TAK ADA ORANG ISTIMEWA, SEMUA HARUS ANTRE
TOUR DAKWAH DI LONDON (16)
“Seumur hidup, baru kali ini bersila dengan bersepatu.”
Oleh: Moh. Ali Aziz
SETELAH menempuh perjalanan dua jam kereta api dari London, sampailah saya di stasiun Manchester.
“Pak Ali dari London ya?”
Tanya Zain Hamid, mahasiswa Universitas Manchester, salah satu panitia pengajian menjemput kami.
“Pak, teman-teman minta topik kajian sore ini tentang zakat,” Kata Zain yang duduk di sebelah sopir angkutan online menuju kampus.
“Bagaimana, jika saya beri materi “how to elevate optimism and happiness by prayer”?” jawab saya memberi alternatif.
“Soal zakat fitrah nanti kita bicarakan pada sesi tanya jawab saja,” tambah saya.
“Wah, menarik pak. Setuju,” jawabnya singkat sambil bersiap turun membawakan ransel saya.
“Mas, apa benar ini kampus?”
Tanya saya heran ketika melihat antrean panjang anak muda dengan pakaian serba unik di lantai dua kampus Manchester.
Ada yang berdandan seperti hantu dengan celana berlobang-lobang, ada pula yang bermake-up seperti macan, anjing dengan rambut gundul sebelah, dan sebagainya.
“Kebetulan bersamaan dengan konser pak,” jawab Zain sambil menunjuk hall kampus yang mereka sewa.
Acara berbuka puasa bersebalahan dengan konser, tapi tak ada suara yang mengganggu acara masing-masing.
Usai shalat berjamaah maghrib, Rezza F. Prisandy, mahasiswa program doctor, sekaligus ketua perkumpulan mahasiswa muslim Manchester menghampiri saya,
“Kami benar-benar ingin mendengarkan uraian yang lebih lengkap tentang shalat yang motivatif itu pak.”
Setelah shalat subuh di Hotel Hyat dalam kampus, saya buka telpon saya. Ada teks, “Pak, pagi ini kita ke lapangan sepakbola Manchester United,”
Dari Noval Amin, alumni Prodi Pengembangan Masyarakat Islam FDK UINSA yang sedang menyelesaikan S2 di University of Manchester.
Sore hari itu, tibalah KA di stasiun London. Tak ada waktu untuk ganti baju. Langsung menuju Open iftar – Indonesian Night di sebuah gedung kesenian tua yang didatangi dubes dan wakil dubes RI.
Acara ini merupakan rangkaian buka puasa keliling di beberapa daerah London setiap malam dengan menu yang berganti-ganti.
Malam itu giliran menu dari komunitas muslim Indonesia. “Rendang is very nice” kata mualaf London yang duduk bersebelahan dengan saya.
Saat itu, saya dan semuanya kesulitan duduk, sebab berdesakan dan bersila dengan tetap memakai sepatu.
“Seumur hidup, baru kali ini bersila dengan bersepatu,” kata saya dalam hati, geli.
Dengan udara yang menusuk tulang, saya ikut antrean ratusan meter menuju acara di tempat acara.
“Apakah saya yang diundang sebagai ustad harus berdiri satu jam dengan kedinginan seperti ini,” protes saya dalam hati. Maklum, masih kaget dengan budaya antre, ha ha.
Ada dua hal yang amat berkesan dalam antrean itu. Pertama, tak ada orang istimewa di arena publik. Semua harus antre, termasuk Prof. Dr. Khoirul Munadi, atase Pendidikan dan kebudayaan KBRI yang berdiri di belakang saya.
Kedua, sekalipun menunggu antrean sampai satu jam, tak satu pun terdengar suara keluhan, apalagi cacian atau protes kepada panitia.
Menjelang maghrib, lampu dimatikan. Wanita pembawa acara tak berjilbab dari komunitas Turki mempersilakan penampilan drama anak-anak kolaborasi dari berbagai negara. Waktu itu berkisah tentang Fir’aun.
Usai acara, saya mendekati ibu Rini, istri Joko Susilo, penyiar BBC, yang malam itu menjadi ketua panita.
“Selamat bu. Ratusan pengunjung tertib puas dengan tampilan dan menu Rendang Indonesia,” kata saya mengapresiasi.