
Guru Besar/Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ يُّصْلِحْ لَكُمْ اَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Dia (Allah) akan memperbaiki perbuatanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia beruntung dengan keberuntungan yang besar” (QS. Al Ahzab [33]: 70-71)
Pada uraian ini, saya tidak menjelaskan tafsir ayat di atas. Ayat di atas saya kutip hanya untuk mewakili ratusan ayat dalam Al Qur’an yang mengandung perintah “katakanlah.” Perintah inilah yang sekarang populer di kalangan anak muda dengan istilah speak up atau speak up your mind!” (katakan apa yang ada dalam pikiranmu!).
Dalam ayat di atas tersirat sebuah perintah sekaligus harapan. Kita diperintah untuk manaati Allah SWT dan Rasulullah, khususnya dalam hal keberanian berbicara yang benar, dan itulah cara meraih kebahagiaan yang sesungguhnya (fauzan ‘adhima).
Berikut ini dua kisah tentang perlunya speak up dalam rumah tangga dan perkantoran. Seorang istri bercerita di depan ahli agama tentang tidak adanya kemesraan dengan suaminya. Rumah tangganya “pengap,” tak ada udara kebahagiaan. Sang suami tidak pernah menggandeng tangannya ketika mendatangi pesta nikah, atau memberi ciuman khas ketika hari ulang tahunnya. Ia juga tak pernah mengucapkan terima kasih. “Kenapa tidak bicara langsung kepada suami?” tanya ustad. “Saya tak berani, takut ia tersinggung,” jawabnya. Setelah keduanya dipertemukan, masalah menjadi cair dan terselesaikan. “Kenapa tidak bicara sejak dulu tentang masalah yang sederhana begini?” sesal suami. Dalam bahasa gaul, “mengapa ia tidak speak up sejak dulu?”
Di sebuah kantor, topik pembicaraan yang selalu jadi sarapan pagi karyawan adalah perilaku pemimpin mereka. Ia selalu menuntut banyak prestasi, tanpa memberi imbalan dan apresiasi. Ia dengan enteng menegur bawahan dengan suara kencang di depan semua karyawan. Suasana kantor terasa pengap, meskipun telah terpasang mesin pendingin ruangan. Hal itu berlangsung bertahun-tahun, tanpa ada yang berani speak up. Setelah unjuk rasa meledak, barulah mereka bersama berani speak up melalui spanduk. Masalahnya menjadi meluas dan sudah terlambat. Kantor telah kehilangan trust masyarakat.
Dua kasus di atas saya tulis untuk memberi jawaban pertanyaan, mengapa Al Qur’an ratusan kali memerintahkan speak up, baik secara mandiri maupun secara berjamaah. Coba kita pelajari beberapa surat Al Qur’an yang sering kita baca dalam shalat. Ternyata, ayat-ayat itu berawalan dengan kata “qul” yang artinya, “katakan.” Antara lain, “Qul ya ayyuhal kafirun” (katakan, “wahai orang-orang kafir”), atau “Qul huwaalhu ahad” atau “Qul a’udzu birabbil falaq” atau “Qul a’udzu birabbin nas.”
Ada kisah yang lucu tentang speak up dalam rumah tangga. Seorang ustad bertanya kepada pria yang jarang mengucapkan terima kasih kepada istrinya, apalagi memuji masakan yang disajikannya. Ia menjawab enteng, “Ya sudah ustad, dalam hati. Walaupun di batin, kan Allah Maha Tahu” “Sejak kapan kamu menjadi penganut aliran kebatinan?,” tanya ustad yang disambut tawa suami. Pria ini lupa pesan Nabi SAW agar setiap orang speak up terhadap jasa orang. Antara lain mendoakan istri yang menyiapkan makan, sebuah doa yang diucapkan, bukan dalam hati,
اللهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي، وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِي
“Wahai Allah, berilah makanan (surga) kepada orang yang menyiapkan makanan untukku, dan berilah minuman (surga) orang yang memberi menuman untukku” (HR. Muslim dari Miqdad, r.a)
Al Qur’an benar-benar menganjurkan speak up untuk kebaikan (amar ma’ruf) atau mencegah perbuatan yang tidak baik (nahi munkar). Keduanya harus dilakukan dengan santun, jangan sampai menimbulkan ketersinggungan orang. Terhadap Fir’aun, manusia terjahat sepanjang masa pun, Allah tetap memerintah Musa dan Harun untuk berbicara dengan sopan dan lemah lembut,
فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلا لَّيِّنا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
Nabi SAW telah memberi teladan speak up untuk membangun kehangatan persahabatan.
عَنْ مُعَاذٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَخَذَ بِيَدِهِ قَالَ يَا مُعَاذٍ وَاللهِ اِنِّى لَاُحِبُّكَ
“Mu’adz r.a bercerita, Nabi SAW memegang tangannya seraya mengatakan, “Demi Allah, aku mencintaimu.” (HR. Abu Dawud)
Ia juga bersabda,
اِذَا اَحَبَّ الرَّجُلُ اَخَاهُ فَلْيُخْبِرْهُ اَنَّهُ يُحِبُّهُ
“Jika seseorang menyukai temannya, maka katakan kepadanya, bahwa ia menyukainya.” (HR. Abu Dawud dari Abi Karimah al Miqdad bin Ma’dikarib, r.a)
Orang Jawa bilang, “Buah semangka, buah gedondong. Suka atau tidak suka, ngomong dong!” Ajarkan anak, murid dan bawahan untuk berani speak up. Buatlah suasana yang memungkinkan tumbuhnya budaya speak up. Ajarkan tawadhu’ yang menghasilkan speak up yang berakhlak.