“Afghans cherish custom but abhor rules. And so it was with kite fighting. The rules were simple: No rules. Fly your kite. Cut the opponents. Good luck.”
Sebuah kutipan dari novel fenomenal Khaled Hosseini, The Kite Runner (2003). Kalimat tersebut menggambarkan bagaimana orang Afghanistan sangat menghormati adat-istiadat, tetapi tidak menyukai peraturan. Diserupakan dengan tradisi adu layang-layang, di mana aturannya sederhana: Tidak ada aturan. Terbangkan layang-layang Anda. Lalu tebas lawan hingga putus.
Novel yang telah naik layar lebar di tahun 2007 dengan judul yang sama itu selalu teringat kembali sekitar sebulan ini. Sebabnya tak lain adalah adu layang-layang di Gunung Anyar. Di hamparan luas sisi Timur ujung Selatan Jalan Soekarno, yang kini keriuhannya sudah melebar hingga ke sisi Barat, bahkan Selatan jalan tol di area Pocan. Tiap sore saat keluar dari area Riverside Campus UIN Sunan Ampel Surabaya, terlihat banyak layang-layang menari-nari di udara. Diterbangkan. Sambitan, diadu. Tak sedikit yang putus. Ada anak-anak yang berlari memperebutkan. Sementara sebagian orang lebih memilih hanya menonton di tepian jalan atau lapangan. Bersama para penjual minuman dan makanan ringan yang juga tampak ikut meramaikan. Aliran communal vibes yang penulis dapat rasakan: So much fun! Dan yang kemudian terbetik di fikiran: Alhamdulillah. Indonesia ternyata masih baik-baik saja. Ini bukan Afghanistan-nya Amir dan Hassan.
Setidaknya, layang-layang yang terbang di langit UINSA, bukanlah layang-layang biru yang dikejar dan diperebutkan Hassan. Sesuatu yang tetap ia pertahankan meski dihajar hingga babak belur sekaligus dilecehkan kelompok Assef, demi janji yang sudah ia ucapkan untuk memberi layang-layang biru itu kepada Amir. Sosok tuan sekaligus teman yang justru secara pengecut hanya bisa sembunyi menyaksikan tanpa berani membantu menyelamatkannya. ‘Dosa pengkhianatan’ yang terus menghantui bahkan sejak Amir dibawa ayahnya lari ke California, Amerika Serikat demi menghindari ancaman pembunuhan dan peperangan yang menghancurkan kotanya. ‘Hutang kehormatan’ yang seakan baru bisa Amir bayar ketika puluhan tahun kemudian ia berhasil menyelamatkan Sohrab, anak Hassan, dari tindak kekerasan dan pelecehan Assef yang dikisahkan telah menjelma menjadi tokoh paramiliter di Kabul.
Sambil menunggu kesempatan bisa menyeberang Jalan Soekarno, penulis terkadang menebak-nebak, apakah ada layang-layang biru yang juga diterbangkan di langit UINSA ini. Layang-layang yang menjadi simbolisme kreatif Khaled Hosseini untuk menyimpul pergulatan kisah yang manusiawi. Antara persahabatan dan kesetiaan. Antara pengkhianatan dan penebusan dosa. Bahkan di kecamuk perang dan konflik politik, manusia tetaplah manusia. Ia menjalani hidup dengan rasa syukur dan kebanggaannya, ataupun rasa bersalah dan penyesalannya. Tak ada manusia yang tak memiliki ‘bekas luka’. Bedanya mungkin hanya cerita di baliknya, bentuknya, keluasannya, atau kedalamannya. Meskipun tak semua ‘luka’ bisa mengantar seseorang kearah yang lebih baik. Karena kemarahan dan dendam, tak jarang, bisa mengubah seorang manusia menjadi seekor binatang. Dalam The Kite Runner, Amir digambarkan sebagai seseorang yang termasuk ‘beruntung’. Bagaimanapun, adalah sebuah kenikmatan dan anugerah yang besar bilamana seseorang yang memiliki masa lalu gelap mampu membuka lembaran baru kehidupan di bawah terang kebenaran dan kebaikan. Seperti ditulis Rahim Khan dalam suratnya kepada Amir: “[…] Your father, like you, was a tortured soul, Amir jan […] Sometimes, I think everything he did, feeding the poor on the streets, building the orphanage, giving money to friends in need, it was all his way of redeeming himself. And that, I believe, is what true redemption is, Amir jan, when guilt leads to good.”
Mengikuti alur penokohan Amir, pembaca mungkin akan teringat dengan teori The Scapegoat-nya René Girard (1989). Bagaimana konflik batin dari sosok Amir bermula dari hasratnya untuk mendapatkan perhatian ayahnya (mimetic desire), serupa yang diperoleh Hassan. Amir merasa gagal di sini. Lalu mulailah mekanisme pengkambing-hitaman (scapegoat mechanism) melalui pelampiasannya pada sosok Hassan dari suku minoritas Hazara, yang secara ‘kasta’ sosial berada di bawah hirarki sukunya, Pasthun. Tetapi mekanisme mengorbankan orang lain inipun kemudian terbukti memakan dirinya sendiri. Dihantui oleh rasa bersalah dan penyesalan yang tak berkesudahan. Pintu pembebasan dirinya (revelation) dari hal ini kemudian baru ia jumpai ketika memutuskan menjadi sosok yang berani menghadapi resiko dan menanggung konsekuensi. Amir memilih terbang kembali ke negeri asalnya, Afghanistan, demi menyelamatkan Sohrab. Padahal sejatinya, ia sedang berjuang membebaskan dan menyelamatkan dirinya sendiri. Karena meski tubuhnya telah lama bermigrasi ke California, tetapi jiwanya masih tertinggal di antara puing-puing kota Kabul. Bersama layang-layang biru yang dipigura di rumah lamanya.
di atas jerami kering kurebahkan kelelahan semusim
menatap lubang-lubang kecil di sela-sela genting tua
di mana cahaya menyusup masuk membuat fragmenta
seolah tali-temali yang tengah mengikat layang-layang jiwa
suksmaku ada di sana
(“Soul Kite”, Peziarah Cinta, 2013)
Menurut ajaran Islam, pintu ‘penebusan dosa’ senantiasa akan terbuka melalui mekanisme pertaubatan. Sebagaimana Allah sudah janjikan:
يَا ابْنَ آدَمَ ، إنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيْكَ وَلَا أُبَالِيْ ،
يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ، ثُمَّ اسْتَغفَرْتَنِيْ ، غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِيْ ،
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ، ثُمَّ لَقِيتَنيْ لَا تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا ، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابهَا مَغْفِرَةً
“Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli.
Wahai anak Adam! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli.
Wahai anak Adam! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.” (HR. al-Tirmizi)
Maka dalam Islam, selama nafas masih dikandung badan, tertutup pintu keputusasaan. Bahkan dalam keadaan yang tidak diharapkan, Islam mengajarkan agar seseorang tetap setia melabuhkan segala kesusahan dan kesedihannya hanya kepada Tuhan. Sebagaimana ucapan Nabi Ya’kub ‘alayhissalaam yang diabadikan dalam al-Qur’an (12: 86):
إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ
“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.”
Menyaksikan layang-layang diterbangkan di langit UINSA. Diadu. Dikejar. Diperebutkan. Tetapi bisa dinikmati dengan suka cita dan kegembiraan. Seolah menyegarkan kembali ingatan mengenai ajaran ini. Prinsip hidup yang pernah membantu seorang lelaki untuk menangis. Lalu perlahan kembali tersenyum. Sembari membatin, bahwa Tuhan tengah menertawainya.
hari-hari tertatih
tapi siapa bisa mengerti
bagi pejalan sunyi yang sendiri
perih bukan untuk ditangisi
apalagi dibagi
Tuhan
begini kan?
(“Langit Tertawa” dalam Ilalang dan Peziarah, 2022)
___________________
Ditulis oleh Dr. Nyong Eka Teguh Iman Santosa, M.Fil.I.
Kaprodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Ampel Surabaya