Dr. Slamet Muliono Redjosari
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”
Nabi Ibrahim layak sebagai teladan bagi kita dalam menjalankan perintah Allah. Beliau berjuang maksimal dalam memperjuangkan tauhid. Itulah amal terbaik. Dakwah tauhid dimulai dari keluarga kemudian masyarakatnya. Pertama kali, dakwah ditujukan kepada ayahnya, setelah itu kepada masyarakatnya. Misi dakwahnya agar menyembah hanya kepada Allah dan meninggalkan penyembahan berhala. Nabi Ibrahim mempersembahkan setiap amal dengan nilai terbaik dan sempurna, sehingga beliau dijuluki sebagai Khalilullah (kekasih Allah)
Dakwah Tauhid
Nabi Ibrahim merupakan sosok perjuang tauhid sejati. Sebagaimana dakwah para rasul, yang mendapatkan tugas mulia, Nabi Ibrahim mendakwahkan agar umatnya mentauhidkan Allah. Beliau mengawali dakwah tauhid pada keluarga terdekatnya. Ayahnya seorang pekerja pembuat patung yang disembah oleh masyarakatnya.
Oleh karena itu, Nabi Ibrahim mengajak ayahnya untuk mentauhidkan Allah dengan meninggalkan berhala. Bukan mendapatkan respon positif dan menggembirakan, tetapi justru mendapatkan penolakan dan pengusiran. Demikian pula ketika mendakwahkan tauhid kepada masyarakatnya, beliau mendapat perlawanan sengit. Penolakan dan perlawanan sengit tidak menggetarkan jiwanya, tetapi justru semakin menguatkan hatinya bahwa para penyebar dakwah tauhid pasti akan mendapatkan perlawanan.
Penyandaran tunggal kepada Allah sudah tertanam dengan kuat dalam diri beliau. Mentauhidkan Allah sudah menjadi alur sanubaru dan perjalanan hidupnya. Permohonan mendapatkan petunjuk-Nya telah dilakukan secara dini. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي سَيَهْدِينِ
“Dan Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya aku pergi kepada Tuhanku, dan Dia akan memberiku petunjuk.'” (QS. Ash-Shaffat: 99)
Kekuatan iman Nabi Ibrahim dalam menjalankan perintah sudah terbukti. Beliau taat taat menjalani ujian ketika mendapat perintah untuk menyembelih anak semata wayangnya, Ismail. Perintah menyembelih itu melalui mimpi. Meskipun hal itu sangat berat dan sulit, namun beliau tetap menjalankan perintah Allah dengan sabar dan ikhlas. Begitu mendapat perintah, beliau mendiskusikan dengan Ismail. Hal ini dipaparkan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ
“Maka ketika anak itu sampai pada umur yang dapat berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?'” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Nabi Ibrahim berhasil mengalahkan cintanya kepada anak dengan mengutamakan kecitaan pada Allah. penantian kelahiran pada anak begitu lama, namun ketika putra yang dinanti-nantikan sudah menjelang remaja justru diperintahkan untuk disembelih dengan tangannya sendiri. Kecintaan kepada Allah telah dikedepankan dengan melepaskan kecintaannya pada anak.
Refleksi Kecintaan
Betapa berat dan sulitnya menerima perintah ini, namun sebagai hamba yang totalitas dalam menjalankan perintah, Nabi Ibrahim berhasil dengan tegar menjalankannya. Beliau menjadi contoh dalam mengorbankan dirinya diserahkan secara total kepada Sang Pemberi petunjuk. Nabi Ibrahim telah berhasil menjadi generasi mutiara yang sangat mencintai Allah di atas segalanya, dengan menomorduakan kecintaan pada makhluk selain-Nya.
Kita sebagai generasi saat ini perlu melakukan refleksi atas berbagai realitas yang sangat berat ujiannya. Problem sosial era millennial ini jelas-jelas telah menjerumuskan generasi saat ini ke dalam jurang kebinasaan. Generasi saat ini banyak mengalami tantangan kecintaan pada dunia sehingga teledor pada tugas sucinya, mentauhidkan Allah.
Godaan dunia untuk kehancuran keimanan seorang hamba terus mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas. Jalan kebenaran dan kesesatan telah terbuka lebar, namun jalur kesesatan jauh lebih menarik hati sehingga banyak pihak yang terjerumus dan ikut arus besar ini. Kemaksiatan dan kemungkaran terbuka lebar. Para pejuang untuk mengajak manusia ke jalan yang menyimpang jauh lebih besar energi dan magnetnya.
Perintah Al-Qur’an untuk menjaga diri, agar tak terjemumus, dari jalan menyimpang sangat ditekankan. Berpegang pada petunjuk juga sangat danjurkan agar tidak terjatuh pada jurang kebinasaan. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu sendiri. Orang yang sesat itu tidak akan dapat membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” (QS. Al-Ma’idah: 105)
Terlebih lebih lagu, realitas saat ini para pemimpin juga ikut arus dan terjebak dalam menikmati fasilitas kekuasaan. Amanah, jujur, dan bertanggung jawab telah menjadi kalimat verbal, namun dalam prakteknya dipenuhi dengan khianat, culas, dan apatis terhadap problem waga negara. Praktek korupsi dan nepotis elite menjadi pemandangan bisa. Sementara peredaran narkoba dan obat terlarang begitu meluas, masyarakat asyik dengan perjudian online, seta berbagai tindak kriminal mengalami pembiaran.
Tragisnya, aparat sebagai penegak hukum justru terlibat dan pemback up kriminalitas dan kejahatan. Elite ormas dan para ulama muslim tidak lagi memiliki kepedulian sosial terhadap problem umat. Maka lengkaplah sudah atas kehilangan keteladaan dari elite, dan pembiaran masyarakat yang berbuat apa saja.
Momentum Idul Adha bisa menjadi pintu refleksi atas berbagai kerusakan yang ada di depan mata, agar bisa berubah mengambil hikmah. Kerusakan moral, baik elite maupun masyakarat akar rumput bisa menyadarkan bahwa hancurnya peradaban sudah di depan mata. Hal ini akan berubah menjadi berkah apabila dua komponen masyarakat ini mengikuti jejak Nabi Ibrahim yang mencintai Allah di bawah derajat kecintaan pada dunia, serta rela berkurban untuk mendapatkan ridho-Nya. Menjadi kekasih Allah itulah puncak keimanan bagi seorang hamba karena mempersembahkan setiap amal dengan nilai sempurna (terbaik).
Surabaya, 6 Juni 2025