
(Sekretaris Pusat Ma’had al-Jamiah
Dosen FAH UIN Sunan Ampel Surabaya)
Pada hari Rabu 18 Juni 2025, penulis __sebagai pembimbing juga_ ikut menguji skripsi di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya Prodi Sejarah Peradaban Islam dengan penelitian tentang “Kajian Historis Etika dan Adab Perempuan dalam Kitab Adab al-Mar’ah karya KH. Usman al-Ishaqi yang ditulisolehUni Fatkhatu Rokhmah. Kajian ini sebenarnya masuk kajian filologi terhadap teks yang lahir dari turost pesantren, walau penulis kali ini tidak akan mengulas semua yang ada dalam isi skripsi ini. Tapi, akan fokus bagaimana sang Mursyid, dalam hal ini Kiai Usman memandang penting membicarakan dan menafsir adab ideal bagi perempuan hingga lahir dalam karya tulis utuh dengan bahasa pegon, Kitab Adab al-Mar’ah.
Perlu diketahui KH. Muhammad Usman ibn Nadi al-Ishaqi –dengan nama lengkap_ adalah salah satu mursyid Thariqah Naqsabandiyah wa al-Qariyah dari Jatipurwo Surabaya. Ketokohannya sebagai mursyid cukup dikenal pada masanya, bahkan hingga masa kini sebab kebijaksanaannya dalam mempraktikkan nilai-nilai tasawuf melalui tarekat ini masih dipraktikkan, khususnya di pondok pesantren peninggalannya, Pesantren Darul Ubudiyyah Jatipurwo Surabaya seperti tradisi “Swelasan”. Kaitan ia membahas perempuan menjadi keunikan tersendiri, mengingat kesehariannya sebenarnya lebih disibukkan dengan aktifitas ketarekatan dan memimpin pondok pesantren.
Namun, Kiai Usman sebenarnya juga memiliki talenta penulis yang luar biasa sebagaimana dilihat dari karya-karyanya yang banyak ditemukan, termasuk Kitab Adab al-Mar’ah. Karya-karya ini yang juga menjadikan eksistensinya tetap terjaga seiring warisan intelektualnya tetap dibaca dan dikaji hingga dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat luas dalam menyelami nilai-nilai sufistiknya, khususnya masyarakat kota Surabaya yang hidup dalam kuasa hegemonik duniawi yang sangat kuat.
Bahasan perempuan memang selalu memantik para akademisi kaitan pada soal keadilan gender dan lain sebagaimana. Peta bahasan tidak bisa dihindarkan, bahkan kelompok liberalpun ikut membahasnya hingga tidak jarang bahasanyapun lebih banyak berbicara tentang keadilan gender, untuk tidak mengatakan lebih banyak membela perempuan. Tapi kurang mengupas secara imbang __sebagai karakter nilai-nilai moderat__ kaitan perempuan dari perspektif etika sosial yang lebih luas, termasuk etika domistik-religius dalam konteks relasi suami Istri di satu sisi dan nilai-nilai luhur lokalistik di sisi yang berbeda. Akibatnya, tidak sedikit lahir perempuan “perkasa” atas nama semangat keadilan gender, padahal dalam ruang domistik _misalnya__ semua bisa dilakukan dengan jalan musyawarah untuk kebaikan bersama.
Karenanya, tulisan Kiai Usman al-Ishaqi layak dibaca secara utuh sebagai penyeimbang kaitan pengetahuan seluk beluk perempuan, termasuk kaitan hubungannya dengan laki-laki sebagai suaminya. Latar belakangnya sebagai pelaku jalan tasawuf/tarekat dapat dipastikan memiliki narasi intuitif dalam menjelaskan adab perempuan, apalagi konsistensinya memegang dalil-dalil normatif agama sebagai petanda ia adalah pembelajar atau santri yang pernah belajar serius dari pondok pesantren yang satu pondok yang lain. Bahkan kepada para guru yang masyhur keilmuan dan integritasnya moralnya, seperti KH. Hasyim Asyari Jombang dan KH. Romli dari Jombang, KH. Khozin Panji dari Sidoarjo dan KH. Munir Jambu Bangkalan.
Perlunya Kebijaksanaan
Kitab Adab al-Mar’ah dengan judul panjangnya Adab al-Mar’ah al-Muhtawiyat Huquqa al-Azwaj a’la al-Adab al-Syar’iyyah al-Muthahharah sepintas menggambarkan tentang hak-hak pasangan sesuai dengan syari’ah, yakni kaitan ketika suami kepada istri atau sebaliknya. Tapi, Kiai Usman menambahkan etika lain yang tidak ada kaitan langsung dengan etika suami-istri dalam pernikahan, walau memang dianggap sangat penting untuk membahasnya sebab tidak sedikit mempengaruhi perjalanan pernikahan seseorang, jika tidak diperhatikan secara serius. Etika yang dimaksud adalah “Bab Ngeremaken Peningal Saking Awisan” yang dibahas pada bagian akhir.
Pertama, kewajiban suami kepada istrinya (bab kewajibanipun tiyang jaler dumateng Istrinipun). Bahasan ini sebenarnya tidak ada kaitannya dengan judul besar kitab Kiai Usman, tapi menempatkan bab ini diletakkan pada posisi pertama, menurut penulis, menarik untuk diulas mengingat hubungan harmoni antar pasangan dalam ruang domistik tidak saja menjadi kewajiban istri, tapi juga ada kewajiban suami. Sementara, Kiai Usman meletakkan pada bahasan pertama, menurut penulis, menunjukkan titik tekan agar para suami harus lebih hati-hati dalam merawat dan menjaga agar ruang domistik itu senantiasa berkah sebab ia menjadi panutan di rumahnya sehingga jangan pernah memberikan contoh teladan yang kurang baik kepada keluarga (istri, puta-putra dan keluarga semua.
Misalnya, Kiai Usman mengatakan: “lan kang luweh welas marang poro ahli-ahline. Inggih puniko poro garwonipun, poro putranipun, poro sanak karabatipun.” (hal, 7) (dan yang lebih menyayangi kepada para ahlinya, yaitu para istrinya, putra-putranya hingga para kerabatnya. Penjelasan ini menarik sebab Kiai Usman juga mengutip dengan salah satu hadis Nabi yang artinya: “Sesungguhnya diantara yang menyebabkan iman seseorang sempurna adalah akhlak yang terbaik.” Hadis ini sangat luas maknanya, termasuk akhlak suami terhadap istri dan anak-anaknya serta keluarganya.
Jadi, suami harus menjaga perkataan agar selalu baik, bukan saja kepada istri, tapi juga pada putra-putrinya serta para kerabatnya. Tidak ada kata kasar atau mengandung dusta dalam setiap aktivitas bersama mereka sebab prilaku ini adalah keutamaan dalam pasangan suami-istri, bahkan menjadi bukti kesempurnaan iman seseorang. Suami tidak cukup memberikan makan dengan standar kewajiban (sing penting mangan), tapi perlu juga memberikan makan dengan standar kesunnahan, misalnya sesekali makan di luar dengan menu-menu yang lebih beragam atau tetap di rumah dengan menu yang lebih nikmat. Inilah wujud prilaku ihsan yang dilakukan suami bersama keluarganya.
Kedua, kewajiban istri kepada suaminya (bab kewajibanipun tiyang istri dumateng tiyang jaleripun). Kiai Usman mengatakan: “Istri ingkang demunung sae maleh, Inggih poro istri ingkang sami ngerokso kewajibanipun. Kadusto ngerekso farjine, ngerekso bandanipun ingkang jaler, ngerekso kewentenipun griyo ing wekdal ingkang jaler tindak.” (istri yang baik lagi adalah istri yang selalu menjaga kewajibannya. Seperti menjadi farjinya, menjaga kekayaan suami, dan menjaga rumah ketika ditinggal suami bepergian. Adab perempuan ini penting menjadi pertimbangan matang agar istri __apapun profesinya__ juga memperhatikan kewajibannya, bukan berpikir haknya semata.
Pastinya, inti dari perkataan ini adalah istri harus menjaga kehormatan suaminya. Di era medsos seperti ini dimana orang bebas berkomunikasi dengan cepat dan bebas, terkadang membuat para istri terlena juga dengan HPnya sehingga larut berkomunikasi bebas dengan laki-laki yang bukan mahramnya tentang hal-hal yang kurang penting. Padahal perbincangan remeh-temeh yang inten juga kurang memberikan makna positif, bukan hanya bagi istri sebagai pelaku tapi juga bagi hubungannya dengan suami.
Bila dimaknai kalimat: “ngerekso kewentenipun griyo ing wekdal ingkang jaler tindak.” Bisa ditafsirkan sebagai pesan bijak dari Kiai Usman agar apapun kondisi perempuan harus tetap menjaga kehormatan suami. Tapi, jika dihadapkan dengan kondisi yang sama-sama sibuk (istri dan suami), maka apapun itu menjaga kehormatan harus tetap menjadi perhatian. Semuanya bisa dikomunikasikan dalam ruang domistik bersama suami sebab dengan cara itu kesepakatan terbangun sehingga hak dan kewajibannya sama-sama terjaga menuju ruang domistik yang adil sesuai dengan nilai-nilai rahmah dalam Islam.
Ketiga, memejamkan mata dari larangan (bab ngeremaken peningal saking awisan). Kiai Usman mengatakan: …supados samiyo ngeremaken peningalipun sakeng mriksani tiyang istri ingkang sampun diharamaken dipun priksane poro milo inggih selajeng poro tiyang mukmin buten kengeng mriksane kejawi mriksane dumateng penopo ingkang sampun kangengaken mriksane (supaya memejamkan mata dari melihat orang perempuan yang diharamkan. Artinya, setiap orang mukmin tidak diperkenankan melihat, kecuali melihat hal-hal yang diperbolehkan).
Pernyataan tegas Kiai Usman ini secara normatif mengutip dari beberapa ayat dan hadis yang berkaitan dengan memejamkan mata. Misalnya hadis yang artinya: “siapa yang berangan-angan di belakang perempuan dan dia melihat bajunya hingga tampak lekak-lekuk tubuhnya, maka ia tidak akan mencium bau semerbak wangi surga”. Hadis ini semacam ancaman agar siapapun yang ingin menikmati bau wangi surga, maka jangan coba-coba melihat perempuan yang diharamkan, siapapun itu. Menghubungkan dengan bau wangi sebab bau wangi adalah salah satu kenikmatan yang banyak dicari orang, bahkan bau wangi membangkitkan naluri orang yang secara psikis semakin hidup.
Di samping itu, larangan melihat perempuan yang diharamkan secara sosial __diakui atau tidak__ akan mempengaruhi cara pandang laki-laki, apalagi yang sudah memiliki istri. Begitu juga sebaliknya, perempuan melihat laki-laki yang diharamkan juga merupakan larangan. Bukankah prilaku orang dipengaruhi __salah satunya__ dengan apa yang banyak dilihat. Semakin banyak melihat sesuatu yang diharamkan, maka akan semakin banyak pikiran haram muncul dan akan memengaruhi tindakan setiap hari. Bukankah prilaku itu muncul dari apa yang dipikirkan?. Bukankah banyak cerita tentang hal ini yang mengakibatkan orang akhirnya mati dalam keadaan su’u al-khotimah, naudhu billah min dzalik.
Akhirnya, karya Kiai Usman ini yang berjudul Adab al-Mar’ah bukan hanya menyoal tentang etika perempuan, tapi sekaligus etika laki-laki dan etika memejamkan mata memandang istri/suami orang lain. Etika terakhir ini penting sebab juga menyebabkan tindakan perselingkungan yang berujung pada rusaknya hubungan suami istri. Karenanya, Kalau tidak sengaja terjadi, maka segera palingkan mata agar apapun yang diharamkan dilihat tidak mempengaruhi pikiran dan prilaku. Intinya Kiai Usman mengingatkan bahwa ruang domistik pernikahan akan baik bukan saja menjadi tugas perempuan sebagai istri, tapi juga menjadi tugas laki-laki sebagai suami. Tidak ada ruang domistik itu akan melahirkan keberkahan dalam kasih sayang, kecuali jika kerjasama keduanya berjalan dengan peran-peran yang dikompromikan dan sekali lagi tidak bertentangan dengan dasar-dasar normatif Islam (la tha’ata li makhlukin fi ma’shiti al-khaliq). Wallahu a’lam