Kampus Sebagai Rumah Kedua
(Seri 1)
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Home is where the heart is. Rumah adalah tempat hati bersemayam. Tempat hati mendapatkan ketenangan. Tempat hati meraih kedamaian. Tempat hati menemukan kesejukan. Itu quote keren soal esensi rumah. Aman dan nyaman adalah indikatornya. Ketenangan, kedamaian, dan kesejukan lahir dari aman dan nyaman itu. Di rumah, orang akan mendapatkan rasa aman dan nyaman itu. Kata heart adalah simbolisasinya. Saat aman dan nyaman itu hilang, saat itulah konsep home runtuh. Saat ketenangan, kedamaian, dan kesejukan lenyap, saat itu pula home hanya menjadi kenangan.
Itulah yang menjelaskan mengapa saat seseorang merasa kerasan, dia disebut berada dalam situasi at home. Orang Arab menyebut perasaan at home ini dengan sakinah. Karena itu pula, mudik dalam tradisi Barat disebut dengan istilah home-coming. Sejauh manapun pergi, ada kerinduan untuk pulang ke rumah. Sesibuk apapun aktivitas, ada kebutuhan untuk balik ke rumah. Dan setinggi apapun tugas pekerjaan dijalankan, ada kebutuhan untuk kembali ke rumah sebagai tempat idaman. Itulah konsep home yang dalam hidup semua orang merindukannya dalam dekapan.
Home memang beda dari house. Sejatinya sama-sama berarti rumah. Tapi, house menunjuk ke arti bangunan fisik. Luxurious house, umpama, berarti rumah mewah. Rujukannya kepada bangunan fisik yang serba wah. Dibangun dengan desain yang megah. Di atas bidang tanah yang bikin lega. Ornamennya tidak seperti bangunan rumah yang biasa. Tentu karena itu, harga yang mahal pun sudah dari awal bisa diduga. Secara kasat mata, tampilannya mengagumkan. Mewah dan membanggakan. Siapapun pasti berkenan untuk mendapatkan. Meski keinginan tak selalu sesuai dengan kenyataan. Karena harta yang tak mengizinkan.
Orang bisa membeli house. Tapi tak semua bisa memiliki home. Uang bisa mengantarkan seseorang untuk memiliki house. Tapi tak semua bisa mendapatkan home. Harta mampu memungkinkan house dalam kepemilikan. Tapi semua itu tak selalu kuasa membuat home dalam pelukan. Orang bisa tinggal di rumah mewah. Tapi tak selalu mampu mendapatkan home atasnya. Karena itu, home tak selalu identik dengan house. Memang, house hanya bisa dimiliki oleh orang yang punya uang. Tapi home bisa milik siapa saja. Seperti ilustrasi baiti jannati yang ternama. Sebuah diktum nubuat yang mulia. Home sweet home adalah terjemahnya. Bisa diperoleh siapa saja. Tanpa ada batasannya.
Untuk bisa merealisasikan home dalam hidup, memang rasa aman dan nyaman harus menjadi pengalaman setiap insan yang berada di dalamnya. Dan memang konteks awalnya adalah rumah sebagai tempat hunian. Namun, sejatinya, konsep home itu bisa diperluas ke konteks apa saja. Tempat interaksi dan sosialisasi apa saja. Tujuannya agar semua tempat itu bisa disejajarkan dengan home dalam arti situasi apik di tempat hunian. Yang dicirikan dengan tersedianya rasa aman dan nyaman. Ketenangan, kedamaian, dan kesejukan adalah konsekuensinya. Karena itu, konsep rumah kedua (second home) bisa saja timbul karenanya. Untuk konteks tempat berproses apa saja.
Munculnya konsep rumah kedua di atas terutama berlaku di tempat dimana seorang anak manusia menghabiskan banyak waktunya. Karena banyak waktu dihabiskan di dalamnya, maka tempat tersebut harus menjadi tempat yang kondusif bagi pertumbuhan diri dengan segala potensi yang dipunyainya. Rasa aman dan nyaman itu ukuran paling mendasar bagi perwujudan esensi rumah kedua dimaksud. Sungguh sangat disayangkan jika sebuah tempat yang menjadi titik interaksi dan sosialisasi itu tak bisa menjadi rumah kedua. Karena gagal menjadi lahan subur bagi tumbuhnya rasa aman dan nyaman yang harus ada. Bagi perwujudan potensi diri dengan segala ragamnya.
Kampus bisa menjadi contoh salah satu tempat yang disebut sebelumnya. Kampus tempat yang paling banyak digunakan mahasiswa untuk menghabiskan waktu dalam babakan hidup dewasa awalnya. Juga hal yang sama terjadi pada pegawai di dalamnya. Dosen dan juga tenaga keendidikan yang ada. Karena itu, kampus sudah sepatutnya menjadi rumah kedua bagi mereka. Kampus harus menjadi tempat paling kondusif bagi pengembangan diri mahasiswa dan pegawai yang dipunya. Ukuran aman dan nyaman harus menjadi prinsip kuat dalam penyelenggaraan semua proses yang terjadi di dalamnya. Bukan saja di ruang kuliah yang terbatas oleh bangunan sekian kali sekian meter luasnya. Tapi semua ruang yang ada di dalamnya. Baik ruang fisikal maupun ruang maya.
Sebagai terjemahan atas prinsip di atas, kampus harus menjadi medan pengalaman hidup yang positif nan mulia. Karena kondisi itu sangat dibutuhkan bagi penciptaan sumber daya manusia yang prima. Laki maupun wanita, semua harus terfasilitasi secara sama. Bukan terbatas bagi individu laki-laki saja. Melainkan juga, dan lebih-lebih, perempuan-perempuan yang menghabiskan banyak waktu hidupnya di sana. Baik pegawai maupun mahasiswa. Mereka patut diberi perlakuan dan fasilitasi lebih dibanding yang diberikan ke warga kampus yang pria. Untuk bisa berproses menjadi pribadi yang sama-sama bermakna. Di tengah dominasi ruang publik oleh laki-laki atas kaum hawa.
Dalam konteks mewujudkan kampus sebagai rumah kedua di atas, nasehat John Dewey berikut penting dicamkan. Begini bunyinya: Education is not preparation for life; education is life itself. Education, therefore, is a process of living and not a preparation for future living. Terjemahannya: “Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan adalah suatu proses kehidupan dan bukan persiapan untuk kehidupan di masa depan.” Nasehat John Dewey tersebut sejatinya mendorong kita semua. Di antaranya untuk mewujudkan kampus sebagai rumah kedua. Substansinya adalah pemberian pengalaman hidup yang positif kepada semua di dalamnya. Mahasiswa pada khususnya.
Untuk itu, kampus penting untuk tidak saja menjadi panggung penyiapan kehidupan masa depan semua pribadi yang ada di dalamnya. Tapi kampus juga patut menjadi proses kehidupan itu sendiri bagi semua. Karena itu, proses penyelenggaraan pendidikan di kampus harus dibuat senyaman mungkin. Senyaman mengalami kehidupan di rumah. Tentu dalam semangat pendidikan yang mendasarinya. Karena itu, kampus patut menjadi dan sekaligus memberi kehidupan. Kampus laik menjadi lahan tumbuhnya kehidupan. Sebaik di rumah. Atau bahkan lebih baik darinya. Saat perguruan tinggi bisa mewujudkan prinsip “kampus sebagai rumah kedua”, maka kampus akan segera bisa menjadi kehidupan itu sendiri. Bukan sekadar persiapan untuk hidup bagi warganya.
Di sinilah kampus harus ramah secara khusus pada perempuan. Di antaranya karena mereka makhluk terlemahkan. Oleh struktur yang kerap tidak pernah bertaubat dari tindak penindasan dan penidaksetaraan. Untuk itu, kampus harus menjadi penyemai nilai dan praktik positif bagi kehidupan perempuan. Di sinilah regulasi penting dibuat. Dibangun di atas prinsip afirmasi positif yang dinantikan. Untuk mengatur dan menjamin kampus sebagai rumah kedua bagi perempuan. Baik kategori pegawai maupun mahasiswi.
Dengan penjaminan kampus sebagai rumah kedua itu, mereka para pegawai perempuan maupun mahasiswi bisa merasa nyaman dalam menjalani aktivitas harian. Mereka bisa merasa terlindungi selama menjalani proses untuk menjadi pribadi yang membanggakan. Bukan saja aman dan terlindung dari sikap dan praktik kekerasan. Seksual dan fisik umpamanya. Melainkan juga menjadi lahan subur bagi mereka untuk tumbuh dan menjalani hidup yang baik dan diidamkan. Semua itu bisa mereka perioleh di kampus tempat mereka sedang berproses. Dan karena itulah mereka patut mendapatkan kehidupan yang baik di dalamnya.
Untuk kepentingan di atas, semua perguruan tinggi sangat pantas memikirkan desain terbaik bagi konsep kampus sebagai rumah kedua. Itu karena kampus memiliki banyak kelebihan. Bahkan sebagai rumah kedua, kampus bahkan memiliki sejumlah kelebihan komparatif dibanding rumah itu sendiri. Kampus identik dengan beragam ilmu. Tempat orang menimba dan sekaligus memproduksi ilmu pengetahuan. Bahkan, ilmu pengetahuan itu sendiri diproses dan diproduksi di dalam kampus. Melalui skema integrasi tridharma. Mulai dari pengajaran, penelitian, hingga pengabdian kepada masyarakat.
Maka, jika kampus memiliki banyak kerangka teori dan instrumen praktis untuk mengembangkan konsep “rumah kedua”, itu wajar sekali. Dan itu yang justeru menjadi wajah kampus yang seharusnya. Banyak ilmu. Kaya kerangka teori. Lengkap dengan berbagai kebajikan. Maka, pengembangan konsep “kampus sebagai rumah kedua” sudah barang tentu dan sudah sewajarnya diperlengkapi dengan berbagai ilmu, teori, dan kebajikan dimaksud. Karena itu, sangat ironis jika kampus gagal menjadi rumah kedua.
Gagalnya kampus sebagai rumah kedua bisa dilihat dari indikator yang menyolok. Jika kekerasan menyebar di dalamnya, maka kampus gagal menjadi rumah kedua. Jika kerawanan menjadi gambar besar isi hati dan perasaan individu di dalamnya, maka kampus gagal menjadi rumah kedua. Jika mahasiswi mendapatkan perlakuan kekerasan verbal, fisik dan bahkan seksual, maka kampus gagal menjadi rumah kedua. Jika mahasiswa mendapatkan perlakuan kasar, maka kampus gagal menjadi rumah kedua. Dan penting dicatat: pelaku berbagai bentuk kekerasan dimaksud bisa saja oleh sesama mahasiswa. Atau bisa juga oleh pegawai kepada mahasiswa. Atau bisa pula oleh mahasiswa kepada pegawai. Dan pegawai dalam maksud ini bisa dosen atau tenaga kependidikan.
Pun bahkan, jika rasa aman menjadi barang asing di dalam kampus, maka kampus telah gagal menjadi rumah kedua. Jika kedamaian dan ketenangan batin sudah langka untuk bisa didapatkan, maka kampus telah gagal menjadi rumah kedua. Itu semua penting dicatat sebagai isyarat yang gampang diingat untuk meneguhkan kampus sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi siapa saja di dalamnya. Itulah ukuran konkret dari konsep kampus sebagai rumah kedua. Itu semua karena kampus adalah kehidupan itu sendiri. Kampus harus memberi pengalaman positif terbaik kepada seluruh warganya.
Ingat: Kampus sebagai rumah kedua! Bukan kos-kosan kedua! Kampus bukan sebagai kos-kosan kedua. Substansi terakhir ini penting disebut untuk menjaga kejernihan konsep kampus sebagai rumah kedua dengan ukuran keamanan dan kenyamanan di dalamnya. Juga, kampus sebagai rumah kedua penting ditegaskan untuk menjauhkan kampus dari kepentingan ikutan nan sesaat yang tidak bersifat mendidik secara sama bagi laki maupun perempuan di dalamnya. Tanpa ada pretensi apapun terhadap konsep kos-kosan, kampus tak selayaknya menjadi tempat tinggal sementara. Kecuali memang ada fasilitas khusus, seperti asrama dan pesantren di dalamnya. Itu semua untuk menjaga idealisasi kampus sebagai rumah kedua. Yang di antaranya menyediakan tempat ternyaman dan teraman bagi tumbuhnya kepribadian.
Sudah mendesak sekali, kampus di Indonesia menjadi rumah kedua bagi mereka yang menghabiskan separuh waktu hariannya. Atau separuh dari babakan hidupnya. Mulai pegawai hingga mahasiswa. Tanpa perlu ada diskriminasi di dalamnya. Dan memang, semua tidak bisa sak jet sak nyet untuk mewujudkannya. Tidak bisa main sulap. Tidak bisa serba instan. Tidak bisa tiba-tiba. Butuh proses. Butuh langkah tegap untuk menggerakkannya. Butuh ikhtiar terukur untuk merealisasikannya.
Tapi komitmen yang kuat menunjukkan kecenderungan yang baik. Dilahirkannya regulasi untuk menjamin rasa aman dan nyaman bagi setiap warganya adalah bentuk komitmen perwujudan kampus sebagai rumah kedua. Dilakukannya fasilitasi yang baik atas prinsip aman dan nyaman bagi mahasiswa dan pegawai secara sama adalah langkah maju atas komitmen dimaksud. Tak ada kebaikan yang tumbuh di atas ketidakamanan dan ketidaknyamanan ruang publik. Dan karena itu, kampus sebagai rumah kedua adalah jawaban yang harus digelorakan.