Column UINSA

Terampil Sejak Dalam Pikiran

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D

Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Orang-orang mulai keluar meninggalkan ruang dalam masjid. Seusai shalat jumat berjamaah. Di Masjid Ulul Albab. Kampus A. Yani UIN Sunan Ampel Surabaya. Persis di awal bulan September 2023. Tanggalnya pun persis tanggal 1. Siang itu, saya bersama wakil rektor bidang kemahasiswaan, kerjasama dan alumni serta Kepala satuan Pemeriksa Internal (SPI). Bertiga bergegas kembali ke ruangan di Tower Teungku Ismail Yaqub (TIY). Persis depan masjid. Sambil mengayunkan langkah kembali ke tempat kerja, bersama kami berbincang. Soal tugas di kampus. Bincangnya memang santai tapi isinya agak berat. Tentang audit kinerja dosen dengan tugas tambahan. Mulai kepala UPT hingga dekan dan wakil rektor.

Sampailah kami bertiga di depan pintu masuk tower. Seorang perempuan yang menjadi petugas keamanan dalam gedung dengan ramahnya sudah siap berada di depan pintu itu. Membukakan pintu dengan tapping card (kartu tempel) yang dipegangnya. Karena memang dua tower, TIY dan KH Mahrus Ali, sudah menggunakan sistem tapping. Hanya yang memiliki tapping card yang bisa mengakses langsung ke dalam kedua tower. Dan, petugas perempuan itu selalu membukakan pintu khusus bagi pimpinan. Atau pegawai yang bekerja di tower TIY yang kelupaan membawa tapping card.

Begitu sudah memasuki gedung tower TIY, kudapati dua pegawai laki-laki yang sudah memencet tombol lift untuk naik ke lantai kerja masing-masing. Begitu lift terbuka, seorang di antaranya langsung memasuki lift. Lalu, ikutlah kami bertiga untuk masuk lift itu. Begitu kami berempat sudah berada di dalam lift, ada satu pegawai lelaki yang sebelumnya bersama temannya menunggu terbukanya lift justeru tidak mau masuk. “Ayo, bareng masuk!” kata saya. Lelaki itu sedikit menggeleng sambil menundukkan pandangan. “Yuk Mas, masuk yuk! Kita naik bareng-bareng,” ulang saya menawarinya kembali. Tapi, lelaki itu tetap tidak beranjak dari tempatnya berdiri sambil menempel ke tembok sebelah barat lift. Seraya menundukkan pandangan, lelaki itu seakan mengirimkan pesan untuk tidak bersama dalam satu lift.  

Aku pun langsung tersadar. Aku pun langsung paham. Ini adalah kampus para santri. UINSA adalah kampus yang mayoritas pegawai dan mahasiswanya punya latar belakang kesantrian yang kuat. Tradisi santri begitu mapan menjadi nafas hidup keluarga internal kampus Islam negeri ini. Saat lelaki itu menundukkan pandangan seraya memberikan isyarat untuk tidak mau ikut bersama masuk lift, otak saya langsung merespon. Aahhh, ini pasti tradisi santri! Ahaaa, ini pasti kebiasaan santri yang baik. Selalu menaruh hormat yang tinggi kepada yang lain. Lebih-lebih kepada seniornya. Begitu keyakinanku membisikiku saat itu.

Akupun tahu cara menyelesaikannya. Kubilang selanjutnya begini: “Ayo Mas, ikut masuk. Bareng naik. Lift iki ono regane lho. Lift ini ada biayanya lho.” Dua kali pernyatan ini saya sampaikan ke sahabat saya, pegawai lelaki yang sebelumnya selalu menundukkan pandangan dan mengisyaratkan tidak berkenan bersama pimpinan kampus untuk masuk lift. “Yuk ikutan Mas. Sekali naik, lift ini menghabiskan limapuluh ribu untuk biaya listriknya.” Kalimat ini terdengar dari sebelah saya dari dalam lift. Entah siapa yang mengeluarkannya. Yang pasti, kalimat itu mengingatkan agar sahabat saya itu ikut bersama naik lift. Kepentingannya untuk efisiensi penggunaan energi listrik. Tentu ujungnya untuk penghematan anggaran. Walaupun penghematan itu tidak lalu diikuti dengan praktik paranoid yang meronta-ronta akibat biaya yang bertambah. Akibat layanan yang serba modern.

Lelaki sahabat saya yang menjadi pegawai itu lalu berkenan untuk menggerakkan kakinya. Lalu, dia masuk ke dalam lift. Akhirnya, kami berlima pun lalu memencet nomor tombol lantai masing-masing. Menuju lantai kerja masing-masing pula. Kami pun akhirnya bersama naik lift. Meski keluarnya di lantai masing-masing. Sesuai tempat kerja. Kami pun bisa mengajak serta sahabat pegawai yang awalnya tidak berkenan naik lift bersama pimpinan. Kebersamaan tercapai. Dan, penggunaan listrik pun juga bisa dihemat. Kebersamaan tidak saja menghangatkan pertemanan. Tapi juga mempekuat penghematan.

Saudaraku yang budiman,

Ketahuilah, budaya membentuk kepribadian. Tradisi mencetak karakter. Kebiasaan menjanjikan kecenderungan. Tak ada perilaku tanpa pengaruh budaya. Tak ada karakter tanpa peran tradisi. Dan tak ada kecenderungan hidup tanpa kebiasaan. Budaya, tradisi dan kebiasaan adalah tiga kata kunci yang dipertukarkan (interchangeable). Memang ada nuansa di antara mereka. Tapi ketiganya berbagi makna. Atas sesuatu yang telah menjadi nafas hidup individual dan sosial kemasyarakatan. Saat budaya disebut, di dalamnya pasti ada tradisi dan kebiasaan. Kala tradisi disinggung, pasti di dalamnya ada budaya dan kebiasaan. Begitu pula halnya dengan kebiasaan.

Dalam kasus sahabat pegawai kita di atas, enggannya yang bersangkutan untuk ikut naik dalam satu lift bersama pimpinan tampaknya dilatarbelakangi alasan sederhana. Sahabat kita ini sedang mempraktikkan akhlaq kesantrian. Tidak berkenan berada dalam satu rombongan dengan pimpinan. Karena kesantunan. Selalu menempatkan orang yang dalam usia lebih tua atau jabatan di atasnya sebagai pihak yang harus dihormati. Bersama berarti mengurangi penghormatan. Berada dalam satu lift dipandang mereduksi ketakdziman. Dia pun tidak akan mau berada dalam satu lift jika tidak dipaksa oleh pimpinannya. 

Saudaraku yang budiman,

Kisah sahabat pegawai di atas memberikan sejumlah pelajaran penting. Pertama, janganlah pernah meninggalkan faktor budaya, tradisi, dan kebiasaan saat berkehendak untuk memahami perilaku seseorang. Atau bahkan tindak laku sebuah gugus masyarakat. Untuk dapat memahami perilaku, dekatkanlah perilaku itu dengan budaya. Dekatlah perilaku itu dengan tradisi. Dan dekatlah perilaku itu dengan kebiasaan yang mengitarinya. Jangan jauhkan perilaku dari budaya yang melingkarinya. Jangan cerabut perilaku dari tradisi yang membesarkannya. Jangan pisahkan perilaku dari kebiasaan yang mengkerangkainya.

Itu semua karena alasan yang mudah untuk dimengerti. Memisahkan perilaku dari budaya, tradisi dan kebiasaan yang mewadahinya hanya akan menjauhkan seseorang dari pemahaman yang memadai atas perilaku itu. Menjauhkan perilaku dari budaya dan tradisi yang membesarkannya hanya akan membuat kita gagal paham atasnya. Tidak menyertakan kebiasaan yang mengelilingi perilaku hanya akan membuat usaha memahami perilaku itu tak utuh. Tak akan ada pemahaman yang komprehensif atas perilaku jika tidak disertai pengetahuan yang baik pula atas budaya, tradisi, dan kebiasaan yang menjadi jangkarnya.

Maka, manajemen yang baik adalah manajemen yang mampu membaca perilaku dengan mengaitkannya dengan budaya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kepemimpinan yang baik muncul saat tradisi selalu disertakan dalam analisis faktor. Dan, kinerja akan terwujud saat kebiasaan diperhitungkan sebagai basis pertimbangan awal untuk membangun skema penguatan tata kerja. Kinerja akan maksimal kala budaya dan tradisi individu atau warga di dalamnya diperhitungkan ke dalam pertimbangan dini. Itu semua karena budaya, tradisi, dan kebiasaan yang berlaku penting dijadikan sebagai modal dasar yang tak berwujud (intangible asset) untuk penyusunan rencana kinerja. Dan ujungnya, kinerja pun akan mudah dicapai saat budaya, tradisi, dan kebiasaan itu dipahami dari sedini mungkin.

Diperlukan kecakapan untuk menangkap makna sebuah praktik perilaku sumber daya manusia yang ada. Dalam kasus sahabat kita, pegawai, yang awalnya tidak berkenan naik lift bersama pimpinan di atas, pikiran negatif bisa muncul saat budaya tidak disertakan dalam memahaminya. Syakwa sangka bisa muncul saat kita gagal memahami perilaku itu. Begitu beberapa kali diajak masuk ke lift tidak mau, saya pun langsung tergerak dalam kesadaran ini: ini pasti karena kebiasaan baik santri. Ini pasti karena akhlaq kesantrian. Maka, perilaku sahabat ini tidak bisa didekati dan dipahami kecuali dengan menyertakan budaya kesantrian ke dalamnya.

Kedua, jangan kesampingkan cara untuk melakukan perubahan. Berhasil atau tidak sebuah perubahan sangat ditentukan oleh pilihan strategi, metode dan mekanisme yang diambil. Kepemimpinan baru sukses saat mampu menggerakkan orang untuk mengikuti visi dan misi yang dibawa. Dan itu soal cara. Itu urusannya adalah strategi. Nama lainnya adalah metode dan mekanisme. Dalam nomenklatur kajian hukum Islam saja kita sering diajari prinsip ini: lil was’ail hukmul maqashid. Prinsip ini patut dipinjam untuk penunaian tugas kerja. Cara punya hukum yang sama dengan tujuan. Strategi sama pentingnya dengan visi. Metode sama signifikannya dengan tujuan utama. Mekanisme sama posisi pentingnya dengan program itu sendiri.

Maka, setelah memahami sebuah perilaku, langkah berikutnya adalah melakukan kegiatan aksi untuk mengubah perilaku. Caranya bagaimana? Ada konsep yang dinamakan change management (manajemen perubahan). Substansinya adalah sebuah tata kelola atau proses terstruktur dalam melakukan perencanaan dan pelaksanaan sebuah kegiatan aksi baru. Memang, change management mengajarkan bahwa mengubah pengetahuan itu level paling bawah dari empat level perubahan. Tiga lainnya tak lepas dari persoalan kesadaran dan sikap, penyusunan regulasi dan kebijakan, serta perilaku profesional. Namun, untuk mengubah pengetahuan itu saja butuh kecakapan. Perlu keterampilan tersendiri.

Dibutuhkan ikhtiar terukur yang bisa mengubah sebuah pemahaman awal yang dimiliki seseorang menjadi perilaku yang diharapkan. Langkahnya harus konkret penuh pertimbangan. Mengapa? Karena dalam langkah hidup apapun, seseorang kerap sudah memiliki pemahaman sendiri sebelumnya. Dia sudah barang tentu memiliki kesadaran sendiri. Dalam kasus sahabat pegawai di atas, sebagai contoh, pemahaman dan kesadaran dimaksud berkaitan dengan penghormatan kepada senior. Pimpinan atau atasan adalah nama lain saja dari istilah senior. Bisa juga istilah lain disertakan untuk menggantikan kata senior itu.

Nah, dalam kasus sahabat pegawai di atas, ikhtiar terukur untuk mengubah pemahaman dan kesadaran awal tentang penghormatan kepada senior itu penting dilakukan dengan cara memberikan pemahaman dan kesadaran baru. Bentuknya apa? Menerapkan strategi pengaitan niat awal penghormatan dengan kebutuhan pembiayaan. Kalimat seperti “Ayo Mas,… Lift iki ono regane lho… ada biayanya lho” serta “Yuk… sekali naik, lift ini menghabiskan limapuluh ribu untuk biaya listriknya” merupakan strategi efektif untuk men-challenge pemahaman dan kesadaran awal sahabat pegawai tentang penghormatan kepada senior. Wujudnya berupakesadaran baru mengenai implikasi pembiayaan akibat penggunaan listrik yang menggerakkan lift untuk sekali naik atau turun. Dan, akhirnya, sahabat pegawai kita ini berkenan masuk ke dalam lift bersama pimpinan untuk naik ke lantai tempat kerja masing-masing. 

Tidak semua perilaku muncul karena ketidaktahuan. Dalam beberapa hal, perilaku lahir karena sebuah pemahaman tertentu atasnya. Apapun jenis dan level pemahaman itu. Tak jarang perilaku justeru timbul karena kesadaran tertentu. Apapun jenis dan bentuk kesadaran itu. Tidak sedikit pula tindak laku dilakukan atas dasar bangunan pengetahuan tertentu yang dimiliki. Untuk itu, mengubah pengetahuan, pemahaman dan kesadaran adalah perihal mendasar yang harus dilakukan untuk penguatan tata kelola perubahan. Tentu menuju situasi yang lebih baik. Hanya, pengubahan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran itu membutuhkan cara dalam bentuk strategi, metode dan mekanisme tertentu yang terukur.

Maka, Saudaraku yang budiman, semua kita harus terampil sejak dalam pikiran. Bukan hanya terampil dalam praktik semata. Terampil dalam pikiran mengharuskan kita memperbanyak stok informasi dan pengetahuan dalam alam sadar kita. Stok itu dibutuhkan pada saatnya. Kita kadang tidak tahu. Kita kadang tidak sadar. Tapi, stok informasi dan pengetahuan itu selalu muncul saat kebutuhan memanggil. Apa yang dikenal dengan prior knowledge (pengetahuan awal) sebetulnya, meminjam bahasa bisnis perdagangan, sama dengan stock opname informasi dan atau pengetahuan. Semakin banyak, beragam, dan kuat prior knowledge, semakin lengkap pula stock opname yang tersedia.

Prior knowledge bisa merupakan hasil dari belajar melalui pengamatan. Bisa juga berasal dari pengalaman sendiri secara langsung. Dapat pula muncul dari pembacaan atas pengalaman sesama. Baik yang tertulis secara tercetak (printed)maupun visual. Untuk itu, yang dibutuhkan dalam hidup bukan sekadar membaca. Atau Bahasa Arabnya, qira’ah mayyitah. Yang dikehendaki adalah membaca yang produktif. Qira’ah muntijah, dalam istilah Arabnya. Yaitu kegiatan pembacaan yang selalu disertai dengan pemaknaan yang baik atas materi yang dibaca. Dan kata “membaca” di sini meliputi kegiatan membaca teks hingga mengamati fenomena.

 Prinsip lifelong learning kini semakin menunjukkan nilai pentingnya. Belajar sepanjang hayat. Belajar tanpa batas “pagar”. Belajar tanpa henti. Belajar tanpa tepi. Semua kita, lebih-lebih mereka yang dalam kepemimpinan dan atau manajemen organisasi, wajib menjaga prinsip lifelong learning ini. Dan belajar terus ini harus dilakukan kepada dan melalui siapa saja. Bukan saja kepada mereka yang berada dalam struktur superior. Tapi juga mereka yang, bahkan dalam struktur organisasi itu, tergolong inferior. Sahabat pegawai dalam kisah di atas ternyata memberikan pelajaran penting dalam hidup. Bahwa memahami seseorang, termasuk perilakunya, harus dimulai sedini mungkin dari pemahaman atas budayanya. Atas tradisinya. Atas kebiasaannya. Dan itu juga harus dilakukan oleh pimpinannya atas yang bersangkutan.