Berita

PLENARY SESSION #4: ANTARA RELIGIUSITAS DAN KEMANUSIAAN

UINSA Newsroom, Kamis (04/05/2023): Pelaksanaan Annual International Conference on Islam Studies (AICIS) 2023 hari kedua, Kamis, 4 Mei 2023 masih berlangsung di Gedung KH. Saifuddin Zuhri Sport Center UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.

Plenary Session 4 menghadirkan tiga pembicara utama yaitu: Prof. Tim Lindsey, Ph.D., Melbourne University; Prof. Dr. Mohd. Roslan Bin Mohd Nor, Deputy Director (Research & Development) di Academy of Islamic Studies, University of Malaya, Malaysia; dan Alissa Qutrunnada Wahid, MA., Direktur Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia.

Dipandu Prof. Dr. Eka Srimulyani, Plenary Session 4 mengusung tema “The Negotiated Shari’ah: Between Religiosity and Humanity in Current Development of Indonesia.” Plenary kali ini membahas bagaimana otoritas fiqh diperebutkan, baik secara privat maupun dalam ruang publik khususnya dalam perkembangan Indonesia saat ini.

Fiqh seringkali menjadi subjek perdebatan dan kontroversi, terutama yang berkaitan dengan otoritas dan pilihan penafsiran. “Islamization of modern law in Indonesia seen by many as a challenge to the secular state (Islamisasi hukum modern di Indonesia dilihat banyak orang sebagai tantangan bagi negara),” ujar Prof. Tim Lindsey dalam paparannya.

Dalam kesempatan ini, para panelis pun memberikan contoh konkret akan masalah Hukum Islam di Indonesia. Masalah-masalah tersebut timbul bukan hanya terkait konsep Hukum Islam Konvensional yang masih dipakai. Namun juga berkaitan dengan tradisi setempat.

Contoh yang diberikan Alissa Wahid misalnya, terkait kasus pernikahan dini. Alissa menjelaskan, banyaknya faktor yang mendukung adanya pelestarian hukum atau norma konvensional di masyarakat. “Salah satunya yaitu tentang stigma, lebih cepat anak perempuan menikah lebih baik untuk keluarga dan yang terpenting sudah sesuai aturan agama,” ujar Alissa Wahid.

“Banyaknya kasus yang muncul, membuat kita sangat membutuhkan recontextualizing fiqh dan negotiated shari’ah,” tegas Alissa Wahid menambahkan.

Kasus pernikahan dini merupakan kasus yang dari dulu sampai saat ini masih menjamur di Indonesia. Permasalahan yang timbul setelah pernikahan dini, menurut Alissa, yang utama adalah ekonomi dan stunting.

Perspektif konservatif cenderung mempertahankan otoritas tradisional, seperti kewenangan ulama atau kewenangan lembaga Hukum Islam yang mapan. Sedangkan cara pandang progresif cenderung membuka ruang kebebasan dan keberanian pemikiran dalam menafsirkan hukum Islam.

“Apabila di negara lain seperti Brunnei Darussalam dimana pemerintah memiliki kewenangan penuh atas recontextualizing fiqh. Berbeda dengan Indonesia dimana para komunitas ulama yang sering melakukan diskusi terkait fiqh dan syariah. Namun pemerintah tetap mengontrol recontextualizing tersebut,” tutup Prof. Eka. (All/Humas)