Column

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Dia sebutlah sebuah ayat. Itu dia lakukan usai menjelaskan pentingnya proses seleksi yang profesional. Dalam kerangka penerimaan mahasiswa baru jalur ujian masuk perguruan tinggi keagamaan Islam Negeri. Disingkat UM PTKIN. Kepentingannya agar tercipta outcome (hasil-dampak) yang baik. Ayat yang dia sebut dan kutip itu adalah al-Qur’an Surat al-Qashash Ayat 26. Begini bunyinya: اِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ. Terjemahan harfiyahnya seperti ini: “Sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau pekerjakan adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”

Tertegunlah semua yang hadir. Khidmat dan khusyuk menyimak. Karena yang disampaikan selalu sarat makna. Bisa disebut tausiyah. Mulai dari tausiyah akademik hingga tausiyah birokrasi. Bukan sekadar arahan teknis semata. Karena itu, selalu saja yang hadir menunggu tausiyahnya. Seperti lazimnya setiap ada sambutan darinya. Dan kali itu, penyebutan dan pengutipan ayat di atas tampak dilakukan dengan sebuah pesan penting yang ingin disampaikan. Untuk kemuliaan bersama. Dan orang yang menyampaikan dan mengutip ayat tersebut adalah Menteri Agama RI Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Itu disampaikan di hadapan para rektor pada pembukaan sidang kelulusan UM PTKIN, Rabu (25 Juni 2025).

Apa pentingnya menyebut ayat di atas? Ayat tersebut dijelaskan ulang untuk menegaskan bahwa pendidikan harus mampu mencetak pribadi anak bangsa yang hebat. Tentu hebat di sini harus memenuhi kriteria yang dipersyaratkan. Dan ayat di atas disitir untuk mendasari kriteria yang dibutuhkan untuk mencetak anak bangsa yang diidealkan dimaksud. Apa itu? Al-qawiy al-amin. Tulisan Arabnya: الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ. Terjemah harfiyahnya berarti “orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. Tapi, bagaimana penjelasan detailnya? Makna rincinya seperti apa? Di sinilah kutangkap mengapa Menteri Agama di atas mengutip ayat dimaksud lalu menjelaskan uraian konkretnya.

Pesan Menteri Agama

Menteri Agama yang juga ilmuwan tafsir al-Qur’an itu menjelaskan begini: “Sesungguhnya orang yang pantas dipromosikan adalah orang yang kuat dan safe/faithful/amanah.” Lebih lanjut dia menegaskan, “Yang dimaksud kuat di sini bukan sekadar kuat biasa, tapi profesional, yakni yang memiliki kekuatan karakter, ketekunan, dan kesabaran.” Jadi, kata “kuat” dalam ayat dimaksud mengandung arti gabungan kekuatan karakter, ketekunan, dan kesabaran. Lalu, kata “dapat dipercaya” sebagai terjemahan langsung dari al-amin mengandung arti “safe/faithful/amanah”. Itu karena, menurut Menteri Agama itu, kata al-amin berasal dari akar kata yang sama dengan kata al-amn dan al-iman. Artinya, bahwa makna kata al-amin menunjuk kepada irisan arti aman (safe), beriman (faithful), dan terpercaya (amanah).

(Foto Menag dan Dirjen Pendis pada Sidang Kelulusan UM PTKIN, 25 Juni 2025)

Karena itulah, Menteri Agama di atas menekankan pentingnya al-qawiy al-amin sebagai ukuran pribadi ideal untuk urusan sumber daya manusia profesional. Bahkan, pintar pun tak cukup jika tak ada karakter al-qawiy al-amin. “Apa artinya pintar jika tidak al-qawiy dan al-amin? Itu bukan pilihan,” begitu uraian lanjutan yang diberikan oleh Menteri Agama di atas. Berikut keterangan penjelas yang diberikan sebagai pendalaman: “Mungkin fisiknya terbatas tapi tekadnya kuat dan terpercaya.” Karena itu, dalam pandangannya, yang dibutuhkan bukan al-‘alim. Bukan pintar. Mengapa begitu? “Karena di era kini sarjana mesti pintar. Tapi yang dibutuhkan adalah kuat-sabar-tekun (al-qawiy) dan terpercaya (al-amin).” Demikian uraiannya.

Bahkan, Menteri Agama di atas mengingatkan kita semua tentang trend kebutuhan pasar kerja masa depan. Begini nasehatnya: “Era masa depan adalah era al-qawiy al-amin.” Maka, sebagai makna implikatifnya, hendaknya masing-masing kita tak menjadikan kepintaran sebagai ukuran dan modal satu-satunya untuk menjemput masa depan. Kenapa begitu? Karena, lagi-lagi meminjam ungkapan Menteri Agama itu, “Orang pintar itu tidak berbanding lurus dengan kesabaran dan kejujuran.” Fakta lapangan bisa menjadi bukti penjelasnya. Betapa kepintaran hanya urusan kognitif semata. Tak selalu kepintaran identik dengan dan dibersamai oleh kesabaran dan kejujuran.

Kekuatan Karakter

Kekuatan karakter. Itulah kata kuncinya. Ya, itulah poin penting yang menjadi perhatian Menteri Agama di atas. Merujuk kepada serangkaian uraian tentang tafsir atas al-qawiy al-amin yang disampaikan di atas, jelas sekali bahwa kriteria yang dirujuk bukan dengan makna kekuatan fisik. Alih-alih, kata tersebut menunjuk kepada kekuatan karakter pada diri seseorang. Sepintas memang tersembul arti bahwa kata al-qawiy adalah kekuatan fisik. Namun, ternyata kata tersebut mengandung makna lebih dari sekadar kekuatan fisik, melainkan kekuatan diri dalam bentuk ketekunan dan kesabaran.

Apalagi, kata al-amin yang diturunkan secara back-to-back (bersandingan) dengan kata al-qawiy dalam ayat di atas mengandung substansi makna kejujuran dan keterpercayaan. Gabungan kata al-qawiy dan al-amin dimaksud, karena itu, semakin mempertegas pesan kekuatan karakter sebagai indikator figur ideal untuk sumber daya manusia profesional. Hanya, uraian ini bukan untuk mengatakan bahwa pintar tidak penting. Tetap, pintar itu penting. Karena pintar berarti kecakapan menyerap informasi sebaik mungkin. Dan kecakapan ini dibutuhkan dalam kehidupan setiap diri. Karena dengan kecakapan itu, hidup akan makin didampingi dengan kekayaan informasi dan pengetahuan.  

Maka, pesan “Apa artinya pintar jika tidak al-qawiy dan al-amin?” yang disampaikan Menteri Agama di atas harus dimaknai bahwa hendaknya setiap diri tak merasa cukup dengan menjadi pintar. Jangan berpuas diri lalu congkak dengan kepintaran. Sebab, kepintaran itu murni soal kognitif. Hanya menyangkut urusan akademik semata. Padahal, perbendaharaan kognitif dan atau akademik itu tetap perlu disosialisasikan, dikomunikasikan, diterjemahkan, dan bahkan diwujudkan dalam praktik kehidupan. Artinya, kepintaran yang dibuktikan dengan kekuatan perbendaharaan kognitif dan atau akademik hanya awal saja bagi kemajuan diri. Kekuatan karakter adalah bagian krusial bagi perilaku baik dalam hidup.

Lihatlah kompetensi kenabian. Ambillah sifat-sifat wajib Nabi Muhammad SAW sebagai contoh. Ada empat sifat dimaksud: jujur-benar (shidq), terpercaya (amanah), komunikatif-menyampaikan (tabligh), dan cerdas-pintar (fathanah). Kalau boleh dilakukan proses prosentase ke dalam seratus persen, maka kekuatan kognitif menempati besaran 25 persen. Simbolisasinya adalah kata “cerdas-pintar” atau fathanah. Sisanya sebanyak 75 persen berisi kandungan karakter. Penandanya adalah tiga kata, yakni “jujur-benar” atau shidq, “terpercaya” atau amanah, dan “komunikatif-menyampaikan” atau tabligh.

Ilustrasi di atas mengirimkan pesan penting bahwa sukses itu bukan semata-mata soal kecerdasan, atau soal kepintaran. Bukan semata-mata soal kognitif. Sekali lagi bukan. Prinsip ini harus menjadi catatan tebal setiap diri. Sebab, ternyata ada komponen selain kognitif yang juga berpengaruh, bahkan pengaruhnya sangat kuat terhadap sukses seseorang. Apa itu? Yakni, karakter. Bentuknya kecerdasan emosional (emotional intelligence atau juga dikenal dengan emotional quotient). Ilustrasi prosentase yang mencapai 75 persen di atas, bagaimanapun, menegaskan bahwa kekuatan karakter berbalut kecerdasan emosional sangat menentukan sukses seseorang.  

Benar bahwa pintar atau cerdas itu modal penting. Sebab, tanpa adanya komponen cerdas atau pintar itu, tak akan tercapai prosentase utuh 100 persen dari kecakapan diri. Itu artinya, bagaimanapun, pintar atau cerdas itu merupakan komponen pembentuk kesuksesan. Tapi, jika diyakini bahwa pintar atau cerdas adalah segalanya bagi kesuksesan, jelas itu salah. Karena, merujuk kepada identifikasi sifat wajib Nabi Muhammad SAW sebagaimana dijelaskan di atas, pintar atau cerdas itu hanya menempati 25 persen dari komposisi utuh sifat wajib yang membentuk sukses kenabian figur teladan Nabiyullah Muhammad SAW.

Maka, nasehat “Apa artinya pintar jika tidak al-qawiy dan al-amin?” yang disampaikan oleh Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar di atas harus dipahami sebagai panduan agar setiap diri tak menjadikan pintar atau cerdas sebagai modal dan ukuran satu-satunya dari kesuksesan. Sempurnakanlah modal kecerdasan atau kepintaran itu dengan kekuatan karakter nan mulia. Bahkan, pesan “sempurnakanlah” ini memiliki bobot yang sangat tinggi. Itu karena kekuatan karakter nan mulia itu memiliki komposisi yang melebihi kapasitas kecerdasan dan kepintaran yang hanya setara dengan seperempat dari bangunan utuh kecakapan diri menuju sukses dalam hidup.

Lalu Apa Pelajarannya? 

Maka, berangkat dari penjelasan Menteri Agama di atas, kita bersama bisa menarik makna begini: Prinsip al-qawiy al-amin bisa diberlakukan baik untuk kepentingan pengembangan pendidikan maupun promosi jabatan di ruang publik. Untuk kepentingan pengembangan pendidikan, prinsip al-qawiy al-amin bukan saja penting dijadikan sebagai nilai dasar bagi rencana dan proses penyelenggaraan pembelajaran, melainkan juga orientasi akhir pendidikan dalam rangka menyiapkan generasi yang tekun, sabar, rajin dan terpercaya. Generasi yang demikian ini merupakan modal sumber daya manusia profesional yang dibutuhkan ke depan.

Karena itu, ada pelajaran penting yang bisa ditarik dari prinsip al-qawiy al-amin bagi pendidik secara khusus. Jika prinsip dimaksud merupakan kriteria yang diidamkan untuk sumber daya manusia profesional yang dibutuhkan kini dan mendatang, maka pendidikan sebagai proses penyiapan dan pencetakan calon sumber daya manusia yang diidamkan juga harus menjadikan prinsip al-qawiy al-amin sebagai nilai dasar bagi kepentingan desain dan pengembangan kurikulum yang dijalankan. Bahkan lebih lanjut, prinsip dimaksud bisa menjadi basis nilai yang mengilhami seluruh langkah perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi pendidikan yang dilaksanakan.

Semua proses yang diberikan kepada peserta didik didasarkan pada kepentingan perwujudan nilai al-qawiy al-amin di atas. Dengan begitu, semua langkah proses dan isi pendidikan yang dijalankan mengacu kepada nilai dimaksud. Sebagai konsekuensi logisnya, tak akan ada kekhawatiran bahwa proses dan isi pendidikan yang dijalankan keluar dari, atau sama sekali meninggalkan, substansi yang dikandung oleh nilai dasar dimaksud. Kalau semua rangkaian proses dan isi pendidikan tersebut bisa dijamin untuk digerakkan di atas nilai dasar dimaksud, maka standar isi dan proses bisa dipenuhi dan dicapai dengan maksimal. Kalau sudah begitu, maka orientasi semua layanan pendidikan yang dijalankan tak akan keluar dari nilai al-qawiy al-amin dimaksud.

Serupa dengan proses bisnis untuk pengembangan pendidikan di atas, prinsip al-qawiy al-amin juga penting dirujuk oleh siapapun yang sedang diamanahi untuk mengelola jabatan publik. Jadikanlah prinsip tersebut sebagai kriteria penting dalam rekrutmen dan sekaligus promosi jabatan. Konkretnya, jadikanlah karakter sebagai pertimbangan utama dalam melakukan rekrutmen calon pegawai dan sekaligus promosi jabatan dimaksud. Jangan berhenti pada kecerdasan atau kepintaran sebagai ukuran dominan. Sebab, penunaian tugas pekerjaan yang diamanahkan oleh lembaga tidak boleh tersandera oleh kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingan lembaga itu sendiri.

Untuk kepentingan itu, maka kekuatan karakter mulia harus menjadi pertimbangan utama. jika tidak, maka dikhawatirkan kepintaran atau kecerdasan justru akan menjadi penghalang bagi pencapaian kinerja lembaga. Mengapa bisa begitu? Karena kekuatan karakter mulia tak hadir dalam penunaian tugas jabatan yang diamanahkan. Saat kekuatan karakter mulia itu absen, tak akan ada nilai kebajikan yang mendasari dan memandu gerak penunaian tugas dan kerja jabatan. Keburukan biasanya justru hadir saat di sana tak ada nilai kebajikan yang mendasari dan memandu arah penunaian tugas jabatan. Sebagai akibatnya, bukan saja kinerja akan dipertaruhkan. Alih-alih, baik-buruk pun juga akan sulit untuk didapatkan dalam praktik penunaian tugas jabatan itu.

Kita memang pernah diingatkan oleh tokoh bisnis top dunia. Figur yang masuk ke dalam kategori sepuluh pengusaha terkaya dunia. Namanya Warren Buffet.  Dia pernah menyatakan begini: In looking for people to hire, you look for three qualities: integrity, intelligence, and energy. And if they don’t have the first, the other two will kill you. Artinya: Dalam usaha untuk mencari calon pekerja, lihatlah tiga nilai: integritas, kecerdasan, dan kekuatan fisik. Dan jika mereka tak memiliki yang pertama (integritas), maka dua sisanya (kecerdasan dan kekuatan fisik) akan membunuhmu.

Intinya, sesuai dengan pengalamannya sebagai the big boss dalam berbisnis, Warren Buffet mengingatkan agar integritas sebagai kekuatan karakter utama menjadi nilai kecakapan dasar dalam rekrutmen pegawai dan promosi jabatan. Tentu pesan Warren Buffet dimaksud tak berasal dari angan-angan. Bukan merupakan hasil kontemplasi sebagai pemikir. Pesan penting itu justru lahir dari pengalaman konkretnya dalam sejarah panjangnya sebagai pebisnis ternama. Proses yang dia jalani tentu berliku hingga menjadi pebisnis hebat itu. Praktik lapangan yang dijumpai juga penuh lika-liku. Dia pun akhirnya menjadi pebisnis penuh asam-garam dan pengalaman beragam.

Karena itu, yang dinasehatkan oleh Warren Buffet tentang kriteria rekrutmen pegawai dan promosi jabatan di atas adalah hasil konkret berbasis pengalaman nyata. Saat pengalaman nyata seperti yang dialami olehnya dalam rekrutmen pegawai dan promosi jabatan bertemu dengan nilai dasar sebuah ajaran, maka hasilnya pasti resep dan rumusan terukur. Tentu, ajaran al-Qur’an di atas apapun pengalaman manusia. Dan, pengalaman Warren Buffet memang salah satu bagian saja dari gugusan pengalaman manusia itu. Hanya, satu yang penting dicatata: prinsip  al-qawiyy al-amin yang diajarkan oleh al-Qur’an diafirmasi oleh pebisnis top dunia dalam pengalaman panjangnya dalam pengelolaan sumber daya manusia yang dipekerjakannya.

Integritas Diri

Kini semua tersadarkan betapa pentingnya integritas dalam nilai karakter sumber daya manusia. Karena itu, al-Qur’an menyebut al-qawiyy al-amin sebagai kriteria penting dalam nilai terbaik sumber daya manusia itu. Itulah yang kini oleh orang modern disebut dengan profesionalisme. Ketekunan-kesabaran dan keterpercayaan adalah indikator penting dari nilai profesionalisme itu. Pintar memang penting. Tapi, pintar tak selalu berbanding lurus dengan ketekunan-kesabaran dan kejujuran. Saat ketekunan-kesabaran dan kejujuran itu enyah dari diri, jangan-jangan kepintaran justru akan membunuh masa depan lembaga tempat kerja. Melalui praktik buruk para pemangku jabatan dan pekerjaan yang diamanahkan.  

Mungkin saja pengangkatan dan promosi pegawai didasarkan pada pertimbangan tertentu. Sangat bisa jadi masing-masing unsur pemangku kepentingan memiliki pemikiran tertentu dalam melakukan pengangkatan dan promosi jabatan. Tapi, al-Qur’an memberikan pedoman penting: jika menginginkan opsi terbaik, jangan pernah meninggalkan kekuatan karakter pada diri sang calon. Pesan اِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ dalam ayat yang dikutip di atas menegaskan panduan penting soal opsi terbaik itu. Dan diksi الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ dalam lanjutan ayat tersebut adalah pesan penting mengenai kekuatan karakter sebagai solusi pertimbangan seleksi dan promosi jabatan itu.

Gabungan antara kuat-sabar-tekun dan terpercaya, sebagaimana diuraikan Menteri Agama di atas, adalah indikator karakter yang terukur dari diksi الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ dimaksud. Kekuatan karakter, ketekunan, kesabaran, dan keterpercayaan inilah pembentuk sumber daya manusia profesional yang dibutuhkan bangsa dan negara. Lalu dimanakah pintar-cerdas dan kekuatan fisik harus diletakkan? Pintar-cerdas dan bugar memang penting dalam hidup. Tetapi, untuk ukuran profesionalisme, itu saja tak cukup. Karena justru bisa membunuh lembaga. Maka, kekuatan karakter, ketekunan, kesabaran, dan keterpercayaan harus menjadi pilihan solusi bagi rekrutmen dan promosi jabatan. Agar lembaga tak tersandera oleh keburukan dan kejahatan yang bisa muncul kapan saja saat kekuatan karakter, ketekunan, kesabaran, dan keterpercayaan tak bersemayam dalam diri individu di dalamnya.