Column

TAK SEKADAR

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

“Kehadiran saya di sini berdampak atau tidak?” tanya Pak Azwar Anas. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi. Atau lebih dikenal dengan MenPANRB. Pertanyaan itu kontan oleh hadirin dijawab serempak: “Berdampak, Pak!” Pak Anas pun melanjutkan dengan pertanyaan berikut: “Kalau tidak berdampak, sangat disayangkan. Karena saya hadir jauh-jauh. Menghabiskan waktu, pikiran dan tenaga. Kalau tidak berdampak, terus buat apa saya berada di sini?😁” Senyuman lebar pun mengembang dari bibirnya. Khas Pak Anas. Selalu ceria. Hadirian peserta rakernas pun lalu bertepuk tangan.

Dialog di atas terjadi di arena rakernas 2024 Kemenag RI di Semarang. Tertanggal 6 Februari 2024. Pesertanya adalah semua pemangku jabatan pimpinan tinggi madya Kemenag RI. Juga diikuti oleh semua Kepala Kantor Kemenag Wilayah selaku pemangku jabatan pimpinan tinggi pratama dan Rektor Perguruan Tinggi kegamaan Negeri (PTKN) se-Indonesia. Kala itu, MenPANRB sedang menyampaikan materi reformasi birokrasi. Berbagai kebijakan baru diuraikan dengan lugas. Peserta pun menyimak dengan seksama. Mencermati setiap bagian kebijakan yang dijelaskan dengan penuh cerna. Pertanda semua dalam kehendak yang sama. Untuk berbenah demi tercapainya kinerja prima.

Foto MenPANRB Pada Pemberian Materi di Rakernas 2024 Kemenag

Tentu semua peserta merasa mendapatkan berkah. Dari Menteri Agama. Karena kehadiran MenPANRB itu difasilitasi oleh Menteri Agama. Meski dilaksanakan di Semarang, kehadiran MenPANRB sangat bermakna. Meninggalkan Jakarta untuk bisa bersama dengan peserta. Berbagi ilmu, berurai berkah. Melalui materi kebijakan dan ilmu manajerial birokrasi yang diuraikan dengan mudah. Rasanya mustahil bisa mendatangkan menteri dari kementerian yang berbeda. Apalagi di tempat yang jauh dari Jakarta. Ya, di Semarang Jawa Tengah. Tentu semua itu tak akan pernah terjadi jika tak ada campur tangan dari Menteri Agama.

Apalagi, Menteri Agama sangat menaruh perhatian pada reformasi birokrasi layanan. Pada kementerian yang menjadi milik semua agama tanpa pengecualian. Itulah yang dikehendaki oleh Gus Men sebagai nama panggilan. Karena itu, hadirnya MenPANRB dengan presentasi mengenai reformasi birokrasi bertemu dengan kepentingan Gus Men terhadap jaminan tinggi dan terukurnya kinerja semua pejabat internal kementerian. Dan atas alasan serupa itu pula, rakernas pun menyertakan peserta dari semua unsur pejabat elit di seluruh jajaran. Pusat hingga kewilayahan. Termasuk perguruan tinggi keagamaan negeri yang berjumlah puluhan.

“Penandatanganan pakta integritas ini tanda kesanggupan melaksanakan program yang berdampak bagi masyarakat,” begitu Gus Men menjelaskan besarnya perhatiannya pada penunaian jabatan birokrasi yang tidak biasa-biasa saja. “Itulah birokrasi berdampak,” tegas Gus Men. Penegasan Gus Men tersebut disampaikan pada momen penutupan rakernas 2024 Kemenag pada Selasa malam (06 Februari 2024). Birokrasi berdampak mempersyaratkan terukurnya hasil kerja. Harus bisa dirasakan manfaatnya. Dan semua harus punya tekad yang besar untuk melaksanakannya. Karena itu, dibuatlah pakta integritas.

 

Foto Menteri Agama RI Pada Penutupan Rakernas 2024 Kemenag

Pakta integritas itu tak main-main. Berlaku bagi seluruh pejabat pengambil kebijakan sektoral eselon satu hingga pejabat teknis. Termasuk pelaksana seperti seluruh Kepala Kantor Kemenag Wilayah dan rektor perguruan tinggi keagamaan negeri. Dan pakta integritas itu dibuat antara seluruh pejabat kemenag itu langsung dengan Menteri Agama. Tingginya perhatian Gus Men terhadap birokrasi berdampak tersebut diwujudkan dalam bentuk penandatanganan pakta integritas dimaksud. Dilibatkannya pejabat tinggi madya hingga pratama serta pimpinan perguruan tinggi keagamaan negeri seluruhnya dalam penandatanganan pakta integritas adalah bukti keseriusan Gus Men untuk menjamin terlaksananya birokrasi berdampak dimaksud di semua lini.

Penegasan soal birokrasi berdampak ini menjadi semangat dari pelaksanaan rakernas 2024 Kemenag. Seraya menegaskan perbedaan rakernas 2024 dibanding rakernas-rakernas sebelumnya, Gus Men menjelaskan lebih jauh konsep birokrasi berdampak. “Dampak itu adalah outcome. Kita selama ini hanya terjebak pada output. Dampak belum benar-benar tercapai.” Begitu urainya penjelasannya. Makna yang bisa ditarik begini: Program bisa saja usai dilaksanakan. Tapi belum tentu hasil bisa didapat. Karena, hasil adalah buah yang bisa dirasakan. Dan karena itulah, hasil menjadi nama lain dari dampak. Sekaligus juga pembentuknya.

Intinya, dampak mencakup nilai manfaat yang bisa dirasakan. Bentuknya adalah perubahan. Ada hasil yang bisa diukirkan. Itulah kira-kira semangat dasar dari birokrasi berdampak. Dua menteri muda di atas berbagi visi tentang bagaimana birokrasi seharusnya dijalankan. Latar belakang keduanya terasa berpengaruh terhadap bagaimana birokrasi seharusnya berpengaruh langsung terhadap layanan yang diberikan. Keduanya memiliki pengalaman dan latar belakang sebagai aktivis sosial kenamaan. Dari ormas besar keislaman. Tentu, pengalaman dan latar belakang ini menjadi sebuah faktor pembeda. Dan, menariknya, pengalaman dan latar belakang sebagai aktivis sosial itu dimanfaatkan untuk mempengaruhi kebijakan peneguhan layanan birokrasi yang ada. Agar bisa dirasakan manfaatnya.

Tak sekadar gugur kewajiban adalah cita-cita yang ingin dibangun oleh birokrasi berdampak. Kalau hanya sekadar gugur kewajiban, maka penunaian tugas jabatan dalam birokrasi akan biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Hanya asal telah dilaksanakan. Hanya asal sudah ditunaikan. Lalu, dianggap gugurlah kewajiban. Perkara apakah ada pengaruh apa tidak pada layanan birokrasi, itu tak jadi soal. Perkara apakah ada dampak yang ditimbulkan pada perbaikanan layanan birokrasi, itu tak pernah jadi pikiran. Yang penting usai. Yang penting sudah diselenggarakan. Tidak penting apakah masyarakat sebagai penerima manfaat program kerja bisa merasakan hasil dari pelaksanaan program. Tentu bukan ini semua yang diinginkan oleh birokrasi berdampak.

Birokrasi berdampak tidak berjalan dengan prinsip ‘asal gugur kewajiban’. Tak ada prinsip ‘sekadar’. Karena itu, birokrasi berdampak tentu bukan birokrasi biasa-biasa saja. Bukan hanya bahwa sebuah program direncanakan, lalu dilaksanakan, dan setelah itu dianggap beres. Bukan sekadar bahwa anggaran terserap dengan usainya program kerja dilaksanakan. Ukurannya bukan sekadar serapan anggaran. Bukan hanya itu. Tentu bukan sebatas itu. Sebab, kalau itu yang terjadi, maka itu birokrasi biasa-biasa saja. Mengapa? Meminjam bahasa Gus Men, kerja seperti itu ukurannya hanya output. Belum outcome.  Dalam bahasa manajemen, tingkat kepuasan para penerima manfaat layanan birokrasi harus dijadikan sebagai salah satu indikator konkret adanya dampak atau outcome dimaksud.

Sungguh semua bisa merasakan bahwa birokrasi berdampak menuntut diciptakannya tata kelola yang baik. Dan, manajemen yang baik tidak akan mengambil konsep business as usual. Karena konsep ini hanya menandai manajemen yang biasa-biasa saja. Dibutuhkan langkah-langkah yang tidak biasa-biasa saja. Mulai dari penciptaan hal baru (innovation), inisiatif (initiatives), hingga terobosan (breakthrough). Semua langkah ini diperlukan untuk memastikan agar praktik penyelenggaraan jabatan birokrasi tidak cenderung biasa-biasa saja. Sebab, perubahan yang terjadi di lapangan begitu cepatnya. Respon yang biasa-biasa saja tak akan membantu banyak terhadap pencapaian kinerja. Khususnya dalam merespon perubahan yang sangat cepat adanya.

Apalagi, perubahan yang cepat itu selalu diiringi dengan ekspektasi publik yang berubah cepat pula. Di sinilah, perencanaan yang baik menjadi kata kunci. Menjadi langkah pertama yang menjadi keharusan untuk disusun dengan daya kekenyalan yang baik. Ukurannya adalah kecakapan dalam melakukan prediksi atas perkembangan yang terjadi. Adaptabilitas menjadi bagian sentral dari kecakapan perencanaan yang jempolan. Di situlah kita diingatkan oleh Benjamin Franklin, Presiden Amerika ternama: If you fail to plan, you are planning to fail. Jika Anda gagal melakukan perencanaan yang baik, maka Anda sejatinya sedang merencanakan kegagalan.

Jika perencanaan telah dilaksanakan dengan baik, eksekusinya pun menuntut yang sama. Dibutuhkan komitmen yang terjaga. Tidak boleh angin-anginan adanya. Tidak bisa sambil lalu saja. Komitmen yang terjaga itu menuntut tekad yang membaja. Bahwa program beserta eksekusinya tak bisa dilaksanakan biasa-biasa saja. Harus dilakukan dengan semangat, motivasi, dan ukuran capaian yang prima. Dan yang lebih penting lagi, semua nilai berupa semangat, motivasi, dan ukuran capaian yang prima tersebut berlangsung dalam garis konstan dan kesinambungan yang terjaga.  Mulai awal perencanaan hingga evaluasi kerja.

Pemimpin birokrasi apapun sudah sepatutnya melaksanakan tata kerja dan tata pamong berbasis birokrasi berdampak di atas. Pimpinan perguruan tinggi juga termasuk di dalamnya. Mereka harus melakukan langkah-langkah strategis di atas. Dan, cara paling ampuh untuk menghindarkan diri dan lembaga dari jebakan business as usual adalah tidak berhenti dari inovasi. Termasuk dihadirkannya inisiatif dan terobosan baru. Harus diyakini rumusan berikut ini: Tiada hari tanpa inovasi. Tiada hari tanpa inisiatif. Dan tiada hari tanpa terobosan baru. Semua itu patut dilakukan untuk menjamin birokrasi kampus berdampak di atas. Bukan birokrasi kampus yang asal gugur kewajiban. Tak sekadar gugur kewajiban.

Konsep birokrasi berdampak, termasuk di kampus, di atas sejatinya sangat dikenal dalam tradisi kitab kuning. Tengoklah kitab mu’jam maqayis al-lughah karya Ibnu Faris (Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya) pada vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t) halaman 109. Ibnu Faris memaknai pendidikan dengan ukuran ‘berdampak’ juga. Dalam pemaknaannya atas konsep al-‘ilm sebagai simbolisasi pendidikan dari perspektif hasil, dia membuat ukuran  bahwa al-‘ilm itu: yadullu ‘ala atsar bi al-syai’ yatamayyaz bihi ‘an ghairih.  Bahwa ilmu sebagai hasil dari proses pendidikan menunjuk kepada adanya dampak atau pengaruh baik pada diri peserta didik oleh materi pembelajaran yang membuatnya memiliki nilai distingtif dibanding selainnya.

 

Foto Paragraf Halaman 109, Vol. 4, Kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah  

Artinya, untuk kampus pun, birokrasi berdampak itu seiring dengan konsep pendidikan berdampak. Pendidikan tak akan ada artinya jika tidak menimbulkan dampak baik kepada peserta didik. Pendidikan tak akan ada maknanya jika yang dipersembahkan dalam proses pembelajarannya tidak memberi pengaruh apa-apa pada perbaikan kualitas diri peserta didiknya. Karena itulah, pendidikan yang disimbolisasikan dalam kitab mu’jam maqayis al-lughah di atas dengan produk luarannya berupa al-‘ilm harus memberi dampak dan pengaruh positif berupa manfaat untuk peningkatan kualitas diri peserta didiknya. Dampak inilah yang membuat peserta didik yang mengikutinya memiliki nilai pembeda dibanding sejawatnya atau mereka yang tidak mengikutinya.   

Maka, dalam banyak kasus, pengelola kampus penting untuk melaksanakan ini: melompat dan bukan melangkah. Kalau melangkah pasti dilakukan dari anak tangga satu ke anak tangga kedua. Dari jengkal satu ke jengkal kedua. Begitu seterusnya. Berlangsung biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Dan tidak ada capaian yang berlebih. Sebaliknya, melompat itu tidak sekadar dari anak tangga satu ke anak tangga kedua. Bisa saja dari anak tangga satu ke anak tangga ketiga. Atau bahkan di atasnya. Juga, bisa dari jengkal pertama ke jengkal ketiga. Atau juga bahkan di atasnya. Bergantung tingkat kekuatan diri dan maksimalisasi upaya yang dilakukan.

Jika melompat sudah mentradisi dan melembaga, sisanya adalah konsisten terhadap pekerjaan. Konsisten terhadap amanah jabatan yang diberikan. Dan dalam kaitan ini, komitmen menjadi bagian integralnya. Apalagi kampus adalah institusi keilmuan. Bukan saja penting untuk melembagakan yang baik. Akan tetapi juga membangun proses pelembagaan yang baik itu di atas basis konsistensi keilmuan. Juga, bukan saja penting bagi kampus untuk mentradisikan yang luhur. Namun juga membangun proses pentradisian yang luhur itu ke dalam mekanisme penunaian tugas dan jabatan di atas nilai konsistensi keilmuan yang diteguhkan. Komitmen keilmuan seperti ini yang penting diperkuat terhadap tugas jabatan yang diamanahkan.

Maka, birokrasi berdampak harus dibangun di atas fondasi pendidikan berdampak serupa. Dan atas prinsip ini, seperti diuraikan sebelumnya, kitab kuning yang lama menjadi basis keilmuan Islam pun telah menunjukkan afirmasinya. Diteguhkan keseiringan yang kuat antara keduanya. Kini, saatnya mengaplikasikan birokrasi berdampak itu dalam penunaian tugas jabatan yang mulia. Termasuk di dalamnya memperkuat pendidikan berdampak dalam kehidupan nyata. Tak sepatutnya bersikap hanya sekadar gugur kewajiban dalam menunaikan tugas jabatan yang ada. Juga tak seyogyanya bertindak hanya sebatas gugur kewajiban dalam menjalankan tugas pendidikan anak manusia. Semuanya harus memiliki dampak dan pengaruh baik untuk perbaikan kualitas diri sesama. Karena baik birokrasi berdampak maupun pendidikan berdampak tak mengenal kata ‘sekadar’ pada diri masing-masingnya.