Mentari baru saja beringsut dari sinarnya. Sinar alam mulai digantikan oleh gemerlap cahaya. Dari lampu yang menyala. Pertanda malam mulai memainkan perannya. Kala itu, Minggu (01 Desember 2024), aku mengantar seorang dokter muda untuk piket di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA). Di sepanjang perjalanan, muncullah banyak bincang santai nan ringan adanya. Atas banyak perihal yang ada. Terutama yang dia hadapi sebagai seorang dokter muda. Salah satunya ku bertanya soal spesialisasi yang akan diambil pada saatnya. Dia pun menyebut sebuah keahlian spesialis medis yang sedang diidolakannya. Dia cerita dengan detailnya. Di antaranya dengan membandingkannya dengan sejumlah keahlian lainnya.
Aku pun lalu bertanya, kenapa dia mengidolakan bidang keahlian spesialis itu. Pertanyaanku ini kurasa saat itu penting kusampaikan. Untuk mengetahui lebih dalam tentang prinsip hidup sang dokter muda itu. Sebab ku yakin, kini usia muda pun bisa lebih matang kejiwaannya dibanding seusianya pada masa-masa sebelumnya. Begini jawab dokter muda itu kala itu: “Aku suka karena ada work-life balance di situ.” Kalimat jawaban ini membuatku tertegun. Semuda itu sudah memiliki penilaian mandiri tentang prinsip hidup profesionalnya. Sebab, satu kata kunci terlontar tegas dari argumennya itu. Dan itu yang membuatku terpesona. Ya, kata kunci itu adalah work-life balance. Keseimbangan antara kerja profesional dan kehidupan pribadi.
Dokter muda itu pun lalu menjelaskan detail argumennya. Panjang kali lebar. Tentang terjemahan dari kata kunci work-life balance dalam profesi sebagai dokter. Aku pun suka sekali mendengarnya. Kusimak satu persatu kalimat yang dilontarkan. Sambil mengendalikan setir mobil untuk mengantarkannya ke rumah sakit tempat tugasnya. Kusuka kalimat argumentasinya itu karena dokter muda usia itu sudah bisa menimbang preferensi profesinya. Dia tunjukkan kapasitasnya untuk menjatuhkan pilihan hidupnya dengan pertimbangan matang. Nah, pertimbangan matang inilah yang untuk ke sekian kalinya membuatku senang. “Oh, berarti dia sudah siap untuk menapaki masa depannya secara mandiri,” begitu gumamku dalam hati.
Work-life balance kini, pada dasarnya, menjadi isu besar dalam hidup profesional. Sebab, profesionalisme menuntut perhatian dan fokus yang tinggi untuk mencapai kinerja terbaik. Tak ada istilah main-main dalam kerja profesional. Main-main sama dengan tak berkinerja. Sebaliknya, perhatian dan fokus yang tinggi menjadi prasyarat kinerja. Gabungan antara perhatian dan fokus itu menuntut adanya kerja keras nan tuntas. Kerja keras saja tak cukup. Harus disempurnakan dengan tuntas. Karena jika tanpa tuntas, kerja keras saja tak akan bisa memberi arti apa-apa. Karena tak ada kontribusi yang dibawa serta. Nah, tuntas itu berarti di sana ada nilai kontribusi yang dibawanya.
Karena tuntutan itulah, maka muncul kelelahan yang sangat (burnout) akibat beban kerja yang selalu bertambah. Potensi tekanan jiwa (stress) pun juga akan pasti tinggi untuk mengikutinya. Tak bisa dihindari oleh alasan dan kepentingan internal apapun karenanya. Nah dalam kaitan inilah, mengelola tekanan jiwa dan beban hidup menjadi keterampilan yang harus dimiliki. Mengapa begitu? Karena kelelahan dan tekanan jiwa hanya menjadi konsekuensi logis saja dari praktik penunaian atas tingginya tuntutan kerja profesional itu. Karena itu, naiknya tingkat kelelahan akibat beban kerja itu selalu diikuti dengan meningginya tekanan jiwa.
Dalam konteks inilah, dibutuhkan kecakapan untuk menjaga keseimbangan antara kerja profesional (professional work) dan kehidupan pribadi (personal life). Kecakapan yang demikian akan ikut menentukan daya tahan atau survivabilitas hidup seseorang. Makin tinggi kecakapan dimaksud, makin besar pula peluang individu pemiliknya untuk bisa bertahan dalam mengelola dan menjamin kelangsungan hidupnya. Sebaliknya, makin rendah kecakapan dalam mengelola dan menjaga keseimbangan dimaksud, makin kecil pula ketahanan diri dalam mengelola dan menjamin kelangsungan hidupnya. Itu karena, seimbang atau tidaknya indeks kerja profesional dan kehidupan pribadi seseorang akan berpengaruh secara langsung kepada ketahanan hidupnya.
Maka, saat dokter muda itu men-spill kata kunci work-life balance, sebetulnya dia sedang mewakili kebutuhan kita semua. Ya, kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara kerja profesional dan kehidupan pribadi, seperti dijelaskan di atas. Kebutuhan itu menjadi kepentingan dasar setiap kita. Memang di semua zaman, kebutuhan itu selalu ada. Namun, dalam perkembangan terkini, kebutuhan itu makin mendesak ditunaikan. Karena itu, membahas work-life balance seperti yang di-spill dokter muda itu penting untuk dilakukan. Sederhana sekali alasannya. Karena hal itu berkaitan langsung dengan hajat hidup kita semua. Di ruang hidup profesional.
Saat keseimbangan telah terjadi, tak akan ada satu bagian mendominasi lainnya. Saat keseimbangan telah muncul, tak akan ada satu elemen menekan dan bahkan menutupi lainnya. Nah yang dibutuhkan justru sebaliknya. Keseimbangan justru membuat hidup masing-masing elemen tumbuh dengan baiknya. Itu karena setiap elemen itu dibukakan ruang untuk tumbuh dan berkembang secara sama dengan elemen lainnya. Masing-masing tidak dalam posisi menekan atau ditekan, mendominasi atau didominasi, dan bahkan membuka atau juga menutup setiap peluang untuk tumbuh dalam peran dan kapasitasnya yang setara satu sama lainnya.
Ada dua pertanyaan penting yang perlu dibahas lebih lanjut. Pertama, mengapa keseimbangan dalam konteks work-life balance itu penting dalam hidup seseorang. Kedua, apa batasan seimbang dalam konteks kerja profesional dan kehidupan personal. Kedua pertanyaan ini cukup mendasar. Penting ditelaah agar prinsip keseimbangan antara kerja profesional dan kehidupan personal bisa dipahami dan disadari dengan lebih baik. Pemahaman dan kesadaran ini sangat dibutuhkan, lebih-lebih saat situasi yang dihadapi oleh masing-masing orang dalam kehidupan profesionalnya tidak sama. Juga, situasi kehidupan personal masing-masing orang tak serupa satu sama lain.
Siapapun pasti ingin produktif dan sukses dalam hidup. Kata “produktif” dan “sukses” ini diharapkan bergerak dalam satu paket. Ibarat dua sisi mata uang. Two sides of the same coin. Satu sisi produktif, sisi lainnya sukses. Begitu pula sebaliknya. Artinya, sukses itu harus produktif. Dan produktif akan melahirkan sukses. Karena tak ada sukses yang lahir karena pasif. Karena itu, gabungan sukses dan produktif berlaku bagi kerja profesional maupun kehidupan personal. Konkretnya begini, siapapun yang produktif dan sukses di tempat kerja perlu dan bahkan penting untuk memastikan bahwa dia memiliki waktu khusus untuk menjalani kehidupan pribadi yang memuaskan. Jika keduanya tercapai, di situlah kebahagiaan diri terwujud dalam keseimbangan yang memadai.
Keseimbangan memang merupakan sebuah nilai ideal dalam hidup. Tapi, nilai itu membutuhkan ekosistem yang kondusif. Sebab, keseimbangan berarti mengandung minimal dua elemen. Masing-masing akan berpengaruh satu terhadap yang lain. Pincang di satu, bisa mengakibatkan ketimpangan di lainnya. Jadi, karena itu, keduanya sangat berkelindan. Mengesampingkan yang satu berarti akan memanjakan lainnya. Dan itu pasti akan berdampak kepada keseimbangan hubungan antara keduanya. Untuk itulah, masing-masing dari keduanya harus mendapatkan perhatian agar keseimbangan terjaga.
Dalam konteks inilah, work-life balance terbukti sangat penting dalam hidup seseorang. Dalam ilustrasi di atas, tampak sekali bahwa keseimbangan membuat kerja profesional dan kehidupan personal bisa berada pada titik equilibrium yang baik. Bahkan, yang satu menjaga tegaknya yang lain. Ada keseimbangan yang terjaga dalam relasi pergerakan kedua elemen itu. Hingga keduanya bisa berdiri tegak secara seimbang. Tak ada yang lebih tinggi satu atas lainnya. Tak ada yang lebih menonjol-dominan satu atas lainnya. Itulah keseimbangan yang digambarkan oleh ilustrasi di atas. Perhatian dan fokus yang diberikan kepada kerja profesional bisa diseimbangkan dengan praktik hidup personal yang lebih bersifat privat.
Istilah quality time yang belakangan ramai diperbincangkan justru, sebetulnya, muncul saat keseimbangan tak lagi bisa dikelola dan dipastikan secara baik. Dimunculkannya istilah quality time ini bisa dibilang merupakan kompensasi saja saat perhatian dan fokus tak selalu bisa diberikan secara berimbang kepada orang terkasih dibanding kepada pekerjaan profesional. Sebab, istilah dimaksud menunjuk kepada waktu yang dihabiskan bersama orang terkasih dengan memberinya perhatian penuh untuk menghormati nilai hubungan di antara keduanya. Nah, quality time, karena itu, sama artinya dengan babakan waktu tertentu yang didedikasikan secara spesial oleh seseorang untuk orang terkasihnya.
Karena itulah, work-life balance masih terus mampu menunjukkan nilai dan arti pentingnya saat hidup harus memilih sekalipun. Ya, saat hidup harus menentukan pilihan untuk kebaikan masa kini dan juga mendatang. Bahkan, bisa disebut begini: hidup adalah keseimbangan, dan keseimbangan adalah hidup. Ada pepatah Inggris yang menarik untuk dikutip. Begini bunyinya: Life is a balance of holding on and letting go. Hidup adalah keseimbangan antara bertahan dan melepaskan. Pepatah ini menunjuk nilai kesetaraan antara hidup dan keseimbangan. Saat mampu menjaga keseimbangan antara memilih untuk bertahan atau melepas, maka kemampuan itu menandakan kehidupan.
Work-life balance memang menjadi kebutuhan yang semakin mendesak. Tapi yang dihadapi satu orang tak selalu sama dengan yang dihadapi orang lain. Ada orang dengan tingkat kebersamaannya dengan keluarga relatif terus makin terbatas. Tuntutan kerja profesional membuatnya makin terbatas untuk bisa bersama secara fisik dengan anggota keluarganya. Tentu, bagi orang dengan kondisi yang demikian, quality time adalah pilihan paling rasional. Bukan kuantitas waktu yang menentukan. Tapi kualitas pertemuan yang menentukan kebersamaan. Dan itulah kemesraan yang diharapkan menjadi awal dari mekarnya kebahagiaan.
Dalam kasus argumen dokter muda di atas, prinsip work-life balance memang dia sampaikan dalam profesinya sebagai dokter. Dia spill prinsip itu dalam kapasitasnya sebagai dokter muda yang tentu bertugas di bidang kerja profesional medis. Tapi, sejatinya, prinsip work-life balance juga berlaku di jenis pekerjaan apapun. Semua ragam. Juga berlaku untuk tempat kerja apapun. Karena pada dasarnya jenis pekerjaan apapun juga menuntut profesionalisme yang serupa. Tempat kerja apapun juga menuntut hal yang sama. Maka, prinsip keseimbangan antara kerja profesional dan kehidupan personal menyangkut pekerjaan apa saja. Juga mengenai diri siapa saja.
Karena itu, prinsip work-life balance harus menjadi perhatian bersama. Siapapun kita. Dan apapun profesi yang ada di tangan kita. Itu semua tak lepas dari fakta yang ada. Bahwa keseimbangan adalah kebutuhan dasar masing-masing kita. Tegaknya hidup kita membutuhkan keseimbangan yang ada. Dan keseimbangan itu bagian dari nafas hidup pula. Karena itu, jenis pekerjaan hanyalah panggung depan belaka. Tapi, kerja profesional tetaplah selalu sama. Itu substansi yang harus selalu mendasari gerak hidup semua kita.
Semakin sulit mengelola keseimbangan antara kerja profesional dan kehidupan personal karena tingginya tuntutan pada keduanya, berarti semakin tinggi tuntutan profesionalisme dalam diri seseorang. Maka, yang dibutuhkan dalam menjamin perihal itu adalah kecakapan untuk mengelola work-life balance itu. Situasi yang dihadapi satu orang bisa saja tak sama dibanding yang lain. Tapi, masing-masing membutuhkan kecakapan untuk mengelola dan sekaligus menjamin work-life balance itu dengan sebaik-baiknya.
Lalu pertanyaannya, bagaimana cara memiliki dan memperkuat kecakapan untuk mengelola dan sekaligus menjamin work-life balance di atas? Ada dua cara penting. Pertama, kaitkan kerja profesional dan kehidupan personal dengan konsep multidimensionalitas diri (multidimensionality of the self). Kata “diri” (self) di sini, khususnya menurut perspektif antropologi (lihat Jeannette Marie Mageo, “Toward a Multidimensional Model of the Self,” Journal of Anthropological Research, vol 58, no. 3 (2002): 339–65), memang bisa disebut dengan istilah serupa seperti “orang” (person) dan “identitas” (identity). Tapi, ketiga istilah tersebut menunjuk kepada diri personal seseorang.
Lalu, saat kata “multidimensionalitas” diatribusikan kepada diri personal seseorang (self), maka segera muncul arti bahwa seseorang tak hanya memiliki dimensi material diri semata. Ada dimensi lainnya yang juga tak bisa dilepaskan. Di antaranya dimensi sosial, seperti diwakili oleh konsep person dan identity di atas. Belum lagi dimensi lain yang lebih abstrak-nonmaterial, seperti mental kejiwaan. Karena itu, maka saat seseorang menunaikan tugas pekerjaan profesional dan kehidupan personal, jangan pernah berhenti dengan hanya menempatkannya semata-mata urusan material hidup. Jangan lupa untuk mengaitkan semua itu dengan dimensi sosial dan mental kejiwaan.
Dengan menghadirkan dimensi sosial dan mental kejiwaan ke dalam urusan penunaian kerja profesional dan kehidupan personal, maka keseimbangan di antara kedua elemen yang disebut terakhir ini akan semakin mudah diciptakan dan diperkuat. Sebab, keseimbangan itu bukan saja menjadi kebutuhan, melainkan sudah menjadi keharusan untuk tegaknya posisi diri (self) seseorang dalam hidup. Maka, karena itu, keseimbangan antara kerja profesional dan kehidupan personal menjadi keniscayaan dalam hidup yang tarafnya sudah mencapai hampir wajib untuk ditegakkan.
Kedua, sebagai konsekuensi dari cara pertama di atas, perkuatlah spiritual engagement dalam menunaikan tugas pekerjaan profesional dan kehidupan personal. Spiritual engagement di sini berarti selalu menghadirkan kekuatan spiritual ke dalam aktivitas kerja profesional dan praktik kehidupan personalnya. Dalam bahasa keislaman, setiap diri perlu menyertakan Allah SWT sebagai sumber spiritualitas ke dalam setiap proses penunaian kerja profesional dan praktik kehidupan personal. Kekuatan spiritual ini penting untuk mengikat kuat dimensi material diri seseorang dengan dimensi lainnya, mulai dari sosial hingga mental kejiwaan. Tuntunan untuk berdoa di awal dan akhir pekerjaan adalah cara sederhana saja, dan bahkan simbol, untuk menyertakan Allah SWT dalam kerja profesional praktik kehidupan personal.
Artinya, jangan pernah memperlakukan pekerjaan dan aktivitas personal keseharian hanya sekadar praktik penunaian tanggung jawab fisik-material. Kaitkan semuanya dengan semangat penunaian tanggung jawab spiritual. Jadi, cara terukur untuk memperkuat keseimbangan antara kerja profesional dan kehidupan personal adalah dengan menarik keduanya ke atas ke ranah spiritual. Apalagi, saat ukuran keseimbangan tak selalu sama antara satu orang dan yang lainnya seperti diuraikan sebelumnya, maka menarik penunaian kerja profesional dan kehidupan personal ke dalam pelaksanaan tanggung jawab spiritual adalah salah satu cara terukur untuk menciptakan keseimbangan dimaksud.