PEDOMAN I’TIKAF
A. Arti I’tikaf
Arti i’tikaf adalah mengikatkan diri pada sesuatu. Secara istilah, i’tikaf adalah menetap di dalam masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah, tanpa ketentuan waktu.
B. Perintah I’tikaf
I’tikaf dianjurkan setiap waktu. Khusus Ramadan, Nabi SAW i’tikaf secara maksimal, terutama pada 10 hari terakhir Ramadan, bahkan 20 hari terakhir sebelum wafatnya. Ia bersama para istrinya memulai i’tikaf setelah shalat subuh dengan membuat tempat khusus dalam masjid. Tidak ada hadis yang secara khusus menyebut keutamaan (fadhilah) i’tikaf.
C. Macam-macam I’tikaf
(1) i’tikaf sunah: waktunya bebas, tapi dalam Ramadan, yang terbaik adalah 10 hari terakhir, malam-malam lailatul qadar; boleh keluar masuk masjid, tapi harus memperbarui niat, ketika kembali ke masjid, (2) i’tikaf wajib, karena suatu janji (nadzar) beri’tikaf. Nabi SAW mewajibkan Umar bin Khattab, r.a untuk i’tikaf semalam di Masdidil Haram, karena ia telah berjanji (nadzar) melakukannya. I’tikaf jenis kedua ini wajib dilakukan sesuai dengan janji yang diucapkan; tidak boleh keluar masjid sebelum habis waktu yang dijanjikan. Jika batal, ia harus mengganti pada waktu yang lain. Selama i’tikaf sunah dan wajib, kegiatan makan, minum, dan tidur dilakukan dalam masjid; boleh keluar masjid sebentar untuk keperluan yang mendesak dan penting.
D. Tempat I’tikaf
I’tikaf harus dalam masjid (QS. Al Baqarah [2]: 187), atau di musala publik yang dipakai shalat berjamaah 5 waktu (menurut Imam Hanafi, Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur). Menurut Imam Syafi’i, lebih baik di masjid yang dipakai shalat Jum’at, agar tidak keluar dari masjid. Tidak boleh i’tikaf dalam musala pribadi dalam rumah, termasuk untuk wanita, sebab bukan tempat umum, dan tempat itu bisa dijual kapan saja. Jika bernazar i’tikaf di Masjidil Haram, Masjid Al Aqsa, atau Masjid Nabawi, maka wajib dilakukan di masjid tersebut. Tapi, jika bernazar i’tikaf di suatu masjid, lalu menjalankannya dalam tiga masjid tersebut, maka sah, sebab ketiganya masjid paling utama.
E. Anjuran Selama I’tikaf
Berzikir; membaca Al Qur’an atau buku-buku penambah ilmu dan keimanan; membuat tempat khusus di masjid atau sekitarnya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain, menghindari perkataan dan perbuatan yang terlarang atau tak ada gunanya. Nabi SAW pernah menunjukkan Ibnu Umar, r.a tempat i’tikafnya, yaitu hamparan tempat tidur di belakang tiang bertobatnya seorang sahabat (usthuwanatut taubah) (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Umar r.a)
F. Pembatal I’tikaf
Keluar masjid tanpa sebab yang dibenarkan, murtad, gila, dan bercinta dengan istri dapat membatalkan i’tikaf. Boleh menyentuh istri, sebab Nabi SAW pernah disisir rambutnya oleh istrinya ketika i’tikaf.
Ditulis oleh Moh. Ali Aziz, Surabaya, 07 Juni 2018, ringkasan dari Fiqhus Sunnah, karya Sayid Sabiq. Mohon koreksi. www.terapishalatbahagia.net; malzis@yahoo.com; Youtube: Moh. Ali Aziz Channel).