Column UINSA

Student Central

(Kampus Sebagai Rumah Kedua – Seri 2)

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D

Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Malam itu kubergegas meninggalkan kampus menuju Hotel Bess Mension. Letaknya hanya sekitar duaratus meter saja di ujung perempatan sebelah selatan. Di hotel itu kuterjadwal harus membuka acara training of trainers (TOT). Pesertanya adalah para pengelola BLKK (Balai Latihan Kerja Komunitas) Klaster 31. Itu program hasil kerjasama Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya dan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) RI. Sudah beberapa tahun program Kerjasama itu berjalan tanpa henti. Tanda sinergi menjadi kata kunci.

Fokus acara malam itu adalah pengembangan kapasitas (capacity building) para pengelola BLKK dimaksud. Urusannya untuk menjamin hak kekayaan intelektual (HAKI) atas semua produk yang dihasilkan. Agar aman dari segala bentuk praktik culas atas karya intelektual yang telah susah payah diusahakan. Pelatihannya dikhususkan pada pengembangan keterampilan pengelolaan akun HAKI. Juga sekaligus memastikan semua produk masing-masing telah di-paten-kan.

Sesampaiku di hotel dan turun dari mobil di depan lobby, kudisambut oleh Mas Fatikul Himami. Koordinator Pusat Pengembangan Kewirausahaan pada UINSA. Sekaligus ketua panitia acara. “Yuk kita makan malam Bebek Hasyim di warung sebelah hotel,” begitu ajakku ke dia. “Tapi sudah disiapin makan malam di lantai 9 hotel, Pak Rektor,” sahutnya sambil merayu agar kuberkenan makan malam di hotel saja. Tapi tetap saja kuajak dia langsung berjalan ke warung penjual nasi bebek yang legend itu. Bersama Mas Ribut, sahabat karib yang selalu menemani dan memfasilitasiku pergi bertugas.

Habislah waktu empat puluh menitan di warung nasi Bebek Hasyim itu. Bertiga menyantap nasi bebek bersama. Enak sekali tentunya. Bumbu dan sambal pedasnya semakin membuat selera meronta-meronta. Membuncah lama. Aku memang lebih memilih makan malam di sini karena kangen makan bebek di warung yang sudah kunikmati sejak menjadi mahasiswa di awal 1990an itu. Banyak memang penjual nasi bebek. Tapi Bebek Hasyim memberi nuansa sendiri karena faktor legend-nya itu. Aku pun bergumam dalam hati: “Memang masa lalu itu mahal harganya. Membuat hati tak bisa jauh-jauh darinya. Bebek Hasyim ini buktinya, he heeee….”

Sambil menyantap nasi bebek itu, kudengar cerita begini: “Saya pernah dikontak salah seorang wali mahasiswa, Pak Rektor,” kata Mas Fatikul. “Kenapa? Ada apa?” tanyaku seketika. “Beliau minta tolong. Anaknya yang mahasisiwa UINSA tidak mau keluar kamar. Di rumah mengurung diri. Menjauh dari keramaian. Ditanya pun kerap tak merespon.” Begitu kalimat yang disampaikan oleh wali mahasiswa itu ke Mas Fatikul. Pernyataan itu diceritakan ulang kepadaku oleh Mas Fatikul dalam bincang ringan selama makan malam itu. “Saya khawatir dengan anak saya, Pak. Mohon saya dibantu.” Begitu kalimat lanjutan wali mahasiswa itu untuk mengutarakan maksudnya ke Mas Fatikul.

Wali mahasiswa itu tampak sangat gelisah dengan perkembangan tiba-tiba anaknya. Dalam cerita itu, dia sangat khawatir atas apa yang terjadi pada anaknya belakangan. Tiba-tia mengurung diri. Tiba-tiba menarik diri. Tiba-tiba tertekan abis. Mas Fatikul pun mencari cara agar bisa ketemu dengan mahasiswa tersebut. Berbagai upaya dilakukan. Hingga akhirnya pertemuan pun bisa tercipta. Didapatkanlah informasi dari pengakuan si mahasiswa dimaksud. Dia mengalami ketertekanan hebat. Yang kemudian membuat dia menarik diri dari keramaian. Mengurung diri. Dan tak mau berinteraksi dengan orang lain untuk beberapa waktu kala itu. Walau sekadar bercengkerama ringan.

“Memangnya, apa masalahnya? Kenapa dia sampai sebegitunya?” tanyaku lebih jauh kepada Mas Fatikul. Sahabatku ini lalu menceritakan detil kisah sang mahasisiwa itu hingga mengalami ketertekanan hebat. Mahasiswa tersebut ternyata sebelumnya telah tiga kali mengajukan judul skripsi. Sebagai pintu awal untuk menyelesaikan tugas akhir studinya. “Tapi,” cerita Mas Fatikul, “tiga kali itu pula ditolak oleh dosen pembimbingnya.” Akibat penolakan berantai itu, dia pun mulai tampak tidak stabil. Dia tertekan. Keputusasaan pun mulai menghampiri. Tak ada gairah lagi. Tak ada semangat lagi. Mulailah edisi terpuruk dalam babakan hidupnya. Hingga mengurung diri karenanya.

“Padahal dia itu laki-laki lho, Pak Rektor. Dia itu mahasiswa. Bukan mahasiswi.” Kalimat ini ditekankan oleh Mas Fatikul untuk memungkasi ceritanya kepadaku. Soal identitas mahasiswa yang mengalami problem ketertekanan batin itu. Akupun menyahuti: “Kasus itu menjelaskan bahwa problem ketertekanan psikologis bisa terjadi pada siapa saja. Tak hanya mahasiswi yang kerap dicirikan sebagai pribadi yang berkarakter lemah. Tapi juga laki-laki meski selama ini disifati berkarakter kuat. Problem ketertekanan psikologisitu bisa mengenai siapa saja. Tak mengenal jenis kelamin. Mahasiswa atau mahasiswi. Bisa terpapar secara sama. Potensi keterpaparannya setara.”   

Cerita tentang mahasiswa di atas disampaikan oleh Mas Fatikul untuk merespon rencanaku untuk melakukan transformasi layanan mahasiswa. Aku sebelumnya di awal bincang sambil menunggu datangnya pesanan nasi bebek di warung Bebak Hasyim itu menyampaikan briefing rencana kebijakan kepadanya dalam kapasitasnya sebagai Koordinator Pusat Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa. Begini isinya: “Aku akan segera melakukan transformasi layanan mahasiswa. Akan ada satu gedung yang segera aku desain ulang untuk memperkuat layanan kepada mahasiswa. Dan gedung itu akan kunamai dengan Student Central. Isinya adalah layanan pada semua aspek yang dibutuhkan mahasiswa. Termasuk memecahkan masalah mereka. Mulai dari layanan psikologis, konseling, akademik, hingga penyelesaian praktik hidup sehari-hari.”

Ide transformasi layanan mahasiswa itu kudapatkan pada rangkaian kunjungan kerjasama dengan empat perguruan di Australia. The University of Canberra, Queensland University of Technology (QUT), The Australian national University (ANU), dan The University of Queensland (UQ). Dua perguruan tinggi yang disebut terakhir adalah almamaterku. Ada yang menarik dari temuanku pada empat kampus tersebut: Student Central. Pusat layanan mahasiswa. Juga pusat pertukaran (exchange) gagasan mahasiswa (lihat: https://www.merriam-webster.com/dictionary/central). Begitu kira-kira terjemahan mudahnya. Pusat layanan itu ada di keempat kampus itu. Sama persis nomenklaturnya. Dulu saat aku kuliah limabelas hingga duapuluhan tahun lalu, yang ada adalah Student Centre. Tempat beraktivitas mahasiswa di luar kuliah. Atau ada juga Student Service. Tempat pemberian layanan administrasi akademik untuk mahasiswa.  

Nama yang kini berubah menjadi Student Central tampaknya dibangun di atas filosofi baru. Pusat layanan itu tidak sekadar berkaitan dengan masalah administrasi akademik mahasiswa semata. Melainkan juga masalah-masalah di luar administrasi akademik itu. Termasuk masalah psikologis, keuangan dan bahkan masalah privat seperti urusan cinta. Bentuk layanannya pun diperluas hingga memenuhi kebutuhan-kebutuhan terkini. Kampus di Australia tampak meyakini dan mempraktikkan prinsip berikut ini: bagaimanapun, masalah nonakademik juga sangat berpengaruh kepada prestasi akademik mahasiswa.

Foto: Student Central, The University of Queensland

Dalam basis terdalam filosofi Student Central, ada argumen yang menarik menjadi pelajaran bersama. Kira-kira begini argumen dasar itu: Jangan sepelekan masalah-masalah nonakademik mahasiswa. Karena apapun jenis dan cakupannya, masalah-masalah nonakademik akan memberi tekanan berat kepada kehidupan akademik mahasiswa. Dan itu bisa mengganggu kinerja akademik mereka. Karena itu, kampus pun harus berupaya untuk membantu mencarikan solusi atas masalah yang dihadapi mahasiswa. Hingga ke persoalan yang sangat privat sekalipun. Dan, Student Central kini dihadirkan sebagai desain baru untuk memenuhi kecenderungan baru kebutuhan kehidupan mahasiswa itu.

Kita semua yang ada di Indonesia patut mengambil pelajaran penting dari pengalaman apik kampus-kampus di Australia di atas. Kampus di sini patut melaksanakan perannya, walau pada level yang paling minimal sekalipun. Ada layanan yang menjadi tempat mahasiswa bercerita. Bertukar pikiran. Berbagi masalah. Berbagi perasaan. Lalu kampus hadir membantu mencarikan solusi. Minimal meringankan beban mereka. Tidak selalu bentuknya karitatif seperti pemberian bantuan keuangan. Tapi, mencarikan solusi untuk problem keuangan melalui kerjasama dengan para pihak atas problem yang sedang dihadapi oleh mahasiswa adalah pilihan terukur yang bisa diambil.

Jika kampus tidak mengambil peran ini, mahasiswa dikhawatirkan bisa saja mencari tempat bercerita serta berbagi masalah dan perasaan yang sedang dihadapi dengan caranya sendiri. Kalau reference individuals yang dirujuk mahasiswa terverifikasi positif nan baik, masih ada harapan dia bisa keluar dari situasi sulit. Jika tidak, bahaya bisa dimulai dari titik ini. Karena mahasiswa bisa semakin terjerat oleh permasalahan yang dihadapi. Karena reference individuals yang dipilih sekeinginannya justeru membuat masalah yang dihadapi semakin rumit. Bisa karena pengalaman konkret reference individuals dimaksud masih sangat minim. Bisa pula karena tak memiliki kapasitas dan kompetensi dalam pemecahan masalah.

Apalagi, untuk kepentingan lebih jauh dalam mempraktikkan terjemahan langsung dari konsep kampus sebagai rumah kedua, kampus penting menjadi telinga yang baik bagi suara mahasiswa. Tempat mendengar suara hidup mereka. Tempat mendengar keluhan mereka. Tempat menyimak problem hidup mereka, lalu mencari solusi atasnya. Kampus layak untuk berikhtiar menjadi tempat teraman dan ternyaman bagi mahasiswa untuk bercerita, berbagi masalah, dan bahkan berbagi perasaan atas masalah yang mereka hadapi. Itu semua agar mahasiswa bisa mendapati kampusnya sebagai rumah keduanya.  

Praktik di atas memang bagian dari peran kecil yang bisa dimainkan oleh kampus. Itu semua dibutuhkan untuk melengkapi usaha besar untuk mewujudkan kampus sebagai rumah kedua. Keamanan dan kenyamanan yang menjadi indikator dari kampus sebagai rumah kedua, sebagaimana dijelaskan di tulisanku berjudul “Kampus Sebagai Rumah Kedua” yang diunggah sebelumnya (lihat: https://uinsa.ac.id/blog/kampus-sebagai-rumah-kedua-seri-1), mempersyaratkan hadirnya situasi dan kondisi yang bisa menjamin kampus terjauh dari praktik kekerasan dan kerawanan sosial. Regulasi dan fasilitasi adalah langkah besar yang butuh proses panjang. Apalagi hingga dalam bentuk fasilitasi infrastruktur fisik yang kondusif bagi penjaminan keamanan dan kenyamanan dimaksud.

Maka, membuka layanan kampus sebagai tempat bagi mahasiswa untuk bercerita, berbagi masalah, dan bahkan berbagi perasaan atas masalah yang mereka hadapi adalah langkah minimal namun terukur yang bisa dilakukan oleh kampus. Tak butuh menunggu anggaran besar untuk pembangunan infrastruktur khusus bagi layanan mahasiswa dimaksud. Tak perlu menunggu tersedianya bangunan tersendiri yang dikhususkan untuk penyelenggaraan layanan dimaksud. Sebab, layanan mahasiswa sebagaimana diidealisasikan di atas bisa dilaksanakan dalam kondisi ruang apa saja. Dalam kondisi gedung apa saja. Dalam fasilitas fisik apa saja. Yang penting, fungsinya. Bukan infrastrukurnya.

Perubahan hidup yang cepat harus dihitung sebagai faktor pendorong pentingnya kampus menyediakan layanan terbaik bagi mahasiswa seperti Student Central di atas. Dari sisi jenjang usia, mahasiswa adalah kelompok anak manusia yang baru menginjak usia dewasa awal. Transisi dari remaja ke dewasa awal tentu membutuhkan banyak pendampingan. Karena kelompok usia itu masih jauh dari stabil. Apalagi, mereka dihadapkan pada kondisi perubahan yang belum pernah ada atau dialami sebelumnya dalam hidup mereka. Yakni, pandemic Covid-19.

Pandemi Covid-19 yang datang tiba-tiba membuat semua orang harus mengalami perubahan radikal. Syok dibuatnya. Termasuk mahasiswa. Interaksi dan sosialiasi harus berubah dengan banyak mengandalkan daring daripada luring. Ruang interaksi dan sosialisasi fisikal yang sebelumnya mulai tergantikan sedikit demi sedikit oleh model digital akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi semakin diperparah untuk mengalami penyempitan oleh Pademi Covid-19 itu. Usai tiga tahun pandemi, mereka kembali mengalami perubahan ke interaksi dan sosialisasi luring dengan tetap terekspose ke dunia digital secara besar-besaran. Reference individuals mereka pun akhirnya dalam variasi yang sangat tinggi dalam situasi transisi itu.

Peluang terpapar psycho-academic burnout pun akhirnya menjadi sangat besar pada mahasiswa hari ini. Begitu simpulanku atas permasalahan kompleks yang dihadapi mahasiswa di tengah perubahan supercepat yang diderek oleh kemajuan teknologi digital belakangan ini. Complain handling harus dilakukan dengan baik oleh pimpinan kampus. Itu dibutuhkan untuk menjamin penciptaan kampus sebagai rumah kedua.  Psychological burnout harus mendapatkan pendampingan klinis dan konseling yang baik. Juga, academic pressure yang dialami mahasiswa harus mendapatkan pendampingan dan pembinaan terukur. Agar mahasiswa mendapati kampusnya sebagai tempat terbaik bagi pertumbuhan diri mereka dengan segala potensi dan problemnya.

Untuk kepentingan semua itu, dibutuhkan tatakelola urusan layanan kemahasiswan yang apik. Mengapa begitu? Karena problematika hidup yang dihadapi mahasiswa tidak ringan. Baik karena faktor internal, seperti karakter jenjang usia, maupun eksternal seperti perubahan hidup yang cepat. Komplikasi masalah hidup akhirnya menjadi konsekuensi logisnya. Apalagi, cerita Mas Fatikul Himami selaku Koordinator Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa di atas mengafirmasi bahwa problem ketertekanan batin secara khusus bisa menimpa siapa saja, mahasiswa dan mahasiswi. Belum problem lainnya dari hidup mahasiswa. Karena itu, Student Central adalah jawaban di antaranya.