titik kunjungan serta jam sewa menentukan harga. Semakin banyak jumlah titik kunjungan dan jam sewa, semakin mahal harga yang dikenakan. Semakin lama jam keliling, semakin bertambah harga yang harus dibayar.
Melajulah pagi itu dua VW Safari yang kami sewa menyusuri pedesaan di sekitar Kecamatan Borobudur. Berangkat dari Balkondes Ngadiharjo, dua VW Safari itu membawa kami berkeliling menuju titik-titik yang sudah disepakati dari awal pada saat deal sewa. Masuk satu gang dan keluar di gang yang lain. Masuk satu desa dan keluar ke desa lainnya. Semua kami nikmati dengan duduk di atas kendaraan VW Safari yang cantik itu. Memoriku lalu melayang ke zaman akhir 1980-an kala ada film bioskop yang sangat terkenal saat itu: Catatan Si Boy. Berseri hingga Seri 3. “Wah, dengan tongkrongan VW Safari begini, kita serasa main film Catatan Si Boy nih, he he…. .” begitu komentarku pada keluargaku saat itu.
Mataku lalu terperanjat. Setiap sampai pada satu titik kunjungan, sudah bejibun di situ serangkaian mobil VW Safari. Bentuk dan desainnya menarik semua. Meskipun semuanya adalah mobil kuno nan antik. Setiap kali masuk atau keluar desa, setiap kali itu pula mataku tertuju ke sejumlah mobil VW Safari yang juga sedang mengantarkan tamu untuk keluar-masuk mengunjungi tempat-tempat UKM dan atau destinasi wisata itu. Semua mobil VW Safari itu tampil atas hasil desain modifikasi dan perbaikan masing-masing. Semua dengan tampilan yang sangat enak dipandang mata.
“Ada berapa jumlah total mobil VW Safari seperti ini di daerah Borobudur ini, Mas?” tanya kakak iparku pada sopir yang mengantarkan kami semua berkeliling di sekitar Kecamatan Borobudur itu. “VW Safari di sini total sebanyak 540 biji,” jawab simas yang bertindak tidak hanya sebagai sopir mobil VW yang kami tumpangi tapi sekaligus sebagai tour guide yang bisa menjelaskan banyak hal tentang apa yang ada di sekitar Kecamatan Borobudur. “Dari mana saja asal mobil sebanyak itu?” tanya kakak iparku lebih lanjut. Sang sopir mobil VW sewaan itu pun menjawab bahwa mobil-mobil itu didatangkan dari sejumlah tempat di Indonesia. “Ada yang bahkan didatangkan dari Sanur, Bali,” cerita simas yang menjadi tukang sopir VW Safari yang melayani keluarga kami menikmati kawasan sekitar Candi Borobudur dengan ramahnya.
Keluar-masuknya Mobil VW Safari itu dari satu kampung ke kampung lainnya membawaku kepada kekaguman lainnya. Ternyata, balkondes seperti yang kusebut sebelumnya bukan cuma satu biji. Bukan hanya Balkondes Ngadiharjo yang merupakan badan usaha milik desa (BUMDes) Ngadirahjo. Bukan. Ternyata ada sejumlah balkondes di beberapa desa di sekitar Kecamatan Borobudur itu. Yang membedakan tentu lokasi Balkondes tidak sama antara satu dan lainnya. Bergantung lokasi di mana desa itu terletak. Ada balkondes yang posisinya persis ada di pinggir jalan lintas desa. Ada pula yang di titik keramaian destinasi wisata. Dan ada pula yang di tengah area persawahan. Tapi tetap yang mengesankanku adalah Balkondes Ngadiharjo dengan segala keunggulan yang kusebut di awal.
Balkondes, bagiku, makin menarik bukan saja oleh posisi, keberadaan dan layanannya, tapi juga bagaimana kolaborasi terjadi di dalam penyelenggaraannya. Hampir semua balkondes dibangun di atas sinergi dan kolaborasi dengan BUMN. Bahkan, info yang kuterima, sejumlah balkondes memang dibangun oleh dana tanggung jawab sosial (social corporate responsibility) BUMN. Tidak bisa dinafikan, balkondes lahir dan tumbuh bersama asuhan BUMN dan kreativitas pemerintah desa. Sebagai contoh, Balkondes Ngadiharjo dibangun oleh Perusahan Listrik Negara (PLN), sebuah BUMN yang bergerak di bidang pengadaan dan pengelolaan tenaga listrik (lihat gambar di bawah). Saat aku berkeliling, kudapati pula bakondes lain yang dikembangkan bersama BRI, perusahaan perbankan nasional milik BUMN. Yang lain lagi oleh Pertamina.
Melihat fakta-fakta mengenai balkondes dengan berbagai layanan wisata di Kecamatan Borobudur di atas, pelajaran penting bisa diambil, yakni bahwa eksosistem adalah kunci kesuksesan sebuah proyek besar. Tidak bisa sukses besar diraih oleh proyek besar jika ekosistem tidak dibangun sedemikian rupa sebagai fasilitasi dan pendukungnya. Buktinya, suskesnya pengelolaan wisata Borobudur bukan sekadar mengandalkan pengelolaan candi yang menjadi salah satu keajaiban dunia itu. Tapi, sejumlah subproyek lainnya dibangun pula sebagai penguat dan pendukung wisata budaya itu. Apa itu? Ada balkondes yang dibangun bersama BUMN, lalu dikelola oleh BUMDes. Ada UMKM yang dikembangkan di tengah masyarakat dengan segala kekhasan produk dan prosesnya masing-masing. Ada pula ratusan mobil VW Safari yang dimobilisasi di sekitar wilayah itu untuk memanjakan para pengunjung.
Tidak berhenti di situ, bahkan ada pula ratusan sentrum kuliner yang memanjakan selera makan-minum para pengunjung. Belum lagi alamnya yang indah. Udaranya yang sejuk. Setting-nya pedesaan yang memberi pengunjung pengalaman tersendiri dibanding hidup di perkotaan yang sesak. Di area pedesaan itu, di mana mata memandang, di situ selalu didapati serba hijau. Pepohonan menjulang tinggi dengan bebasnya. Hampir tidak didapati deretan gedung tinggi yang memadati lingkungan alam sekitarnya. Dan lebih dari itu, warganya yang sangat ramah beserta kecenderungan budaya mereka yang sangat egaliter dengan memandang pengunjung seperti warga sendiri. Semua memberikan kesan baik dan mendalam kepada para pengunjung.
Intinya, pembangunan eksosistem yang menjadi prasayarat suksesnya sebuah proyek besar tidak saja berhenti pada bidang infrastruktur fisik semata, melainkan meliputi hingga infrastruktur sosial budaya. Pengelolaan wisata Borobudur tidak saja didukung oleh infrastruktur candi yang tetap dikelola secara apik, rapi dan menarik. Bahkan, keberadaan berbagai balkondes yang menarik di desa-desa sekitarnya juga menjadi penyumbang eksklusif terhadap suksesnya pengelolaan wisata candi Borobudur itu.
Memang tak bisa dimungkiri, ada infrastruktur sosial budaya yang menjadi penyumbang terbentuknya ekosistem wisata pada candi termegah di dunia itu. Penduduk lokalnya yang ramah kepada setiap pengunjung atau tamu luar adalah salah satu modal sosial budaya pendukung. Usaha bisnis UMKM lokal yang tumbuh di atas kreativitas khas oleh warga lokal juga menjadi pendukung yang lain. Lalu, yang lain, setiap penduduk lokal bisa bercerita banyak tentang wisata Borobudur dan segala pernik pendukungnya di sekitarnya.
Perguruan tinggi harus pula belajar dari suksesnya pengelolaan wisata Candi Borobudur di atas. Berpikirlah tentang eksosistem. Jangan lupa ekosistem. Bangunlah ekosistem atas proyek besar yang sedang dikembangkan. Itu semua dibutuhkan jika kampus ingin sukses dengan gagasan atau proyek besarnya. Dan penting dicatat: jangan berhenti pada pembangunan ekosistem berbentuk infrastruktur fisik semata. Bangunlah ekosistem secara lebih koprehensif hingga menyentuh modalitas sosial budaya masyarakat yang ada di dalamnya.
Balkondes dan berbagai layanan kuliner dan lainnya di area Kecamatan Borobudur di atas adalah infrastruktur fisik yang memang mendukung terbentuknya ekosistem wisata. Tapi, eksotisme sosial budaya masyarakat lokal juga menjadi pendukung penting lainnya. Bahkan, keberadaan layanan kendaraan keliling VW Safari penting dipandang tidak saja sebagai infrastruktur fisik dalam bentuk transportasi, melainkan juga penting dilihat dari nilai eksositisme campuran antara fisik dan sosial budaya dari mobil kuno yang khas dan tidak ditemukan di area wisata lainnya.
Dalam membangun ekosistem pendidikan tinggi, kampus secara khusus penting untuk tidak sekadar mengejar pembangunan infrastruktur fisik semata. Infrastruktur sosial budaya tak kalah pentingnya diperhatikan. Semua warganya digerakkan dalam satu nafas yang sama ke dalam gagasan utama dari proyek besarnya. Dengan begitu, mereka bisa bareng-bareng melangkah ke the next level dari pengembangan kampus. Lantas, masing-masing akan bisa bercerita banyak tentang perkembangan dan pengembangan kampusnya. Dengan begitu, setiap warga di dalamnya bisa bertindak sebagai public relation-nya. Mari belajar dari para sopir mobil VW Safari di atas. Mereka tidak saja bekerja mendarai mobil itu, melainkan sekaligus juga menjadi tour guide bagi para tamu atau pengunjung, sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Jangan mengeluh atas apa yang ada. Syukuri semuanya. Kurang atau lebih. Pas atau belum. Lalu, lakukanlah kapitalisasi atas aset yang ada. Bukan sekadar aset dalam bentuk fasilitas fisik, melainkan juga budaya dan kondisi sosial juga bisa menjadi kekayaan aset universitas. Semua harus dianggap penting untuk menjadi pembentuk ekosistem bagi sebuah pikiran dan proyek besar. Itulah kepingan poin mulia yang diajarkan oleh balkondes hingga pengelolaan wisata Borobudur di atas.