DRAMATURGI RAMADAN
Oleh:
Muhammad Shodiq
(Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya dan Lebih Populer dengan sebutan Wak Kaji Shodiq serta Pemilik Akun Youtube: Wak Kaji Shodiq TV, Instagram: @wakkajishodiq, TikTok: @wakkajishodiq dan SnacVideo: @wakkajishodiq)
Secara sosial, puasa memiliki kemampuan untuk menumbuhkan nilai-nilai moral. Berdasarkan sikap mental sabar, tidak ada rasa benci, iri, dengki, atau marah apa pun dalam berperilaku sosial berkumpul dan berinteraksi dengan orang lain. Semua orang dalam komunitasnya dapat memberikan kontribusi secara fungsional terhadap dirinya berdasarkan status, peran, dan jenjang mereka masing-masing.
Sejak menjelang Ramadan hingga hari raya nanti, Potret televisi di Indonesia menyajikan drama religius dalam setiap tayangannya. Sinetron, iklan, film, dan lainnya menampilkan drama religius. Tayangan berubah dengan cepat menjadi religius dari saat sahur hingga kembali menjelang sahur. Yang sebelumnya tidak memakai jilbab dan songkok tiba-tiba menjadi memakai jilbab dan songkok.
Ramadan juga membawa berkah bagi pengemis: jumlah mereka berlipat ganda dibandingkan hari-hari biasa. Orang-orang Islam berlomba-lomba untuk membantu orang-orang yang kurang beruntung selama bulan penuh rahmat ini. Ramadan mungkin menjadi kesempatan yang bagus untuk para pengemis. Untuk menjadi seorang muslim, kaum papa harus bertanggung jawab untuk menampung sedekah. Penderma sebagai penyuplai bantuan diperlukan bagi pengemis.
Kaum pemburu surga dan komunitas pengharap santunan saling berhubungan. Ini disebabkan oleh peningkatan jumlah pengemis selama Ramadan. Mereka berasal dari luar kota dan dikumpulkan. Mereka membanjiri kota metropolis besar. Agenda tahunan sekarang sulit dihindari fenomena ini. Di jalan raya, alun-alun, masjid, tempat wisata, dan permakaman umum, pengemis memangkal. Banyak faktor memengaruhi munculnya pengemis.
Akhir-akhir ini muncul indikasi kuat bahwa ada sindikat penyewaan bayi pengemis di beberapa kota. Dengan meminta-minta, para pengemis telah melakukan kritik sosial dan melakukan protes atas ketidakadilan, marginalisasi, dan korupsi.
Karena mereka adalah kelompok kelas bawah dalam struktur masyarakat, penggemis berusaha untuk mengeskpresikan keberadaan mereka. Mereka menghormati dunia informal sebagai cara untuk menentang kemajuan, yang cenderung berpihak pada sektor formal yang dimiliki oleh pemilik modal dan individu yang memiliki keterampilan yang cukup.
Erving Goffman lahir pada 11 Juni 1922 di Alberta, Kanada-Amerika. Dia adalah seorang sosiolog yang memainkan peran penting dalam perkembangan sosiologi Amerika kontemporer menggunakan istilah “drama religius” dalam karyanya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life (1982). Para artis memainkan drama sinetron religius berdasarkan pesan sutradara, bukan ajaran agama. Berbagai akting yang memukau dan penuh sensasi dihasilkan dari desain dramatis setiap babak cerita.
Identitas manusia dalam dramaturgi dapat berubah-ubah tergantung pada interaksi mereka dalam sebuah peran. Cara artis menguasai interaksi tersebut dapat dianalogikan dengan bagaimana pertunjukan teater dilakukan. Artis adalah pemain yang membuat “pertunjukan dramanya sendiri” dengan menggabungkan sifat dan motivasi pribadi kepada orang lain.
Bahwa manusia adalah pemain drama yang sangat lihai ditunjukkan oleh istilah “impression management” yang digunakan oleh Goffman. Manusia membuat ide dan manajemen drama untuk mencapai tujuan mereka. Aktor harus mempertimbangkan setting, kostum, dialog, dan tindakan nonverbal lainnya agar pertunjukan drama religius menjadi lebih cerdas. Itu jelas bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik dan membawa Anda lebih dekat ke tujuan.
Aksi yang dilakukan oleh aktor drama religius di depan panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) sangat berbeda karena tujuan tertentu. Drama religius di atas panggung dimainkan sebaik-baiknya sesuai dengan fungsinya dan sebaik-baiknya agar penonton, atau publik, memahami tujuan perilaku kita. Kita bertindak sesuai dengan gagasan drama yang berhasil. Namun, sang aktor akan bermain sesuka hatinya di belakang panggung.
Menurut Kenneth Duva Burke, hidup bukan sekadar seperti drama; sebenarnya, itu adalah drama. Kehidupan setiap orang melibatkan mereka sendiri. Selama bulan Ramadan, umat Islam sedang mengalami drama dalam hidup mereka. Sementara itu, drama sendiri juga dimainkan oleh industri televisi dan perfilman. Burke menegaskan, “Setiap elemen memainkan drama sendiri-sendiri, asalkan jangan merusak keindahan kehidupan yang telah dititahkan.”.
Dalam dramaturgi, penampilan pengemis yang sengaja diperlihatkan menunjukkan kamuflase. Ketika seorang aktor memainkan berbagai karakter manusia di panggung, Erving Goffman mengatakan bahwa dramaturgi memiliki pengaruh dari drama, teater, atau pertujukan fiksi di panggung. Ini terjadi karena penonton mendapatkan pemahaman tentang kehidupan tokoh tersebut dan dapat mengikuti jalan cerita yang diceritakan.
Para pengemis menggunakan penampilan dan gaya yang merupakan komponen utama front stage (panggung depan) untuk menunjukkan bahwa mereka pantas dikasihani. Seseorang dapat mengeluarkan uang dengan berbagai cara. Panggung belakang pertunjukan disebut backstage. Pengemis yang dikategorikan sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) biasanya melepas topeng mereka ketika mereka kembali ke kehidupan normal. Saat ini, pengemis tidak berpura-pura dan menjalani kehidupan normal. Perilaku dan tabiat disesuaikan dengan identitas asli. Pengemis tidak mungkin lagi bermuka lusuh, mengiba-iba, dan memelas di tempat kerja.
Sayangnya, drama religius di televisi menghasilkan dramaturgi beragama. Sebagai komoditas industri, agama menghasilkan banyak keuntungan. Mereka tidak memiliki hubungan apa pun dengan kehidupan mereka di luar peran yang mereka mainkan dalam film atau sejenisnya. Oleh karena itu, ajaran agama yang ditampilkan di televisi tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari yang dijalani.
Di belakang panggung, apa yang diungkapkan tidak sama dengan apa yang diungkapkan di atas panggung. Jangan salahkan mereka karena tidak mau terlibat dengan masalah ajaran agama yang telah diajarkan. Itu jelas, menurut Burke, “Merusak keindahan kehidupan yang telah dititahkan.” Dalam dramaturgi beragama, puasa hanya merupakan barang konsumsi daripada motivasi untuk meningkatkan iman. Jika petuah yang diajarkan tidak benar, jangan kecewa. Sebabnya adalah bahwa mereka bukanlah ulama atau kiai yang menegakkan ajaran mereka tanpa panggung.
Dalam situasi ini, umat Islam harus menyadari tragedi yang sedang terjadi. Jangan terperangkap dan larut dalam dramatisasi agama yang dilakukan media. Ramadan adalah momentum untuk memperbaiki moral dan meningkatkan iman, bukan untuk menonton drama religius untuk meningkatkan rating.
Akibatnya, di tengah gemuruh teknologi informasi yang berkembang cepat ini, umat Islam harus merespiritualisasi puasa mereka.
Salah satu cara untuk menghidupkan kembali spiritualitas selama puasa Ramadan adalah dengan memantapkan hati untuk menikmati kebajikan dan kebaikan yang diberikan Allah setiap hari. Jangan hanya menahan lapar dan dahaga saat puasa, karena itu akan merugikan diri sendiri. Umat Islam diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya selama bulan Ramadan. Napas mereka diubah menjadi tasbih, tidur menjadi ibadah, ibadah diterima, dan doa dikabulkan.
Drama puasa akan semakin lengkap jika sedekah kepada sesama. Selain itu, berbagi membebaskan kita dari menjadi budak keserakahan dan kebodohan.