Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Monoloyalitas. Kata itu sudah lama kudengar. Makin santer saat bertemu dengan para dokter. Bersama para pengasuh dan petugas klinik pada Pesantren Darullughah Wadda’wah (Dalwa), Bangil, Pasuruan. Kepentingannya untuk persiapan operasional penyelenggaraan Program Studi Kedokteran dan Kedokteran Profesi UIN Sunan Ampel Surabaya. Di Hotel Capital, Surabaya, Sabtu (23 November 2024). Kala itu, kami semua sedang membincangkan pentingnya sistem dan dukungan ketahanan kesehatan pesantren. Perbincangan itu menyusul penandatanganan nota kesepahaman untuk penguatan kesehatan pesantren antara rektor UINSA dan pengasuh Pesantren Dalwa itu.

Dari perbincangan mengenai isu kesehatan pesantren itulah lalu keluar diskusi mengenai monoloyalitas. Dari situlah kata monoloyalitas itu makin kuat kudengar. Melengkapi diskusi yang selama ini sudah kudapati di sejumlah kesempatan. Perbincangan tentang hal itu terasa makin kencang saja saat dikaitkan dengan tugas kerja dokter. Mengingat, dokter pun terkena aturan monoloyalitas itu. Prinsip yang diberlakukan seperti berikut ini: satu dokter satu fasilitas pelayanan kesehatan. Terjemahan konkretnya bisa begini: satu dokter satu rumah sakit. Tak lagi dibolehkan satu dokter berpraktik di banyak rumah sakit. Tak seperti yang sudah-sudah.  

“Jadi, di era monoloyalitas, akankah ada dokter yang masih buka praktik di banyak tempat?” tanya seorang peserta bincang santai itu di sebuah meja perbincangan itu. Pertanyaan tersebut tentu saja menarik. Sebab, dalam pemahaman umum, kata “mono” berarti “satu”. “Loyalitas” bermakna “kesetiaan”. Maka, saat kedua kata itu digabung menjadi satu, yakni menjadi “monoloyalitas”, maka arti yang dikandung menunjuk kepada nilai dan praktik kesetiaan kepada yang satu. Tak terbelah. Nah, saat diterapkan untuk profesi dokter, maka kata itu mengandung makna bahwa dokter akan menjaga kesetiaan profesionalnya dengan bekerja di satu fasilitas pelayanan kesehatan saja. Tak lagi ada buka praktik di banyak tempat seperti sebelum-sebelumnya.

“Ke depan memang makin menguat seperti itu. Satu dokter satu praktik di satu fasilitas pelayanan kesehatan.” Demikian jawaban yang ku dengar dari peserta lainnya yang kebetulan berprofesi sebagai dokter. Jawaban itu diberikan untuk merespon pertanyaan yang diutarakan di atas. Kebetulan penanya dan penjawab tersebut sama-sama menjadi peserta aktif perbincangan pada pertemuan di atas. Karena itu, masing-masing dari pertanyaan dan jawaban itu mencoba memperjelas makna monoloyalitas untuk profesi dokter. Perbincangan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban tersebut berlangsung sangat santai, memang. Tapi isinya memberi banyak gizi pada pemikiran dan kesadaran kami semua yang hadir di situ.

Foto: Pose Usai Penandatanganan MOU UINSA dan Pesantren Dalwa (23/11/2024)

Tentu, kebijakan tentang monoloyalitas itu menandai kecenderungan baru dalam pengelolaan sumber daya manusia di sebuah institusi. Kebetulan profesi dokter sudah memulai pelaksanaan kebijakan ini. Substansi dasarnya menarik. Membuat kesetiaan pada yang satu. Tak terbelah kepada selainnya.  Dengan begitu, akan muncul kesetiaan yang kuat pada yang satu itu. Juga tak muncul beban berlebih pada kerja profesionalnya itu. Terutama beban lebih administrasi dan mental. Kerja yang terbelah membuat beban administrasi bertambah. Beban mental pun juga terdampak serius karenanya. Dari sinilah, workplace burnout (kelelahan akibat beban kerja yang berlebihan di tempat kerja) muncul dalam besaran tuntutan yang tinggi. 

Aku pun lalu tersentak. Bukankah prinsip monoloyalitas juga bisa berlaku untuk profesi apa saja. Tak terbatas pada profesi tertentu. Seperti dokter. Artinya, jika monoloyalitas itu merupakan tuntutan profesionalisme, tentu prinsip itu juga bisa berlaku umum. Aku pun lalu melirik ke profesi dosen. Profesiku dan yang lainnya. Bukankah dosen profesional juga kini menjadi tuntutan kerja kaum akademisi? Karena itu, monoloyalitas pun juga bisa menjadi tuntutan bagi mereka. Monoloyalitas menuntut para dosen untuk juga melakukan pekerjaan profesionalnya untuk satu tempat kerjanya. Maka, dosen profesional adalah dosen yang mampu mempraktikkan monoloyalitas dalam penunaian tanggung jawabnya di kampus tempat kerjanya.

Untuk konkretnya, dosen perlu untuk memberikan fokus dan perhatiannya ke penunaian tugas profesionalnya di kampus pangkalan utama. Biasanya dikenal juga dengan nama “kampus homebase”. Yakni, kampus tempat dia diikat melalui perjanjian dan atau kontrak kinerja sebagai dosen tetap. Kampus pangkalan utama ini telah menjadi wasilah bagi mengalirnya rezeki Allah SWT kepada setiap kita yang menjadi dosen tetap di kampus pangkalan utama dimaksud. Apalagi, di kampus milik pemerintah, rezeki Allah SWT dimaksud mengalir melalui tangan pemerintah sebagai pemegang kuasa publik. Maka, pengerahan hingga peningkatan fokus perhatian ke penunaian tugas profesional di kampus pangkalan utama sudah bukan lagi disarankan, melainkan diwajibkan.

Lalu, mengapa monoloyalitas itu penting? Ada sejumlah alasan yang bisa ditangkap dan dijelaskan. Pertama, monoloyalitas memperkuat keseimbangan (balance) hidup. Bagaimanapun, hidup itu perlu balance. Perlu keseimbangan. Hidup bukan semata soal uang. Ada dimensi lain yang juga harus dibayar lunas. Sosial dan mental-spiritual adalah bagian dari dimensi lain yang harus diperhatikan itu. Dan justeru itu, keseimbangan dibutuhkan untuk menjamin terciptanya kabahagiaan diri. Itulah di antara yang menjadi materi pembahasan tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Work-life Balance” (lihat URL: https://uinsa.ac.id/blog/work-life-balance).

Bekerja di banyak tempat memang akan menambah pundi-pundi ekonomi. Tapi, hidup bukan semata soal ekonomi. Sebab, kelelahan (burnout) dan tekanan jiwa (stress) yang lahir karena beban kerja yang tinggi tidak akan selesai hanya dengan intervensi ekonomi. Nah, monoloyalitas adalah di antara langkah strategis untuk menyelesaikan problem kelelahan dan tekanan jiwa yang muncul akibat beban kerja yang terus meningkat. Lebih-lebih, monoloyalitas berbanding lurus dengan kebahagiaan. Sebab, perhatian menjadi tidak terbelah. Fokus juga tak terbagi. Alih-alih, seluruh fokus dan perhatian justeru terarah ke satu konsentrasi pekerjaan di satu tempat kerja.

Orang mungkin akan menabrakkan prinsip monoloyalitas dan multitasking. Tapi, sejatinya, keduanya tidak untuk dipertentangkan. Sebab, istilah multitasking (lihat tulisan saya “Multitasking, Seni Melipatgandakan Kecakapan” pada URL: https://uinsa.ac.id/?s=multitasking) lebih menunjuk kepada kecakapan untuk mengelola tugas pekerjaan yang beragam dalam satu waktu bersamaan-simultan atau dalam babakan waktu beriringan-berdekatan. Ia lebih menunjuk kepada kecakapan diri. Tapi, monoloyalitas lebih berkaitan dengan ekspresi dan luapan kesetiaan pada satu pekerjaan di satu tempat kerja. Karena itu, keduanya bukan untuk ditabrakkan. Karena cakupannya berbeda meskipun bisa saja tidak terpisah.

Terlepas dari tingkat perbedaannya dengan multitasking sebagai sebuah kecakapan diri, monoloyalitas lebih merupakan ekspresi dari kecakapan diri dalam menunaikan tugas pekerjaan profesional. Dalam kaitan ini, loyalitas diorientasikan kepada tugas pekerjaan profesional di satu tempat kerja. Profesionalisme diterjemahkan lebih sebagai komitmen untuk menjaga loyalitas agar terfokus pada satu perhatian keahlian di satu tempat kerja. Kesehatan dan ketahanan mental dari problem kelelahan dan tekanan jiwa yang sangat mungkin muncul akibat beban kerja yang berlebih di tempat kerja yang tidak satu justeru bisa ditekan melalui eksperimentasi monoloyalitas dalam kerja profesional itu.

Bagian sentral dari eksperimentasi monoloyalitas adalah menjaga keseimbangan dalam hidup. Dimensi ekonomi dalam hidup didialogkan dengan dimensi sosial dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat. Dimensi material dinegosiasikan dengan dimensi mental-spiritual. Semua itu mengharuskan kerja profesional selalu didialogkan dengan kehidupan personal. Di titik inilah beban kerja semakin lama semakin tinggi dan atau banyak. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin tinggi pula beban kerja itu. Akibatnya, tekanan emosi jiwa pun juga terdampak serius karenanya. Nah, monoloyalitas menjaga keseimbangan yang melingkupi kerja profesional dan kehidupan personal. Termasuk juga keseimbangan antara beragam dimensi dalam hidup masing-masing individu pegawai.

Sebagai alasan kedua, monoloyalitas akan memperkuat fokus dan perhatian pada yang utama. Ia melatih kita semua untuk selalu berpikir dan bertindak atas dasar skala prioritas. Ia mengkondisikan kita untuk selalu melakukan priority setting atau kerja atas dasar skala prioritas. Tentu, kecakapan priority setting adalah sebuah kemuliaan. Sebab, dalam hidup akan selalu ada pilihan-pilihan. Karena itu, dibutuhkan kecakapan priority setting agar yang utama tetaplah menjadi yang utama. Dan untuk kemuliaan diri secara spesifik, hidup perlu fokus agar nilai kemanfaatan diri makin tinggi. Monoloyalitas membuat seseorang fokus pada yang satu nan utama. Perhatian dan energinya tidak terbelah.

Dengan fokus perhatian seperti itu, monoloyalitas akan mempercepat pencapaian kinerja terbaik. Sebab, pikiran dan energi bisa ditekankan kepada tugas pokok yang menjadi tanggung jawabnya. Fokusnya tak terbelah akibat godaan material untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan lain yang bukan menjadi tanggung jawabnya di tempat kerja utamanya. Dengan begitu, tak ada beban-beban kerja lainnya yang bisa mengganggu usahanya untuk mencapai kinerja utamanya. Sebab, saat fokus terbelah, pikiran dan energi juga tak akan bisa tertuju secara bermutu kepada yang utama. Saat perhatian terbagi kepada yang bukan utama, maka pikiran dan anergi pun juga terbelah karenanya. Lalu, perhatian pun menjauh dari yang utama. 

Nah, bekerja dengan bidang keahlian yang serupa di banyak tempat tentu akan menurunkan fokus dan perhatian kepada tugas yang diamanahkan oleh tempat kerja yang utama. Pentingnya melakukan priority setting lalu akan melemah. Yang dipikirkan dan dipraktikkan selalu terbelah ke banyak tempat kerja. Hingga yang ada di tempat kerja utama pun menjadi terganggu karenanya. Minimal terkoreksi sebagai akibatnya. Tentu, kinerja di tempat kerja utama tak bisa lagi optimal. Beban yang bertambah dan bahkan berlebih kerap menjadi penyebabnya.

Ketiga, monoloyalitas membuka ruang berbagi melalui mekanisme distribusi kesempatan dan keahlian. Bagaimanapun situasi dan kondisinya, hidup perlu berbagi. Ya, berbagi kesempatan. Juga berbagi keahlian. Berbagi kesempatan lahir karena tak ada dominasi oleh satu individu atas individu lainnya. Monoyalitas membuat fokus dan perhatian tertuju dan terimplementasikan melalui praktik loyalitas pada satu kesempatan kerja profesional di satu tempat kerja. Dengan begitu, akan selalu ada ruang berbagi di tengah anggota masyarakat atas kesempatan yang muncul secara alami dan juga yang memang disengaja untuk diciptakan.

Monoloyalitas pun juga membuka ruang lebar-lebar untuk berbagi keahlian. Melalui perhatian yang utuh pada kerja profesional di satu tempat kerja utama seperti diuraikan di atas, ekspresi keahlian pun juga terfokus pada kerja profesional di satu tempat kerja itu. Dengan begitu, ruang kerja profesional di tempat kerja lainnya bisa diisi oleh keahlian serupa yang dimiliki oleh sesamanya. Di sinilah munculnya ruang berbagi keahlian seperti yang disinggung sebelumnya. Dengan terbukanya ruang berbagi keahlian yang demikian, maka monoloyalitas sejatinya akan memperkuat ekosistem keahlian di tengah masyarakat. Itu karena masing-masing pemilik keahlian di antara mereka mendapatkan ruang ekspresi yang memadai untuk berkembang.

Maka, monoloyalitas itu mengurangi potensi ancaman monopoli. Ya, bentuknya adalah monopoli kesempatan dan keahlian. Tentu, nilai manfaat yang demikian ini menunjuk kepada anggitan bahwa monoloyalitas adalah sebuah kemuliaan. Monoloyalitas telah menunjukkan kegunaan fungsionalnya untuk menekan potensi ancaman monopoli pada satu sisi, dan membuka ruang selebar-lebarnya untuk praktik berbagi kesempatan dan keahlian di sisi lainnya. Kemuliaan monoloyalitas yang demikian ini justeru akan memperkuat, dan bahkan menjamin, terciptanya keberlanjutan (sustainability) bagi nilai kebajikan untuk jangka waktu yang panjang di masa mendatang.  

Keberlanjutan menjadi kata kunci. Betapa banyak kemuliaan yang tak berumur panjang. Betapa mudahnya didapatkan kebajikan yang tak berlangsung lama di lapangan. Itu yang bisa didapatkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dan semua itu karena nilai keberlanjutan tak bisa dijaminkan. Atau dengan ungkapan lain, nilai keberlanjutan tak dapat dipastikan. Monopoli kesempatan dan keahlian adalah di antara penyebab utamanya. Karena itu, mengurangi potensi ancaman monopoli yang demikian akan membuat keahlian yang sama bisa berkembang di tengah-tengah masyarakat seiring dengan terbukanya kesempatan untuk dibagikan secara sama.

Setia memang bukan hanya urusan kehidupan privat. Pada urusan pekerjaan profesional pun kini juga berlaku mengikat. Monoloyalitas memang istilah yang hebat. Dalam urusan kehidupan privat, monoloyalitas berarti komitmen utuh pada pribadi yang satu. Dalam urusan kehidupan profesional, monoloyalitas berarti komitmen utuh pada pekerjaan yang menjadi amanah kelembagaan tertentu. Namun, apapun makna yang berlaku, monoloyalitas dalam berbagai varian makna ini menuntut adanya kesetiaan. Dan bagian sentral dari kesetiaan itu adalah komitmen. Bahasa Arabnya, istiqamah. Bukankah al-istiqamah khair min alfi karamah? Bukankah komitmen itu lebih baik daripada seribu kemuliaan?

Maka, monoloyalitas adalah kemuliaan. Apalagi, kini monoloyalitas itu dibarengi dengan semakin membaik dan meningginya tingkat kesejahteraan. Karena monolayitas dibayar lunas dengan insentif yang tinggi. Hanya saja, insentif yang tinggi cuma instumen saja untuk memperkuat monoloyalitas. Ujungnya adalah lahirnya kinerja optimal. Karena itu, monoloyalitas, sejatinya, adalah bentuk penunaian tanggung jawab pribadi dan publik. Kepentingannya agar kemuliaan bukan hanya milik dan kembali kepada kebaikan personal. Melainkan juga meluas ke kebajikan bersama di ruang publik. Melalui pencapaian kinerja terbaik.

Monoloyalitas memang kini semakin bergerak menjadi prinsip utama. Tapi, berlakunya tak hanya pada, dan untuk, profesi tertentu saja. Dokter sebagai contoh di antaranya. Alih-alih, ia berlaku untuk semua profesi dan pekerjaan profesional. Dosen termasuk di dalamnya. Maka, untuk menjunjung profesionalismenya dan sekaligus kebajikan kampus homebase yang menaunginya, dosen pun sudah sepatutnya untuk memperkuat monoloyalitasnya kepada tugas profesionalnya di kampus pangkalan utamanya. Karena itu, profesionalisme dosen pun kini juga bisa diukur dari komitmen dan loyalitasnya pada penunaian tanggung jawab utamanya di kampus homebase-nya itu. Di titik inilah, uraian kalimat “dosen profesional adalah dosen yang mampu mempraktikkan monoloyalitas dalam penunaian tanggung jawabnya di kampus tempat kerjanya”, seperti diuraikan sebelumnya, menemukan kontekstualisasinya.