SALAWAT BEREBANA PUN MENDUNIA
TOUR DAKWAH DI LONDON (14)
“Saat itu saya lalu teringat salawat sejenis, yang dilantunkan beberapa muslimah Indonesia di atas sebuah gunung San Francisco, AS.
Lalu, terbitlah buku saya, “Nabiku Masih Hidup di San Francisco.”
“Ternyata nabiku tampak lebih nyata di Britania Raya”.”
Oleh Moh. Ali Aziz
“Qamarun, qamarun, qamarun, sidnan Nabi,..”
Lirik kasidah dengan iringan rebana menggema di Indonesia Islamic Center (IIC) menyambut kedatangan saya (10/4/2023).
Shalawat yang dilantunkan oleh ibu Kartini (50 tahun) itu amat mengharukan. Kacamata saya ikut terbasahi air mata, sehingga kesulitan melihat wajah ibu-ibu yang telah hadir pada acara berbuka puasa itu.
Wanita asal Ponorogo itu tampak menghayati salawat yang dilantunkan.
Sepekan sebelumnya, saya juga kagum atas suara dan lagu tilawah Al Qur’an yang ditampilkan di panggung KBRI.
“Usia boleh menua, tapi suara harus tetap memesona,”
Kata saya mengapresiasi guru mengaji yang selalu menolak pemberian honor itu. Ia telah bekerja di London lebih dari 25 tahun.
Saat itu saya lalu teringat salawat sejenis yang dilantunkan beberapa muslimah Indonesia di atas sebuah gunung San Francisco, AS.
Lalu, terbitlah buku saya, “Nabiku Masih Hidup di San Francisco.”
“Ternyata nabiku tampak lebih nyata di Britania Raya,” kata saya dalam hati sambil melanjutkan bait lagu berikutnya dengan lirih,
“Wa jamil, wa jamil, wa jamil..” (oh, Nabiku yang amat tampan).
“Rebana An-Nisa ini sudah tampil di semua daratan UK (United Kingdom) pak ustad,” kata ibu Afrahul Fadhilah, pembina grup shalawat dengan bangga.
Menurut wanita asal Medan yang sering dipanggil Umi Arfa itu, grup ini diundang juga oleh kalangan non-muslim.
Konferensi wanita sedunia yang pesertanya sebagian besar non-muslim juga pernah mengundangnya.
“Benar pak,” kata pengurus Islamic Center sambil menambahkan,
“Umi Arfa juga akan menyerahkan infak yang telah dihimpun, sebesar 750 poundsterling (Rp. 14 juta) untuk pembangunan Masjid IIC”.
Di tengah-tengah saya menjelaskan kedahsyatan salawat Nabi, datanglah wanita memakai helm mengangkat sepeda listrik dengan dua anak kecilnya.
“Silakan duduk bu,” kata saya menyambutnya.
Setelah acara, ibu itu mengatakan sudah biasa pulang tengah malam dari pengajian dengan bersepeda melintasi 4 KM bersama dua anaknya.
“Let me lift you,” kata saya sambil mengangkat anaknya di boncengan sepeda.
Beberapa kelompok pengajian yang lain juga memiliki grup kasidah berebana, tapi tidak sepopuler grup ini.
Ada banyak organisasi dakwah Indonesia di London. Antara lain, PCI NU UK, PCI Muhammadiyah UK, Muslimat UK, An-Nisa Rebana London, PBML (Pengajian Bulanan Muslimat London), Pengajian Ibu-ibu Hari Rabo, Pengajian London An-Nur, Al Ikhlas London, MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) UK, Al Jam’iyatul Washliyah, PMIL (Pengajian Muslim Indonesia di London dan sekitarnya), dan Human Aid Initiative. Semuanya di bawah payung besar organisasi KIBAR (Keluarga Islam Indonesia di Britania Raya).
Grup salawat Muslimat NU juga berlatih maraton untuk tampil maksimal di Trafalgar Square memenuhi undangan walikota London akhir April tahun ini.
“Saya pernah pulang jam setengah satu malam untuk latihan salawat itu, berkolaborasi dengan tarian daerah,” kata ibu yang duduk di kursi belakang ketika mobil melewati jalan kampung Arab.
“Ha, kampung Arab?” kata saya heran.
Driver yang istrinya pernah bekerja pada majikan Arab di jalan itu mengatakan, istrinya juga mengikuti latihan yang sama.
Dari atas mobil, saya menyaksikan orang-orang berwajah Timur Tengah memenuhi restoran mewah pada malam itu.
Anak-anak usia sekolah dasar juga tak mau kalah. Mereka tampil memukau melantunkan shalawat di KBRI.
“Thala’al badru ‘alaina, min tsaniyyatil wada’….” suara melengking anak berjilbab yang disambut tepuk tangan hadirin sambil menirukannya, walaupun tidak sepenuhnya persis dengan liriknya.
Peserta salawat laki-laki yang ada di sebelahnya menyahut menerjemahkan salawat dalam bahasa Inggris dengan logat yang tak tampak sekali logat Indonesianya.
“Sebagian besar mereka justru kesulitan berbicara dengan bahasa Indonesia,” kata orang di sebelah saya yang bersiap mengikuti Pelatihan Terapi Shalat Bahagia tahap ketiga di lantai dua KBRI.
Acara tetap meriah walaupun yang hadir hanya sekitar 275 orang, lebih sedikit dari acara sebelumnya yang diikuti sekitar 300 pelajar dan pekerja.
(Bersambung).