FISIKA (dalam) KOMUNIKASI KESEHATAN: PRINSIP INVERSI MAKNA UNTUK MENCAPAI RAḤMATAN LI AL-`ĀLAMĪN
Oleh Dr. Nikmah Hadiati Salisah, S.Ip., M.Si.
(Ketua Jurusan Komunikasi, FDK, UINSA)
Teringat sebuah pengalaman sederhana di kelas, saat mahasiswa diperlihatkan gambar sebuah gelas yang berisi separo air lalu mereka diminta untuk memberi komentar sesuai yang dipikirkan. Muncul beragam versi komentar yang sebagian besar mengatakan bahwa itu adalah gambar gelas berisi setengah air dan ya… itu betul. Tapi jikapun ada yang bilang bahwa itu adalah gambar gelas yang berisi separo udara, pastinya juga tidak bisa disalahkan. Itu hanya soal perbedaan perspektif yang hanya terjadi dalam dunia manusia. Meski nampak sangat bertolak belakang tapi keduanya sepenuhnya tidak ada yang keliru. Hal tersebut menampakkan sebuah cara berpikir sederhana yang bisa diadopsi dalam interaksi sosial.
Dalam psikologi komunikasi proses pemaknaan bagi individu dimulai dari sensasi, yaitu adanya stimulus yang menerpa sense / panca indra seseorang. Stimulus bisa berupa apapun, benda, bentuk, warna, dll. yang menerpa mata sebagai indra dengan fungsi penglihatan; stimulus suara yang menerpa telinga sebagai indra dengan fungsi pendengaran; stimulus aroma yang menerpa hidung sebagai indra dengan fungsi penciuman; rasa manis, asin, gurih, pahit, dll. yang menerpa lidah sebagai indra dengan fungsi pengecap; stimulus berupa suhu, tekstur, dll. yang menerpa kulit sebagai indra dengan fungsi perasa; semua jenis stimulus itu berpotensi menjadi ‘pesan’ bagi individu jika kemudian lebih lanjut dipilih untuk masuk menjadi bahan intepretasi. Pesan yang diinterpretasi selanjutnya akan diorganisasi, dipertemukan dengan interpretasi yang lain dalam sebuah konteks tertentu sampai terbentuk sebuah makna. Makna yang terbentuk itulah yang akan memunculkan rasa. Selanjutnya, rasa yang muncul tersebut akan mengarahkan individu pada sebuah sikap. Sebelum diwujudkan dalam bentuk perilaku, di sinilah letaknya niat. Pada akhirnya, dengan sikap tersebut ditambah niat yang dipilih akan menentukan perilaku apa yang akan dinampakkan oleh individu.
Makna sebagai sebuah penilaian bersifat sangat subjektif karena terikat dengan frame of reference dan fields of experience tiap orang yang berbeda seperti yang dikatakan oleh Wilbur Schramm. konsep “frame of reference” (kerangka referensi) adalah cara pandang seseorang yang terbentuk dari pengalaman, pengetahuan, nilai, dan budaya yang dimilikinya dan “field of experience” (medan pengalaman) dalam komunikasi mengacu pada pengalaman hidup seseorang yang membentuk cara mereka memahami dan menanggapi pesan.
Tiap individu merupakan sosok yang sangat unik, dalam artian tidak ada orang yang sama persis bahkan orang kembar identik sekalipun, pasti memiliki perbedaan. Ditambah lagi manusia merupakan sebuah sosok kompleks yang dilengkapi dengan aspek intelektual, emosional, dan spiritual yang membuatnya sangat unik dan membuat tiap orang berbeda satu sama lain meskipun diterpa oleh stimulus yang sama pada saat dan tempat yang sama.
Di sisi lain manusia juga dikatakan makhluk yang kompleks karena untuk bisa bertahan hidup dan tetap terjaga eksistensinya juga dibekali kemampuan sebagai makhluk sosial dan makhluk budaya. Akibat setiap saat berinteraksi sosial dan terpapar cara hidup budaya yang berbeda itulah maka tiap orang memiliki frame of reference dan field of experience yang berbeda. Kondisi tersebut pada gilirannya mengarahkan pada kemunculkan sikap dan perilaku yang beragam karena proses pembentukan interpretasi dan persepsi sangat dipengaruhi oleh tingkat kesadaran tiap individu saat memperoleh stimulus dan tingkat kesadaran itu sangat peka budaya.
Karena budaya yang notebene tidak akan ada yang sama persis bagaimana prosesnya dalam diri individu, maka proses interpretasi juga sepenuhnya pilihan individu, mau dibikin sendiri atau mengikuti saran orang lain, atau meniru cara orang lain. Dari sinilah ‘pintu’ masuk proses inversi makna. Dalam bidang fisika istilah inversi bisa diartikan sebagai pembalik arah. Secara sederhana kita bisa bayangkan ketika sesuatu dibalik, maka yang atas menjadi bawah, yang kanan menjadi kiri. Inversi juga bisa diartikan sebagai ‘yang berseberangan’ atau lawan makna: panas jika di-inversi menjadi dingin, keras inversinya lunak, negatif menjadi positif, dsb. Prinsip inilah yang bisa diterapkan untuk seseorang menghasilkan makna yang diinginkan agar efeknya pada sikap dan perilaku juga lebih ‘menguntungkan’ buat dirinya yang imbasnya juga buat orang-orang sekitarnya. Kebebasan individu dalam membentuk interpretasi inilah yang menjadi kata kunci dalam proses inversi makna. Saat indranya diterpa sebuah stimulus, seseorang bebas memilih dan meng-create makna. Meskipun awalnya yang muncul sebuah makna tertentu, tapi pada saat yang bersamaan individu bisa langsung melakukan inversi dengan mengambil makna yang sebaliknya. Secara logika, seseorang akan cenderung memilih sesuatu yang lebih nyaman dan menyenangkan buat dirinya. Tetapi disisi lain individu sering kali sulit mengingkari kata hatinya sendiri. Di sinilah letak titik kritisnya, bagaimana seseorang bisa langsung otomatis melakukan inversi makna yang lebih ‘menguntungkan’ buat dirinya. Dalam Theory of Planned Behavior dijelaskan bahwa sikap terhadap perilaku sangat dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya yang berulang (habit) dan makna yang diasosiasikan dengannya. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku bukan sekadar respons spontan, tetapi hasil dari makna dan sikap yang tertanam lewat pengulangan. Jadi, kata kunci berikutnya yaitu habituation atau pembiasaan. Dengan terus berlatih dan mempraktikkan untuk memilih dan memakai makna positif misalnya untuk memaknai setiap stimulus yang diterima, seseorang akan terbiasa dan otomatis memiliki persepsi yang positif yang akan mengantar pada feeling / perasaan yang lebih nyaman dan membahagiakan.
Dalam perspektif psikobiologis, rasa bahagia akan memicu aktivasi sistem hormonal yang memproduksi hormon bahagia. Perasaan adalah respons afektif subjektif terhadap stimulus eksternal atau internal. Jenis hormon bahagia yang sangat berperan dalam membentuk dan mengatur intensitas serta arah perasaan tersebut antara lain Dopamin yang menghasilkan perasaan senang, termotivasi, dan antusias; Serotonin yang menstabilkan suasana hati dan memberikan rasa tenang; Endorfin yang meredakan stres dan nyeri, menghasilkan rasa euphoria; dan Oksitosin yang menumbuhkan kepercayaan, kasih sayang, dan kedekatan social seperti yang dinyatakan oleh Kringelbach & Berridge bahwa emosi positif muncul akibat aktivasi sirkuit reward otak, khususnya sistem limbik, yang sangat dipengaruhi oleh dopamin dan serotonin
Dalam bukunya McCraty et al. dari HeartMath Institute, pikiran dan makna yang kita bentuk memengaruhi frekuensi elektromagnetik tubuh, termasuk jantung dan otak, yang bisa diukur secara kuantitatif. Otak menggunakan dan menghasilkan energi listrik untuk berkomunikasi antar neuron. Proses pemaknaan yang intens dapat mengubah arus listrik otak, menciptakan pola gelombang yang menghasilkan energi spesifik. Pemaknaan positif akan menghasilkan energi yang menenangkan (frekuensi alpha/theta) dan pemaknaan negatif (trauma, kecemasan) akan menghasilkan energi cemas (frekuensi beta tinggi)
Sampai disini , dapat dikatakan bahwa Islam sudah sejak awal mengarahkan kehidupan yang mudah untuk mencapai kesehatan mental dan fisik dengan cara yang relatif sangat mudah dan murah bahkan tanpa biaya sepeserpun dan semuanya bersumber dari perjuangan diri sendiri, justru bukan dengan mengomentari atau mengubah orang lain, sesuai dengan yang sudah ditegaskan secara implisit melalui ayat :
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Secara sederhana ayat ini menunjukkan bahwa perubahan — termasuk perasaan damai dan kebahagiaan — bermula dari dalam diri sendiri. Jika seseorang menginginkan kebaikan, ketenangan batin, dan kebahagiaan hidup, maka ia harus memulai dari perubahan sikap, persepsi, dan amal perbuatannya sendiri. Jadi, pusat segala perubahan adalah diri sendiri dan sangat masuk akal jika dikatakan bahwa perjuangan terberat manusia bukanlah perang melawan musuh, tapi justru perang melawan nafsunya sendiri.
Dari perspektif spiritual, 99 asmāu al-ḥusnā sebagai nama Allah juga sekaligus menunjukkan sifat-Nya. Jika dicermati, keseluruhan sifat tersebut merupakan keseluruhan unsur yang membentuk keseimbangan semesta. Prinsip keseimbangan (equilibrium) juga menjadi inti dari kondisi sehat bagi para makhluk, khususnya manusia, sehat dalam segala aspek: jasmani-rohani, fisik-mental-emosional-spiritual. Kita bisa menganggap tiap nama tersebut sebagai sebuah stimulus lengkap dengan maknanya. Kita bisa memilih nama yang sesuai dengan kondisi yang sedang kita hadapi. Ingat, setiap nama yang dipilih, akan memunculkan rasa dan energi tertentu, karena itulah kita harus memilih yang paling sesuai.
Sebagai contoh pengalaman, saat kehilangan sandal waktu salat di musala atau masjid, kadang otomatis muncul rasa jengkel, yang memunculkan sikap menyalahkan atau membenci orang yang mengambil atau memindahkan ke tempat lain yang kita tidak tahu. Perasaan tidak nyaman itu sebenarnya pada level tertentu sangat ‘merugikan’ tubuh kita tanpa kita sadari. Jika kita memahami cara kerja dan rumus tersebut, mari kita inversi makna sandal yang hilang dengan memikirkan bahwa itulah cara Allah mengarahkan kita agar berganti sandal yang lebih baik. Faktanya terbukti bahwa kita akan beli dan memiliki sandal baru, kan ? dengan memikirkan bahwa ternyata kehilangan sandal itu justru sesuatu yang baik, mungkin kita juga justru akan berterima kasih kepada siapa pun yang mengambil atau memindahkan sandal tersebut, dan yang muncul adalah rasa…bahagia dan bersyukur kepada Allah Sang Maha Berkehendak yang sedang menunjukkan sifat Kasih-Nya. Bisa juga kita tambahkan pemikiran bahwa siapa pun yang mengambil sandal tersebut berarti dia tertarik pada apa yang kita miliki dibandingkan sekian banyak pasangan sandal yang lain. Anggaplah kita sudah memberi sesuatu yang memang diinginkan dan dibutuhkan oleh orang lain. Kita bisa kembalikan pada diri sendiri, saat kita sedang lapar dan disuruh memilih 2 benda sebagai hadiah, topi atau kotak nasi. Secara logis kemungkinan pilih nasi kan ya… karena lebih membahagiakan. Seperti itulah cara kita men-setting niat: inilah saatnya Allah beri kita kesempatan untuk membahagiakan orang lain. Ending-nya, sandal hilang alih-alih sakit hati kita malah bahagia dan bersyukur. Sesuai janji Allah, jika kita bersyukur, Allah akan tambahkan kenikmatan dan keberkahan rezeki, minimal dengan adanya sandal baru yang kita mampu beli, kan ? di sini juga bisa dilihat pentingnya niat ( intention ). Sangat jelas ditunjukkan sebagai salah satu pedoman interaksi makhluk dengan sang khalik, seperti diingatkan dalam sebuah hadis terkait pahala niat ‘tanpa’ amal
من همَّ بحسنةٍ فلم يعملْها كتبها اللهُ له حسنةً كاملةً
“Barang siapa yang berniat melakukan kebaikan namun belum melakukannya, maka Allah sudah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang sempurna.” (HR. Bukhari no. 6491, Muslim no. 131)
Terlihat bagaimana karakteristik niat, jika dilakukan akan dicatat sebagai kebaikan yang berlipat-lipat, dan jika hanya diniatkan tetap diberi pahala karena keikhlasan niat.
Dengan cara yang sama kita bisa lakukan untuk apa pun kondisi dan stimulus yang kita terima. Saat ada seseorang yang membenci kita, tidak perlu benci balik lalu menjauhinya, justru kita bisa inversi makna kebencian misalnya dengan memikirkan bahwa orang tersebut layak dikasihani dan justru perlu didekati untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada psikis dan jiwanya. Bisa jadi dia hanya butuh teman bercerita terkait permasalahan atau beban hidupnya, atau dia sedang butuh tips untuk lebih menyayangi dirinya sendiri agar bisa merasakan kebahagiaan tanpa membenci orang lain. Jangan munculkan energi negatif yang buruk bagi mental dan fisik, secepatnya kita inversi menjadi makna yang positif yang akan memunculkan hormon bahagia yang sangat bermanfaat bagi kesehatan mental dan fisik kita. Kita serap energi kasih-sayang Allah, biarkan rasa itu bersemayam dan meresap dalam tiap desah nafas kita, dalam tiap gerak langkah kaki kita, dalam tiap gerak aktivitas kita, dalam tiap tetes darah, tetes keringat, dan tetes air mata kita, dalam tiap gerak pompa jantung kita, dalam tiap gerakan paru-paru kita, dan dalam tiap proses metabolisme seluruh organ tubuh kita. Dengan menyerap energi Asmāu al-ḥusnā Allah, saat itulah kita akan merasakan kehadiran-Nya, akan merasakan takut ditinggal, akan merasakah takut dimarahi jika melakukan sesuatu yang dapat memperburuk isi semesta ciptaan-Nya, sangat-sangat dan terus berharap akan ampunan-Nya setiap detik waktu kita…dan saat itu pula kita merasakan dan sepakat pada kenyataan bahwa jika ada yang bertanya di mana Allah, maka dengan pasti kita bisa jawab bahwa Allah bukan berada di sebuah tempat di semesta ciptaan, tetapi berada lebih dekat dibandingkan urat nadi kita. Iya, sedekat itu… dan untuk ‘memanggil-Nya’ setiap saat dalam kondisi apa pun sangat mudah dan gratis: tinggal pejamkan mata, panggil nama-Nya, undang energi sifat-Nya, dan rasakan kenikmatan-Nya
Saat tiap orang sebagai anggota masyarakat dan penghuni alam semesta berhasil mengenal dan menampung keberkahan energi Sang Maha Pencipta, saat itulah dia akan diterima sebagai bagian yang berguna bagi lingkungan, pendukung kondisi keseimbangan semesta, dan mediator keberkahan bagi alam semesta, sebagai penyebar Raḥmatan li al-`Ālamīn
Selamat ber-habituasi, let’s make inversion of meaning to bring forth happiness in life