
Guru Besar/Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya
كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“(Al-Qur’an ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka merenungi ayat-ayatnya, dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran” (QS. Shad [38]: 29)
Ayat di atas berisi perintah merenungi (tadabbur) ayat-ayat Al Qur’an. Inilah etika terhadap al Qur’an yang banyak dilupakan orang. Syekh Abdullah Al Haddad mengatakan,
ومن اهم الأداب واحبها ان يكون في حال تلاوته متدبرالما يقرأ متفهما له حاضر القلب عنده
“Salah satu etika utama bagi setiap muslim terhadap Al Qur’an adalah merenungi ayat yang dibaca, memahami dan menghadirkan hati ketika membacanya” Allah SWT juga mencela (taubikh) orang yang tidak melakukan pemahaman dan penghayatan ayat-ayat al Qur’an.
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا
“Tidakkah mereka merenungi Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24).
Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib, r.a mengatakan,
لاخير في قراءة لا تدبر فيهاوهذاهوالمقصودبانزاله وبعثة الرسول صلى الله عليه وسلم فان قليلا تقرأه من القرأن مع التدبر والتفهم خير من كثير تقرأه من القرأن بدون ذلك
“Tidak ada manfaat (yang maksimal) bagi pembaca Al Qur’an yang tidak disertai perenungan. Sebab, inilah tujuan diturunkannya Al Qur’an dan diutusnya Rasulullah SAW. Sedikit yang engkau baca dari ayat-ayat Al Qur’an dengan perenungan dan penghayatan lebih baik dari membaca banyak ayat tanpa perenungan.”
Bagaimana cara-cara para sahabat dan orang saleh terdahulu dalam merenungi al Qur’an. Ahnaf bin Qays r.a merenungi QS. Az-Dzariyat [51]: 17-118 berikut ini berhari-hari, sambil berkata dalam hati, “Wahai Allah, ampunilah aku, karena aku benar-benar masih jauh dari sifat-sifat orang mukmin berikut ini,”
كَانُوْا قَلِيْلًا مِّنَ الَّيْلِ مَا يَهْجَعُوْنَ وَبِالْاَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ
“Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam; dan pada akhir malam, mereka memohon ampunan (kepada Allah)” (QS. Az-Dzariyat [51]: 17-118).
Sa’id bin Jubair, r.a dalam sebuah shalat semalam hanya membaca QS. Yasin [36]: 59 berikut ini dengan renungan yang mendalam, sambil memohon dalam hati, “Wahai Allah, jangan jadikan aku termasuk orang yang Engkau usir dari kelompok orang saleh yang sedang menuju surga. Aku benar-benar takut hal itu terjadi padauk,”
وَامْتَازُوا الْيَوْمَ اَيُّهَا الْمُجْرِمُوْنَ
“(Dikatakan kepada orang-orang kafir,) “Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, wahai para pendurhaka!” (QS. Yasin [36]: 59).
Masih banyak sahabat dan pendahulu kita lainnya yang melakukan perenungan terhadap satu atau dua ayat berhari-hari, dan itulah salah satu akhlak muslim terhadap Al Qur’an. Akhlak muslim kepada Al Qur’an tidak hanya terhadap fisik kitab suci ini, walupun itu juga sangat penting. Seorang sufi bercerita, ia lama tidak berjumpa Nabi dalam tidurnya seperti pada malam-malam sebelumnya. Suatu hari, ada orang saleh bercerita, ia bermimpi mendapat pesan Nabi SAW agar memberitahu orang saleh yang lama tidak didatangi Nabi tersebut untuk menata tumpukan buku di atas mejanya. Dalam tumpukan buku itu, kitab suci Al Qur’an tertindih kitab-kitab lainnya. Setelah memindah Al Qur’an pada bagian teratas dari tumpukan buku, barulah beberapa hari kemudian, ia mimpi berjumpa Nabi SAW kembali. Inilah salah satu bukti pentingnya akhlak terhadap fisik kitab suci Al Qur’an.
Etika kepada al Qur’an juga tidak cukup hanya dengan membacanya sampai selesai (khatam) 30 juz, walupun program khataman itu juga sangat mulia, yaitu mendapat doa keberkahan dari 60.000 malaikat. Oleh sebab itu, disamping program khataman Al Qur’an, sebaiknya setiap muslim juga membuat program perenungan ayat al Qur’an. Bisa saja cukup satu atau dua ayat yang direnungkan selama sepekan atau bahkan sebulan, jika ayat itu dipandang penting untuk menambah keimanan dan merubah kebiasaan buruknya. Setelah itu, berganti pada ayat lain pada pekan atau bulan berikutnya. Apalagi, satu ayat itu dibaca juga dalam beberapa rakaat shalatnya. Ibnu ‘Abbas, r.a berkata,
رَكْعَتَانِ مُقْتَصِدَتَانِ فِي تَفْكِيْرٍ، خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ، وَالْقَلْبُ سَاهٍ
“Dua rakaat yang sederhana dengan perenungan lebih baik daripada shalat semalam dengan hati yang kosong.”
Membaca Al Qur’an tanpa mengerti dan merenunginya tetap mendapat pahala dan keridaan Allah. Tapi, kita harus sadar, Al Qur’an diturunkan bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk mengubah pola pikir yang positif sehingga melahirkan sikap dan tindakan yang positif pula. Perubahan yang positif itu hanya bisa diperoleh dengan perenungan yang mendalam. Bisa saja, kita selama sepekan hanya merenungi makna hamdalah dalam surat Al Fatihah, “Segala puji bagi Allah.” Perenungan itu sampai membekas dalam otak dan hati, bahwa semua keputusan Allah pasti terpuji dan terbaik. Oleh karenanya, takdir Allah, enak atau tidak enak, harus kita terima dengan senang hati. Inilah contoh perenungan satu ayat yang mengubah sikap murung dan protes atas takdir Allah menjadi ikhlas dan rida menerimanya. Inilah hakikat fungsi Al Qur’an sebagai penawar (syifa’) bagi manusia.
Setelah perenungan satu ayat itu tuntas dan membekas, barulah kita mencari ayat lain yang kita suka. Dengan demikian, ajakan perenungan Al Qur’an tidaklah hal yang menakutkan dan memberatkan, sebab dilakukan secara bertahap, dan ditujukan untuk ayat mana saja yang kita pilih, tidak harus beberapa ayat yang berurutan. Jika setiap bulan kita merenungi satu ayat sampai mendalam dan memengaruhi cara berpikir dan hidup kita, maka setahun kita telah tercerahkan oleh 12 ayat yang dahsyat. Maukah? (Surabaya, 20-2-2025)