Prof. Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H
Guru Besar dan Sekretaris Komisi Etik Senat UINSA Surabaya
Pendidikan kita dewasa ini dihadapkan dua permasalahan besar yang menjadi Pe-Er bersama. Pertama, mutu pendidikan yang belum sesuai dengan harapan. Hasil ini dapat dilihat dari laporan dari Programme for International Student Assessment (PISA), misalnya, menunjukkan bahwa skor literasi, numerasi dan sains pelajar Indonesia masih berada di bawah rata-rata Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Berdasarkan hasil PISA 2022, Indonesia menempati peringkat ke-69 dari 81 negara yang berpartisipasi. Kedua, merosotnya moral, sikap (attitude), perilaku (behaviour), dan karakter peserta didik. Maraknya pem-bully-an oleh teman-teman sebaya, kekerasan kakak senior terhadap yuniornya, dan masih banyak kisah lainnya. Dan itu terjadi dalam semua lingkungan pendidikan baik lingkungan pendidikan umum maupun lingkungan pendidikan keagamaan. Ini tentu menjadi indikator, bahwa pendidikan kita dalam bahaya krisis moral.
Di tengah kompleksitas permasalahan pendidikan tersebut, dua inisiatif besar muncul sebagai disruptor positif yang saling melengkapi: Pertama, implementasi Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) sebagai pendekatan pedagogis yang dicanangkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Kedua, Kurikulum Berbasis Cinta yang digagas oleh kementerian Agama yang rencananya sudah akan diterapkan pada Tahun Ajaran 2025-2026.
Dalam tulisan akan menanalisis bagaimana membangun pilar sinergitas antara konsep deep learning yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, dengan Kurikulum Berbasis Cinta yang digagas oleh kementerian Agama menjadi satu-kesatuan makna yang utuh dan saling melengkapi. Harapan besar dari konsep ini adalah dapat menjadi katalisator bagi revolusi belajar di Indonesia, membangun pendidikan yang tidak sekedar cerdas secara intelektual, tetapi juga inklusif, berkarakter, dan berfondasi pada nilai-nilai kemanusiaan yang kuat. Dengan lain kata pendidikan yang dapat mewujudkan insan kamil yaitu manusia paripurna yang tahu tentang dirinya sendiri. Dari itu ia selanjutnya akan membangun diri dan juga membangun lingkungannya untuk menjadi khoirunnas anfauhum linnas.
Deep Learning: Memeras Keilmuan untuk menemukan Kesejatian Diri
Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) merupakan pendekatan pedagogis yang diusung oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang berfokus pada kualitas pemahaman dan relevansi aplikasi dalam proses belajar mengajar. Pembelajaran Mendalam merupakan antitesis dari surfaces learning, yaitu pembelajaran dangkal yang cenderung menekankan pada hafalan, dan cakupan materi luas tanpa pemahaman substansial nan mendalam (kekurangbermaknaan). Pendekatan ini mendorong penguasaan konsep melalui penemuan, dengan optimalisasi kompetensi secara menyeluruh, serta menumbuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau High Order Thinking Skills (HOTS), penerapan pengetahuan dalam konteks dunia nyata (relevansi dengan kehidupan), dan pengalaman belajar yang bermakna.
Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) ditopang oleh 3 (tiga) pilar utama (esensial). Pertama, Pembelajaran Berkesadaran (Mindful Learning), di mana peserta didik diajak untuk sepenuhnya sadar akan proses belajar. Mereka diajak memahami tujuan setiap pembelajaran, menghubungkan materi dengan pengalaman nyata, serta secara jujur merefleksikan apa yang sudah dan belum mereka kuasai. Pendidik di sini berperan sebagai fasilitator kesadaran, mendorong peserta didik untuk menjadi agen aktif yang bertanggungjawab atas perjalanan belajarnya sendiri.
Kedua, Pembelajaran Bermakna (Meaningful Learning), sebuah upaya untuk memastikan bahwa materi yang diajarkan tidak hanya dihafalkan, tetapi dipahami secara mendalam dan dapat diterapkan dalam berbagai situasi kehidupan. Pendidik ditantang untuk menjelaskan “apa, mengapa, dan bagaimana” di balik setiap pembelajaran dan menunjukkan relevansinya dengan fenomena yang terjadi di dunia nyata, sehingga meningkatkan motivasi dan keterlibatan peserta didik secara direct dan siginifikan.
Ketiga, Pembelajaran mengembirakan (Joyful Learning), pilar yang menegaskan pentingnya menciptakan suasana belajar yang menarik dan menyenangkan, pendekatan ini bertujuan agar proses pembelajaran tidak lagi menjadi beban dan kaku, melainkan sebuah pengalaman yang memuaskan dan berkesan serta memicu semangat ingin tahu dan eksplorasi mendalam.
Implementasi Pembelajaran Mendalam diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dengan mendorong kemandirian dan kreativitas peserta didik, sekaligus membekali Pendidik dengan metode pembelajaran yang lebih fleksibel dan berpusat pada peserta didik. Tantangan dalam penerapannya meliputi pergeseran paradigma pembelajaran, kebutuhan pelatihan Pendidik secara masif, dan pengembangan materi ajar yang secara inheren mendukung ketiga pilar tersebut.
Kurikulum Cinta: Meningkatkan Kemungguhan Hati atas Hegemoni Logika
Kementerian Agama dengan bijak dan gercep merespon positif terhadap fenomena pendidikan nasional yang problematik dengan memperkenalkan kurikulum berbasis cinta. Inisiatif ini hadir untuk merespon kebutuhan akan pembentukan karakter bangsa yang kokoh, berfokus pada penanaman nilai-nilai kasih sayang, empati, toleransi, gotong royong, dan kemanusiaan sebagai inti dari seluruh proses pendidikan. Kurikulum ini melampaui dimensi kognitif semata, melainkan berupaya membentuk peserta didik yang utuh dan berakhlak mulia sebagai penyeimbang terhadap polarisasi sosial dan potensi pengikisan nilai-nilai kemanusiaan.
Kurikulum Berbasis Cinta hadir untuk membangun fondasi kokoh tentang esensi Islam sebagai ajaran agama yang rahmatan lil alamin. Dalam konteks Islam, frasa ini merujuk pada konsep bahwa ajaran Islam dan Nabi Muhammad SAW membawa kasih sayang dan rahmat bagi seluruh makhluk di dunia, bukan hanya bagi umat Islam. Ini menggambarkan Islam sebagai agama yang membawa kedamaian, keharmonisan, dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta. Dengan kata lain Islam adalah agama yang dibangun atas landasan hubungan yang kompleks yaitu dalam hubungan vertikal dengan Tuhannya (hablum minallah), dalam hubungannya horizontal dengan sesama manusia (hablum minannas), dan dalam hubungannya diagonal dengan alam dan makhluk ciptaan Allah lainnya (hablum minal alam).
Atas dasar tersebut Kurikulum Berbasis Cibta memiliki enam prinsip utama yang menjadi fondasinya. Pertama, Cinta Kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang mengajarkan siswa untuk menghargai ciptaan dan bersyukur atas anugerah ilahi. Kedua, Cinta kepada Rasululloh SAW, Menyadarkan siswa untuk meneladani akhlak dan ajaran Rasululloh SAW sebagai suri tauladan. Ketiga, Cinta Kepada Diri Sendiri, mendorong siswa untuk memahami dan menerima potensi serta kekurangan dirinya, dalam rangka membentuk pribadi yang percaya diri dan berintegritas. Keempat, Cinta kepada Sesama Manusia, yang berfokus pada pengembangan empati, toleransi, dan kemampuan bekerja sama dalam keberagaman, dan membangun harmoni sosial. Kelima, Cinta kepada Lingkungan, mendorong kesadaran siswa akan pentingnya tanggungjawab ekologis sebagai sebuah warisan anak cucu yang harus terjaga dan terlindungi. Keenam, Cinta pada Bangsa dan Negara, menanamkan rasa nasionalisme, patriotisme, dan semangat berkontribusi untuk kemajuan Indonesia.
Filosofi Kurikulum Berbasis Cinta tersebut meyakini, bahwa pendidikan sejati menciptakan individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga peduli, bertanggungjawab, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Pilar-pilar ini membentuk fondasi etika dan moral yang kokoh, memastikan bahwa era di mana mesin dapat meniru kecerdasan [Artificial Intelligence (AI)], manusia tetap memegang nilai-nilai kemanusiaan yang membedakan (mengetahui benar-salah, baik dan buruk, atau boleh-tidak boleh)). Dalam konteks ini, Kurikulum Berbasis Cinta hendak menyadarkan diri manusia tentang siapa sejatinya dirinya, “dari mana asal dirinya, apa yang harus dilakukannya, dan ke mana nantinya” yang dalam filsafat Jawa dan para Wali Songo dikatakan sebagai “sangkan paraning dumadi”. Dari kesadaran tersebut pada akhirnya akan membangkitkan kehambaan kepada Tuhannya, sebagaimana pernah dikatakan oleh Syekh Amin Al-Kurdi:
“Ketahuilah, bahwa pengenalan diri (cinta diri) adalah suatu urusan yang penting untuk setiap manusia – karena sesungguhnya siapa yang mengenal dirinya (cinta dirinya), niscaya ia dapat mengenal (mencintai) Tuhannya. Yaitu mengenal dirinya yang hina, lemah, serta fana. Dengan itu dia dapat mengenal Tuhannya yang bersifat mulia, kuasa dan kekal abadi. Siapa yang jahil (aniaya) terhadap dirinya berarti ia jahil pula terhadap Tuhannya.”
Membungun Pilar Sinergisitas: Penguatan Kecerdasan Sejati Manusia
Olah hati (pengembangan aspek spiritual dan emosional, membentuk karakter yang religius, jujur, bertanggung jawab, dan peduli), olah pikir (pengembangan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan inovatif, serta literasi), olah raga (pengembangan aspek fisik dan motorik, menumbuhkan sportivitas, dan kesehatan jasmani), dan olah rasa serta karsa (pengembangan kreativitas, kepekaan terhadap lingkungan, kemampuan berkomunikasi, serta kerjasama) merupakan komponen-komponen penting dalam pengembangan karakter dan pendidikan holistik. Mereka mewakili berbagai aspek pengembangan diri yang saling berkaitan dan berkontribusi pada pembentukan individu yang seimbang dan utuh. Secara keseluruhan, keempat aspek ini merupakan pondasi dalam pendidikan karakter yang bertujuan untuk menghasilkan individu yang berakhlak mulia, cerdas, sehat, dan memiliki kepedulian sosial.
Membangun sinergisitas antara Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) dengan Kurikulum Berbasis Cinta menemukan titik temu dalam lingkungan pendidikan di Indonesia, khususnya di lingkungan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pondok pesantren, dan perguruan tinggi keagamaan islam. Pendidikan Islam yang tidak hanya berfokus pada transfer ilmu (transfer of knowledge), tetapi juga sangat menekankan pada pembentukan akhlak (afektif) dan keterampilan hidup (psikomotorik), serta nilai-nilai keagamaan (transfer of value) mendapatkan momen pentingnya.
Terbangunnya sinergitas pembelajaran mendalam (deep learning) dengan kurikulum berbasis cintadiharapkan mampu memberikan penguatan dan melonjkkan terhadap lahirnya kecerdasan sejati manusia yang bergerak secara etape (bertahap) yaitu kecerdasan pertama (dasar) yaitu kecerdasan intelektual atau Intelligence Quotient (IQ); kecerdasan kedua yaitu kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ),); kecerdasan ketiga yaitu kecerdasan spiritual (agama) atau Spiritual Qoutient (SQ), kecerdasan keempat yaitu kecerdasan ketangguhan atau adversity Quotient (AQ), dan kecerdasan kelima atau kecerdasan paripurna atau kecerdasan illahiyah (Divine Intelligence) yaitu La duni Quotient (LQ).
Dengan lahirnya kecerdasan paripurna atau kecerdasan illahiyah (Divine Intelligence) yaitu La duni Quotient (LQ) ini manusia akan mampu melepaskan diri sebagai manusia untuk selanjutnya akan menempatkan dirinya pada posisi yang sempurna (Q.S At-Tin ayat 4), dan pada derajat yang setinggi-tingginya dibandingkan makhluk Allah yang lain (QS. al-Isra ayat 70). Insyallah.