Akhlak, Emosi, dan Profesionalisme
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Kebetulan sekali. Pagi itu, Senin 2 Oktober 2023, saya duduk di kelas bisnis. Dengan penerbangan Batik Air. Menuju Jakarta. Jatah kursinya di nomor 1C. Depan sekali. Kala itu harus terbang ke Jakarta tuk menunaikan tugas sebagai anggota tim presiden untuk pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat. Karena tempat duduk di paling depan, jadinya saya orang pertama yang berhadapan dengan siapapun yang masuk ke pesawat. Termasuk orang pertama yang pasti dijumpai oleh kru pesawat. Mondar-mandirnya pramugari pasti tak lepas dari saya. Pandangan mereka pasti tak jauh-jauh juga dari diri saya. Akibat duduk di posisi terdepan.
“Selamat datang Pak Muzakki,” itu sapaan pertama yang kuterima dari seorang pramugari. Sapaan itu bagiku biasa aja. Lumrah. Lazim. Sebagaimana biasa kuterima dari pramugari penerbangan apapun. Mereka pasti menghafal nama-nama penumpang di kelas bisnis. Begitu asumsiku waktu itu. Sapaan akrab adalah bagian dari pelayanan yang diberikan oleh pramugari pada seluruh penumpang di kelas itu. Akupun tak pernah berpikir apa-apa kala itu. B aja! Begitu kalimat yang sering kudengar dari anak muda di sekitar saya saat ingin mengungkapkan kesan “biasa-biasa saja”.
Saya pun lalu dilayani inflight meals. Ditawari sarapan di dalam pesawat. Sebagaimana penumpang lainnya. Makanan dan minuman disajikannya. Usai menyantap sajian makanan dan minuman itu, sang pramugari mendekat: “Bapak, berkenan teh atau kopi?” “Kopi saja, Mbak,” jawabku segera. “Tapi tanpa gula ya,” begitu pintaku saat itu. Lalu beberapa menit kemudian sang pramugari itu memberiku kopi pahit sesuai yang kupesan. Alhamdulillah. Nikmat sekali. Dan sampai di sini, tidak ada yang istimewa. Sekali lagi, B aja! Biasa saja. Tak merasa ada yang diistimewakan. Karena layanan itu diberikan juga kepada penumpang lainnya. Satu-persatu. Lewat satu, yang lainnya juga dilayani seperti itu. Itu layanan standar. Kepada seluruh penumpang di kelas penerbangan itu.
Setelah sejam lebih sepuluh menit di udara, sampailah pesawat di Bandara Soekarno Hatta Jakarta di Tangerang. Seluruh penumpang diarahkan oleh pramugari untuk turun melalui pintu depan sebelah kiri. Sesuai urutan yang ditentukan. Akupun lalu mengambil tas bawaan dari kabin pesawat. Siap-siap untuk turun. Karena tempat dudukku persis di urutan paling depan bagian lorong, otomatis aku orang pertama kali yang akan turun meninggalkan pesawat. Nah saat menggerakkan kaki untuk keluar meninggalkan pesawat, aku disapa lagi sama pramugari yang tadi selama penerbangan melayani para penumpang di kelas bisnis. Termasuk diriku. Dia pun lalu mendekatiku seraya bilang: “Pak Muzakki, boleh minta foto?” Begitu dia menyampaikan permintaan itu dengan segala kesantunan berbahasa dan bertindaknya sebagai pramugari. “Boleh,” jawab saya seketika itu.
Kaget juga saya kala itu. Selama ini aku nggak pernah punya teman pramugari. Tak ada kaitan pula dengan kru pesawat sebagai rekan kerja. Dalam jabatanku sebagai pimpinan perguruan tinggi. Atas alasan itu semua, pantas aku kaget. Karena, kali ini ada pramugari kok ngajak berfoto penumpang. Diriku pula yang diajak. Bukan yang lain. Banyak penumpang lain, tapi tak ada yang diajak berfoto bersama. Hanya aku. Di sini aku merasa ada yang ganjil. Ada yang kurasa agak spesial. Ada pramugari ngajak berfoto bersama. Dilakukan persis saat aku hendak melangkah keluar meninggalkan pesawat. Itu yang membuat diriku terkaget. Heran campur penuh tanya. “Ketemu pirang pekoro iki?” bisikku dalam hati saat itu. Karena aku bukan pesohor. Yang biasa dikenal banyak orang.
Lalu sang pramugari itu meminta rekan sesama pramugarinya untuk siap-siap mengabadikan foto dirinya bersamaku. Aku pun kemudian diminta untuk bergeser sedikit dari lorong dekat kockpit. Untuk memberikan jalan ke penumpang kelas bisnis lainnya untuk keluar lebih dulu. Agar tidak mengganggu jalan mereka. Satu persatu penumpang kelas bisnis keluar. Meninggalkan pesawat. Senyampang itu, rekan sang pramugari itu juga menempatkan diri di dekat pintu keluar. Dan di tangannya telah tersemat gadget. Pertanda dia siap-siap mengambil gambar saya dan sang pramugari itu. Para penumpang di bagian kelas ekonomi pun juga tidak tahu dan tak bisa melihat pengambilan foto itu. Karena mereka masih sedang menunggu giliran seusai seluruh penumpang kelas bisnis meninggalkan pesawat. Posisi mereka juga masih terhalang oleh kain korden pemisah kelas bisnis dan ekonomi.
Kala menunggu diambil foto oleh rekannya, kepadaku sang pramugari itu pun bilang: “Saya dulu mahasiswa Bapak di Mata kuliah CAR.” Begitu dia memberikan penjelasan pendek. CAR itu adalah singkatan Classroom Action Research. Mata kuliah yang harus diikuti oleh setiap mahasiswa pada keilmuan pendidikan dan pengajaran. Nama lainnya Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Begitu dia nyebut CAR, aku pun langsung bisa memastikan: pasti dia alumni PBI. Pendidikan Bahasa Inggris. Tempatku mengajar. Di salah satu fakultas yang telah membesarkanku selama ini: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UINSA Surabaya. “Oh ternyata pramugari ini dulu pernah menjadi mahasiswaku,” simpulku kontan saat mendapat penjelasan singkatnya.
Wow hebat, anak PBI jadi pramugari👍. Begitu kesan spontanku dalam hati kala itu. Nama pramugari itu Anggun Pramesti. Aku tak sempat berfoto pakai kameraku sendiri. Karena penumpang kelas di belakang distop sama pramugari temannya yang memfoto Mbak Anggun dan saya. Nggak enak juga sama mereka😄 Lalu aku pun meninggalkan pesawat. Menuju pintu keluar bandara. Dalam perjalanan keluar itu, aku pun langsung berkirim pesan pendek. Ke WhatsApp Group PBI. Kuceritakan kejadian yang baru saja kualami itu. Di akhir cerita singkat itu, akupun mengungkapkan rasa banggaku selaku dosen kepada rekan-rekan di Program Studi (Prodi) PBI: “Selamat Prodi PBI.” Lalu ungkapan itu kutimpali dengan pesan singkat: “Monggo dilacak lebih lanjut melalui tracer study Prodi.”
Sobat,
Bisa saja dia pura-pura tak kenal denganku saat berada di pesawat. Bisa saja dia bertindak seakan-akan tak mengenaliku saat on board. Apalagi, saat dia harus bertugas melayani banyak orang. Apalagi saat dia harus menunjukkan profesionalismenya dalam menunaikan tugas jabatannya. Di kelas bisnis pula. Karena tanpa menyapa, toh saya juga tak tahu siapa dia. Lebih-lebih saat dia dalam seragam tugas profesi. Tanpa memperkenalkan diri, aku pun juga tak hafal satu persatu mahasiswa yang pernah kuajar kecuali sebagiannya saja. Apalagi saat di ruang publik yang bercampur dengan banyak orang pula.
Maka, pelajaran pertama dari perilaku Anggun Pramesti dalam penerbangan di pesawat di atas adalah: Sukses tak perlu kehilangan akhlak. Terutama terhadap guru. Sukses jangan sampai melupakan jasa guru. Tak menghilangkan penghormatan kepada dosen. Tak menafikan kemuliaan perlakuan kepada dosen. Itu yang sedang dipertunjukkan Mbak Anggun Pramesti kepadaku. Sebagai gurunya yang pernah mengajarinya. Sebagai dosennya yang pernah membimbingnya dalam mata kuliah. Dalam kisahnya di atas, menyapa adalah bagian dari penghormatan dan kemuliaan perilaku kepada gurunya. Apalagi mengajak berfoto bersama. Tentu itu adalah ekspresi penghormatan kepada dosennya. Toh, tanpa menyapa dan mengajak berfoto bersama, akupun sebagai guru atau dosen yang pernah mengajarnya tak mengenalinya lagi.
Karena itu, kita pun diingatkan oleh ajaran mulia. Ajaran berdoa untuk guru. Itu adalah nasehat mulia agama untuk menjaga dan melestarikan penghormatan kita kepada orang-orang yang telah berjasa dalam hidup. Khususnya melalui proses pendidikan yang pernah dialami. Ajaran berdoa untuk guru atas jasa-jasa pendidikan yang diterima sebetulnya adalah semangat agama yang ditumbuhkan kepada kita. Karena kita semua pernah menjadi murid. Kita semua punya guru. Dan karena itu, mendoakan guru adalah bagian dari upaya untuk selalu menaruh rasa hormat kepada guru. Tentu apalagi kepada orang tua. Dan, Mbak Anggun Pramesti dalam kisah di atas mengingatkan kita semua bahwa sukses hidup tak boleh menjauhkan kita dari penghormatan baik kepada seluruh orang yang pernah berjasa dalam hidup kita.
Kedua, profesionalisme tak boleh dikalahkan oleh emosi. Penghormatan Anggun Pramesti kepada dosen yang pernah mengajarnya tak membuat ikatan emosinya mengalahkan standar nilainya sebagai tenaga profesional. Selama satu jam lebih dalam penerbangan Surabaya-Jakarta, dia tahu bahwa saya dosennya. Orang yang pernah mengajarnya saat kuliah. Tapi, dia menjaga profesionalismenya. Dia jaga prosedur kerja standar (standard operational procedure). Dia junjung tinggi kode etik profesinya. Sebagai pramugari. Sebagai pekerja profesional penerbangan yang harus melayani semua penumpang tanpa ada diskriminasi di dalamnya. Apapun emosi yang mengikatnya. Termasuk dalam hubungan dosen-mahasiswa pada masa sebelumnya.
Kita memang diajari oleh Nabi Muhammad SAW. Tentang menjaga emosi di hadapan profesionalisme. Tentang mengedepankan profesionalisme di atas segala ikatan emosi. Walau berat, ikatan emosi tak boleh meruntuhkan profesionalisme. Lihatlah teladan hidup Nabi. Seperti salah satunya teruraikan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim: Law kanat Fathimah bintu Muhammad saraqat, la qatha’tu yadaha. “Seandainya Fatimah puteri Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.” Begitu terjemahan dari lafal Hadith itu. Dan Fatimah yang disebut oleh Nabi ini adalah puteri kesayangannya.
Sebagai ayahanda, sayangnya Nabi kepada sang puteri Fatimah tentu sangat besar sekali. Karena itu, ikatan emosi ayahanda kepada puteri kesayangan tentu sangat kuat dalam diri beliau. Tapi Nabi mengajari ikatan emosi itu tak akan membuatnya runtuh di hadapan profesionalisme sebagai pengemban risalah ilahiyah. Di antaranya dalam penegakan hukum. Dalam bahasa popular saat ini, nabi mengajari untuk tidak boleh mudah baper. Tidak boleh kebawa perasaan. Jangan baperan. Harus tetap profesional. Pernyataan Nabi dengan menggunakan kalimat pengandaian lau kanat (seandainya) dalam Hadits di atas menunjukkan besarnya komitmen Nabi pada profesionalisme. Fakta pencurian memang tidak pernah terjadi kala itu oleh puterinya. Tapi Nabi tetap menunjukkan komitmen profesionalismenya sebagai penegak hukum di ruang risalah ilahiyah itu.
Memang banyak yang menjadi penyembul dan sekaligus pengikat emosi. Bisa hubungan darah. Bisa hubungan kerja. Bisa hubungan pertemanan. Bisa hubungan guru-murid. Atau dosen-mahasiswa. Dan masih banyak lagi ikatan-ikatan individual dan sosial yang menjadi bahan baku ikatan emosi. Itu semua wajar saja terjadi. Wajar saja terbentuk. Karena semua kita sebagai individu adalah juga makhluk sosial. Madaniyyun bi al-thab’. Begitu Bahasa Arabnya. Beraktifitas, berinteraksi, dan bersosialisasi adalah bagian dari konsekuensi logis dari keberadaan sebagai mahluk sosial itu. Di situlah ikatan emosi muncul.
Tapi, apapun jenis dan pembentuk ikatan emosi itu tak boleh meruntuhkan tata pikir dan tindak profesionalisme. Kekerabatan, sebagai contoh, tak boleh mengalahkan profesionalisme. Pertemanan, sebagai misal lain, juga tak boleh membangkrutkan profesionalisme. Pun hubungan pernikahan sekalipun tak boleh menghancurkan komitmen pada profesionalisme. Semua ikatan emosi itu harus ditempatkan pada porsinya. Dia menjadi modal personal diri. Dan juga modal sosial tentunya. Dan mereka yang memiliki banyak ikatan emosi ini tentu akan memiliki jaring pengaman psikososial yang tinggi pula.
Namun, profesionalisme adalah ukuran kinerja yang harus dijaga. Profesionalisme adalah ruang kemuliaan yang harus dipelihara. Profesionalisme adalah ruang kebajikan yang harus ditegakkan. Di bidang kerja apapun. Dalam profesi apapun. Tak dibatasi oleh ada atau tidak adanya regulasi tertulis. Profesionalisme bak ruh dalam tubuh. Karena profesionalisme adalah bagian dari ibadah. Begitu inspirasi dan nilai yang dikandung oleh Hadits Nabi di atas. Karena itu, ikatan emosi dan profesionalisme tak boleh saling menjadi beban satu sama lain. Alih-alih, harus menjadi pendorong satu sama lain dalam nilai kebajikan publik.