Column UINSA

MENYIKAPI SAMPAH POLITIK, SEBAGAI PEMILIH ANDA ADALAH

“KOENTJI”

Oleh: Zaky Ismail, M.S.I,
Sekretaris GKM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

 

Dalam proses demokrasi elektoral, suara pemilih adalah “koentji”. Sebab pemenang ditentukan oleh seberapa banyak suara (vote) yang bisa diperoleh melalui pemilihan umum. Maka beragam cara dilakukan oleh para kontestan untuk bisa mendapatkan dukungan suara. Demi untuk bisa meraih cita-cita politik. Maka tak heran, langkah-langkah kampanye, mulai dari cara-cara konvensional sampai strategi millenial dilakukan. Namun persoalannya seringkali langkah-langkah tersebut menimbulkan persoalan baru. Seperti baliho calon anggota legislatif yang sungguh menyesakkan bagi standar estetika.

Seberapa sering anda melihat, sticker, leaflet, baliho, spanduk atau semacamnya dalam sehari? Jika pertanyaan di atas ditanyakan ke anda belakangan ini, saya yakin jawaban kita sama. Sangat sering, lebih sering dari jatah minum obat yang biasanya 3 kali sehari. Apalagi jika pertanyaan serupa ditanyakan namun lebih dikhususkan, terbatas soal baliho para calon anggota legislatif menghadapi pemilu 2024. Tidak hanya seperti minum obat, tapi sudah tidak cukup dihitung dengan jari-jemari kita.

Belakangan, setiap sudut kota dan pelosok desa, di jalan jalan, di gang-gang sempit, di tembok-tembok warung kopi yang biasanya anda tongkrongi, tiang listrik, pohon-pohon di pinggir jalan, di angkutan kota, dan di semua tempat publik yang bisa dilihat siapa saja, dengan sangat mudah kita temui iklan “diri” para kontestan yang mungkin sejak bangun tidur sampai tidur kembali, berpikir sangat keras bagaimana caranya agar bisa lolos menjadi orang yang terpilih, baik legislatif maupun eksekutif di periode mendatang.

Pengenalan calon melalui sticker, leaflet, baliho, papan pengumuman dan media-media lainnya adalah satu strategi dari sekian strategi politik yang digunakan agar tujuan politik bisa tercapai. Para calon harus benar-benar memanfaatkan demi meningkatkan popularitas, demikian istilah pokok yang dikenal dalam marketing politik. Tujuannya adalah bagaimana si calon dikenal seluas-luasnya oleh masyarakat pemilih. Logika sederhana yang dipahami di sini adalah, “bagaimana saya mau dipilih, jika dikenal saja tidak”. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.

Lantas apakah ada jaminan jika seseorang sudah populer, lalu orang tersebut akan secara otomatis diterima oleh pemilih? Belum tentu. Popularitas tidak selalu berbanding lurus dengan akseptabilitas. Sudah menjadi hukum alam, jika ada yang pro, pasti ada yang kontra. Jika di sana ada liker di sini ada hater, artinya ada yang menerima dan banyak juga yang tidak. Dengan demikian, setelah seorang calon cukup populer, si calon harus memastikan bahwa ia dikenal dan diterima dengan baik oleh pemilih.

Pertanyaan selanjutnya adalah, jika anda sebagai calon dikenal luas, juga diterima di hati para pemilih, apakah ada jaminan anda akan dipilih? Tidak ada yang bisa menjamin. Tapi bahwa ada relasi kuat antara popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas tak terbantahkan secara teoritik. Popularitas dan akseptabilitas yang tinggi, akan memberi ruang kemungkinan yang jauh lebih besar untuk dipilih, dari pada calon yang tidak populer dan sulit diterima publik. Maka tidak heran, lembaga-lembaga survey selalu saja mengukur popularitas maupun elektabilitas seorang yang ingin berkontestasi dalam sebuah proses demokrasi elektoral. Karena hal itu sangat penting untuk mengukur sekaligus mempersiapkan langkah-langkah politik (berikutnya) yang diambil.

Para kontestan berlomba-lomba menaikkan popularitas. Berupaya keras agar bisa diterima pemilih, dan menggunakan beragam cara agar diberi suara (voted). Tak heran jika persoalan estetika adalah urusan kesekian. Efektif atau tidak efektif cara-cara konvensional yang dilakukan tidak terlalu dipentingkan. Karena yang ada di benak para kontestan hanyalah persoalan bagaimana pesannya tersampaikan. Misinya sukses, dikenal lalu dipilih.

Para kandidat mungkin lupa, hari ini berbeda dengan 10 atau 15 tahun yang lalu. Cara-cara konvensional sudah semestinya ditinggalkan. Kita harus yakin dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Catatan tentang pentingnya media sebagai alat kampanye politik juga tak terbantahkan. Hari ini dunia kita adalah dunia digital yang ditopang teknologi terbarukan. Bahkan seminggu saja anda tidak update, bisa ketinggalan sangat jauh.

Apatah lagi jika cara-cara konvensional dimaksud melahirkan persoalan baru seperti estetika maupun lingkungan. Lingkungan kita dipenuhi sampah politik yang sangat merisaukan. Kegelisahan kita tentang karut-marut alat kampanye yang merusak estetika dan lingkungan harusnya ditangkap oleh pemegang kebijakan sebagai keresahan bersama. Jika hari ini sampah politik tersebut masih kita temukan memenuhi semua sudut-sudut ruang visual kita, maka mudah-mudahan itu tidak terjadi pada masa-masa yang akan datang.

Sikap dan harapan tersebut seharusnya menjadi nilai yang wajib kita perjuangkan sebab penentunya adalah kita. Bukan mereka. Karena sebagai pemilih kita disodorkan pada pilihan-pilihan politik yang sangat beragam. Semua kembali kepada anda sebagai pemilih. Sebab, sebagai pemilih, anda adalah kunci. Anda memiliki daya tarik luar biasa. Medan magnet utama bagi para kontestan adalah suara anda. Tidak yang lain. Karena itu saatnya anda yang sepakat dengan isi tulisan ini, mulai memberi perhatian lebih pada model-model penggunaan alat kampanye yang merusak estetika, apalagi memberi dampak buruk bagi lingkungan. Anda bisa, saya bisa, kita bisa.