Prof. Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H
Guru Besar dan Sekretaris Komisi Etik Senat UINSA Surabaya
Saat ini sedang santer 3 (tiga) isu yang membuat gonjang ganjing kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga isu tersebut adalah: Pertama, dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI yang hingga saat ini belum kelar. Kedua. Usulan pemakzulan Wakil Presiden. Ketiga dan merupakan isu terbaru yaitu pemilihan Wakil Presiden oleh MPR yang diusulkan oleh Presiden terpilih.
Isu terkahir tersebut memang pernah digagas (diusulkan) oleh tokoh dan sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Pertama Prof. Dr. Jimly Asshidiqie. Usulan atau gagasan tersebut disampaikan Prof. Dr. Jimly Asshidiqie pada saat acara diskusi Politics & Colleagues Breakfast (PCB) bertajuk “Menimbang Amandemen Konstitusi,” di Sekretariat PCB, Jakarta Selatan.
Model ini menurut Prof. Dr. Jimly Asshidiqie untuk memperkuat posisi MPR sekaligus memastikan, bahwa Wakil Presiden merupakan sosok yang benar-benar dipercaya oleh presiden terpilih. Selain itu untuk menghindari transaksi politik dalam penentuan pasangan calon.
Gagasan pemilihan Wakil Presiden oleh MPR tersebut mendapat dukungan mantan Ketua MPR ke-15 Heru Susetya. Ia menegaskan, skema ini akan memperkuat sistem presidensial dan memberi ruang konstitusional bagi MPR dalam proses politik nasional.
Memperhatikan apa yang diusulkan Ketua MKRI Pertama dan juga pendapat Ketua MPR RI ke-15 tersebut rasanya ada yang kurang jumbuh dengan demokratisasi yang sedang berjalan di NKRI ini. Mengapa? Bangsa Indonesia sejak bergulirnya Reformasi sudah sepakat untuk membangun demokratisasi yang benar. Salah satu wujud adalah amandemen UUD 1945 dengan melakukan permurnian sistem presidensiil dalam sitem ketanegaraan Indonesia. Pada sistem presidensiil murni, tidak ada lagi pengaruh dan intervensi pemegang kekuasaan negara yang satu terhadap yang lain. Dalam hal ini adalah kekuasaan legislatif terhadap kekuasaan eksekutif sebagaimana terjadi pada masa sebelum amandemen UUD 1945.
Kristalisasi penegasan tekat permurnian sistem presidensiil denyatakan dalam Pasal 6A UUD 1945 setelah perubahan, “Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan calon secara langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, sebagaimana Presiden maka kedudukan Wakil Presiden adalah kuat. Artinya kedudukan Wakil Presiden pun tidak dapat diganggu gugat oleh lembaga negara lain, termasuk DPR.
Meski demikian harus diakui secara fungsi dan wewenang Wakil Presiden masih memiliki kelemahan. Wakil Presiden masih memiliki perbedaan dalam hal tugas dan fungsi dengan Presiden, karena keberadaan Wakil Presiden baru diakui ketika Presiden dalam keadaan berhalangan.
Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan tidak jelasnya peran dan kedudukan Wakil Presiden. Pertama, kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden, sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (2). Sebagai Pembantu Presiden kedudukan Wakil Presiden menjadi setara dengan menteri yang juga sama-sama sebagai Pembantu Presiden. Wakil Presiden hanya merupakan the second man (orang kedua). Kedua, Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada Presiden, sebagaimana layaknya status menteri sebagai Pembantu Presiden yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden; dan Ketiga, dalam tradisi dan praktik ketatanegaraan, belum pernah ada Wakil Presiden yang menyampaikan pertanggung jawaban kepada MPR atau kepada rakyat. Pertanggung jawaban selalu dibebankan kepada Presiden. Karena itu, posisi Wakil Presiden sebagai pembantu Presiden menjadi kurang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan.
Penyebab lain kekurangjelasan peran dan kedudukan Wakil Presiden adalah: Pertama, dalam sistem pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang, jabatan Wakil Presiden tidak mempunyai wewenang apa-apa. Fungsinya hanya menggantikan Presiden; Kedua, dalam perjalanan Sejarah ketatanegaraan di Indonesia, Negara Republik Indonesia pernah tidak memiliki Wakil Presiden. Meski demikian pada kenyataannya, meskipun tanpa Wakil Presiden, pemerintahan dapat berjalan. Ketiga, hubungan Wakil Presiden dengan Presiden pada setiap masa mempunyai karakter yang berbeda-beda.
Kenyataan-kenyataan demikian menjadikan kedudukan Wakil Presiden dalam suatu sistem ketatanegaraan menjadi tawar antara ada dan ketiadaannya. Sehingga sering dikatakan bahwa kedudukan Wakil Presiden ibarat sebagai “ban serep”.
Apakah hal ini salah? Tentu saja tidak. Mengapa? Karena UUDNRI 1945 maupun regulasi yang mengatur tentang kedudukan, tugas dan wewenangan Wakil Presiden masih kabur (kurang jelas). Seharusnya MPR selaku penyusun Konstitusi dan DPR selaku legislator merumuskan kedudukan, tugas, dan wewenang Wakil Presden secara tegas sebagaimana lembaga negara konstitusional yang lain.
Kondisi demikian harus mendapat perhatian khusus dalam Hukum Tata Negara, terutama dalam pengkajian UUD 1945 dan regulasi lainnya. Artinya, kedudukan, tugas dan wewenang Wakil Presiden ini harus kembali menjadi agenda dalam perubahan UUD 1945 berikutnya agar benar-benar terjadi keseimbangan yang proporsional antara tugas dan wewenang Presiden dan Wakil Presiden. Atau setidaknya ada pembagian yang jelas antara masing-masing tugas dan wewenang tersebut.
Sekedar gambaran, Wakil Presiden Amerika Serikat cukuplah aktif dalam beberapa periode. Seperti saat Lyndon Johnson menjabat sebagai Wakil Presiden dari John Kennedy (1961-1963). Lyndon Johnson mengepalai “Komite Presiden untuk Kesetaraan Kesempatan Kerja” dan beberapa misi diplomatik. Nelson Rocklover saat menjabat sebagai Wakil Presiden dari Gerald Ford (1974-1977) memberikan pengaruh terhadap Gerald Ford dalam pembuatan dan pengambilan keputusan tentang program-program domestik. Wakil Presiden Albert A. Gore (1993-2001) memiliki wewenang untuk berpartisipasi dalam seleksi kabinet, pengangkatan sub-kabinet, mereview draft pidato Presiden, dan serangkaian peran yang penting terutama dalam National Performance Review Project untuk melakukan “reinventing government” agar pemerintahan lebih efisien dan efektif. Wakil Presiden Dick Cheney yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang secara umum terjadi diakui sebagai wakil presiden paling berpengaruh di Amerika pada masa masa kepresidenan George W. Bush.
Secara konstitusional Wakil Presiden Amerika Serikat ditetapkan menjabat sebagai Ketua Senat. Gaya kepemimpinan Presiden dapat memberikan peran yang lebih menonjol kepada Wakil Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan Wakil Presiden menggantikan Presiden diatur baik atas kehendak yang berasal dari Presiden maupun yang berasal dari Wakil Presiden dengan dukungan beberapa orang Menteri.
Melihat gambaran wakil presiden Amerika Serikat tersebut, jelaslah bahwa permasalahan terletak pada kekuarang jelasan regulasi dalam menetapkan kedudukan tugas, dan wewenang Wakil Presiden. Jadi bukan tentang anggapan ketidakmampuan Wakil Presiden dan/atau masalah politik lainnya sehingga muncul usulan pemilihan Wakil Presiden oleh MPR, karena hal demikian merupakan langkah mundur demokratisasi. Ibarat buruk muka cermin dibelah. Bukankah, jika pemilihan Wakil Presiden dilakukan oleh MPR – tidak menutup kemungkinan terjadinya transakasi-transaksi dan lobby antar elit partai politik sebagaimana juga terjadi pada pengusulan bakal calon legislatif itu sendiri. Wallahu a’lam bishawab