Artikel

Oleh: Eyyah Eylma

Seorang CEO Malaka Project, Ferry Irwandi kembali menjadi sorotan publik setelah ia mengungkap praktik bisnis berbalut hal mistis yang dinilainya tidak masuk akal, kali ini ia menyoroti bisnis garam ruqyah. Ia menyebut bahwa bisnis ini meraup keuntungan yang fantastis, karena hanya bermodalkan garam krosok biasa yang merupakan bumbu dapur, kemudian dijual dengan harga selangit setelah diberi pelabelan “Garam Ruqyah”.

       Garam dapur ini biasanya dijual dipasaran dengan kisaran harga sekitar Rp. 3.000 hingga Rp. 6.000 saja per 500 gram nya. Tetapi harga tersebut bisa melonjak hingga Rp. 190.000 setelah diberi label “ruqyah”.  Dengan harga jual antara Rp. 50.000 sampai Rp. 190.000, bisnis ini meraup keuntungan lebih dari 2.000 persen.

    Ferry Irwandi juga mengungkap bahwa ia mendapat data yang mengejutkan yang ia peroleh saat mengisi sebuah acara di perusahaan ekspedisi, diketahui bahwa omset satu toko garam ruqyah bisa mencapai 4,4 miliar rupiah. Hal tersebut menunjukkan tingginya tingkat permintaan masyarakat terhadap garam krosok ini di pasaran.

       Ferry menilai fenomena ini sebagai bukti betapa banyaknya konsumen yang tertarik pada produk yang diberi label “ruqyah”, meski bahan dasarnya hanya garam krosok biasa. Awalnya, jenis garam ini banyak digunakan sebagai bumbu dapur, tetapi seiring berkembangnya teknologi, garam ini bisa dijadikan untuk perawatan kulit dan kesehatan tubuh. Meskipun garam krosok ini memiliki banyak sekali manfaatnya, seperti menjaga keseimbangan elektrolit, melancarkan pencernaan dan meredakan nyeri otot, Ferry masih mempertanyakan tambahan klaim “Ruqyah” yang dijadikan alasan sebuah produk tersebut bisa melejit harganya.

      Dari fenomena tersebut dapat kita kaji menggunakan Teori Sakral dan Profan. Konsep Sakral dan Profan dalam Teori yang dikemukakan oleh Emile Durkheim ini memiliki makna tersendiri. Sakral yang dimaknai sebagai hal-hal yang dianggap suci, dihormati dan memiliki makna spiritual yang dianggap memiliki kekuatan yang luar biasa diluar jangkauan manusia. Sedangkan Profan sendiri memiliki makna, hal-hal yang bersifat biasa atau benda duniawi yang tidak memiliki kekuatan luar biasa seperti yang dimiliki oleh benda-benda sakral, profan juga tidak terikat dengan keyakinan atau kepercayaan agama tertentu.

       Dalam konteks ini Sakral bukan hanya berarti sesuatu yang baik atau suci, tetapi sesuatu yang dihormati dan dipisahkan dari kehidupan duniawi yang bersifat biasa. Menurut Emile Durkheim, perbedaan antara sakral dan profan ini tidak ditentukan dari sifat fisik benda duniawi itu sendiri, tetapi dari makna yang diberikan oleh masyarakat sekitar melalui praktik-praktik sosial keagamaan.

    Sehingga jika dilihat dari perspektif Teori Sakral dan Profan, garam secara umum merupakan bahan dapur yang bersifat profan (duniawi) yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi disisi lain, dalam praktik Ruqyah ini, garam mengalami Transformasi pemaknaan, dari benda yang profan berubah menjadi benda Sakral. Nah, proses perubahan makna yang terjadi pada garam tersebut melalui beberapa tahap :

  1. Melalui Ritual Keagamaan terlebih dahulu.

Garam yang hanya bersifat duniawi ini nantinya didoakan dengan bacaan-bacaan tertentu, biasanya ayat-ayat Al Qur’an atau bacaan lainnya, yang dibacakan oleh seseorang yang dianggap memiliki otoritas/jabatan keagamaan didalam wilayah tersebut.

  1. Kepercayaan Masyarakat.

Masyarakat yang meyakini proses ritual garam ruqyah ini memiliki kepercayaan bahwasanya garam ruqyah ini dapat mengusir gangguan gaib dan memberikan perlindungan untuk diri mereka maupun keluarganya.

  1. Proses Pemisahan dari kehidupan sehari-hari yang bersifat duniawi.

Setelah diberi label “ruqyah”, garam dapur ini tidak lagi dianggap sebagai bumbu dapur tetapi juga memiliki makna khusus sebagai perlindungan spiritual. Hal ini sesuai dengan konsep Durkheim yang menganggap bahwa sesuatu yang dianggap sakral itu bukan dari sifat fisiknya, melainkan dari makna yang diberikan oleh masyarakat dalam wilayah tersebut.

     Namun demikian, tidak semua orang bisa menerima konsep garam ruqyah ini. Banyak terjadi kontroversi pandangan dari beberapa kalangan masyarakat. Kelompok yang mempercayai adanya energi spiritual yang dihasilkan dari garam ruqyah ini meyakini bahwasanya garam ini memiliki kekuatan untuk melindungi dari gangguan gaib lainnya. Berbeda lagi dengan masyarakat yang memiliki perspektif bahwasanya garam ini tetap diyakini sebagai benda fisik tanpa memiliki kekuatan khusus atau spiritual, mereka meyakini bahwa praktik garam ruqyah itu terbentuk karena adanya sugesti psikologis dari masyarakat itu sendiri.

      Dengan demikian, hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat itu sendiri mengkonstruksi realitas sosial yang terjadi berdasarkan kepercayaan dan ritual keagamaan yang mereka anut.

Referensi:

  1. Muhammad, N. (2013). Memahami Konsep Sakral dan Profan dalam Agama-Agama. Jurnal Substantia 15(2), 269-270.
  1. Akmal Fikri, I. (2024, 11 Desember). Youtuber Ferry Irwandi Bongkar Bisnis Garam
  2. Ruqyah yang Raup Omzet Miliaran Rupiah, Begini Pesannya. Diakses pada tanggal 23 Maret 2025. https://radarjogja.jawapos.com/nusantara/655411387/youtuber-ferry-irwandi-bongkar-bisnis-garam-ruqyah-yang-raup-omzet-miliaran-rupiah-begini-pesannya.
  3. Durkheim, E. (2003). The Elementary Forms of the Religious Life. Yogyakarta : IRCiSoD.

Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sosiologi semester 2 FISIP UINSA