Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Is this love?” Begitu kalimat pertanyaan yang muncul di awal sebuah video literasi psikologi. Judul videonya Toxic Relationship Signs. Dalam caption video itu (lihat URL: https://www.youtube.com/watch?v=IabJJhmSecQ), dimunculkan pertanyaan berikut ini: Are you currently in a relationship or about to soon be in one? Here are some warning signs that your relationship could be toxic. Terjemahannya begini: “Apakah Anda saat ini berada dalam status sebuah hubungan atau baru akan segera memulai? Berikut adalah beberapa tanda peringatan bahwa hubungan Anda bisa menjadi beracun.” Kalimat awal dan caption video ini mengingatkanku secara kuat kepada gagasan tentang cinta atau love yang belakangan digelorakan oleh Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. 

Memang, begitu mendapati istilah toxic relationship dalam video itu, resonansinya terasa begitu nendang sekali. Apalagi, dikaitkan dengan produksi gagasan mengenai cinta atau love yang dilakukan oleh Menteri Agama RI itu. Menteri Agama yang juga imam besar Masjid Istiqlal itu telah menggaungkan konsep cinta dalam beragama dan berkeyakinan. Kita semua tahu, begitu dilantik menjadi Menteri Agama RI, Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar menggelorakan bagaimana beragama seharusnya dibangun di atas nilai cinta di tengah keragaman agama, keyakinan, etnisitas, dan budaya.  

“Kita perlu mengajarkan agama itu dengan penuh cinta. Kalau 6.666 ayat [al-Qur’an] itu dijadikan hanya satu kata, maka kata itu adalah cinta.” Demikian salah satu pernyataan Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar tentang substansi cinta itu. Pesan itu disampaikannya di acara Dialog Lintas Iman: Harmoni dalam Keberagaman. Acara itu diselenggarakan oleh DAAI TV dalam kerjasama dengan Yayasan Tzu Chi. Rekaman atas acara itu ditayangkan di DAAI TV pada 1 Syawal 1446 H pukul 19.00 WIB, dan bisa kembali diakses di kanal YouTube dengan link seperti disebut di atas. Tampak dalam siaran TV itu bahwa acara dialog lintas iman itu dihadiri sejumlah tokoh lintas agama. Dihadiri pula oleh generasi muda dan bahkan remaja-remaja Muslim bersongkok putih. 

Maka, menyebut toxic relationship bisa dilakukan untuk mempertajam makna love atau cinta. Khususnya, bahwa hakikat cinta bisa dimaknai dengan memperhadapkannya dengan konsep toxic relationship.  Aku sendiri mulai begitu terpesona dengan pembandingan istilah toxic relationship dan love itu saat suatu ketika aku rehat dan bersantai sebentar. Persis usai memberikan kuliah umum Pintar Saja Tak Cukup: Strategi Sukses Kuliah Pascasarjana untuk seluruh mahasiswa program magister dan doktor lintas program studi di UIN Sunan Ampel Surabaya, Selasa (20 Mei 2025). Tepat jam 11:15 WIB kala itu, aku mulai bisa rehat sebentar dari kuliah umum itu yang sebelumnya didahului dengan mengajar kelas sarjana di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris. Lalu saat rehat jenak itu, kutontonlah video itu. Di kanal YouTube. Seperti pada link yang disebut di atas.

Mengapa konsep toxic relationship begitu penting disebut dan diturunkan dalam diskusi mengenai love atau cinta? Sebab, berhubungan sosial dengan sesama adalah keniscayaan. Tak mungkin siapapun untuk lepas dari pergaulan sosial itu. Karena kita semua adalah makhluk sosial. Zoon politicon, istilah latinnya seperti yang dikembangkan oleh Aristoteles. Al-Insanu madaniyyun bi al-thab’i, begitu dalam istilah Arabnya. Karena menyandang status dan keberadaan sebagai makhluk sosial itu, maka bergaul dan berhubungan sosial adalah bagian dari konsekuensi sebagai makhluk sosial itu.

 Nah, saat perbedaan adalah bagian dari takdir sosial, maka relasi sosial yang muncul di tengah masyarakat juga tak bisa jauh-jauh dari gambaran perbedaan itu. Akibatnya, relasi sosial yang muncul dan terbangun di tengah-tengah masyarakat juga tak akan bisa jauh-jauh dari fakta-fakta perbedaan itu. Apakah perbedaan itu karena ketidaksamaan keyakinan, etnisitas, maupun budaya. Karena itu, membangun hubungan yang harmonis di antara komponen masyarakat yang beragam menjadi sebuah kebutuhan riil nan mendesak yang harus dilakukan.

Dalam aras pemikiran inilah, istilah toxic relationship seperti yang diingatkan oleh video yang tergambar pada link di atas penting untuk dijadikan sebagai bahan pembanding bagi upaya untuk memaknai esensi love atau cinta, seperti yang dikampanyekan Menteri Agama RI di atas. Memang, istilah toxic relationship yang diunggah oleh video dimaksud diletakkan dalam konteks status hubungan personal antar lawan jenis, sedangkan konsep love yang dikembangkan Menteri Agama RI itu dalam konteks keragaman keyakinan beragama di antara para individu anak bangsa. Tapi sejatinya, konteks ruang yang muncul dalam relasi antara istilah toxic relationship dan love dimaksud bisa diperluas hingga meliputi cara beragama di tengah masyarakat sekalipun, seperti yang diinginkan Menteri Agama RI itu.

Karena itulah, dalam hemat saya, diskusi mengenai cakupan istilah toxic relationship dan love di atas bisa pula ditarik ke penunaian urusan publik. Mulai dari cara beragama hingga cara bekerja di ruang publik. Hanya sebelum sampai ke wilayah pembahasan itu, penting diperhatikan sejumlah kata kunci di balik cakupan makna toxic relationship itu sebagai pembanding langsung bagi esensi love. Dalam kaitan inilah, maka sejumlah kata kunci penting itu perlu diuraikan terlebih dulu. Agar pemahaman dasar kita mengenai cakupan toxic relationship itu memunculkan kesadaran baru kita atas esensi love.  

Dalam kepentingan itulah, maka tanda-tanda toxic relationship perlu diurai. Namanya saja tanda-tanda atau signs, maka siapapun perlu mewaspadai tanda-tanda yang bisa menunjuk ke esensi toxic relationship itu. Saya mencatat ada tiga tanda-tanda utama. Pertama, dominance. Jika seseorang dalam status hubungan tertentu lebih memaksakan keinginan dan agendanya kepada pasangannya, maka itu sejatinya sudah menunjuk ke tanda-tanda toxic relationship. Kecenderungan memaksakan kehendak ini membuat pelakunya begitu dominan atas pasangannya pada satu sisi, dan membuat pasangannya sangat bergantung tanpa daya apapun padanya.

Jika kondisi dominasi tersebut mengemuka, maka toxic relationship itu sudah terjadi. Sebab, saat dalam hubungan itu ada yang mendominasi parah dan membuat selainnya bergantung berat tanpa daya, maka biasanya kondisi itu akan memunculkan praktik disrespect atau ketidakhormatan oleh pelaku dominance ke korban. Nah, love tidak menginginkan adanya praktik dominance dan disrespect. Yang dikehendaki justru adalah penghormatan atas sesamanya. Maka, penting dalam love untuk menghormati pasangan dalam hubungan itu. Sebab, biasanya akibat lanjutan dari praktik dominance dan disrespect adalah desperation atau keputusasaan dalam diri korban yang ditimbulkan oleh pelaku.

Tanda-tanda kedua adalah selfishness. Yakni, egoisme diri yang terlalu kuat. Yang dilakukan selalu berorientasi untuk kepentingan diri sendiri pelaku. Sebaliknya, dia menaruh tuntutan besar kepada orang lain. Kepentingannya sederhana. Yakni, menuntut orang lain untuk bisa memenuhi kemauan personalnya. Bukan mengikuti kemauan bersama yang jadi rujukannya. Bukan untuk menunaikan kemauan yang menjadi tuntutan tugas kewajiban dan atau pekerjaannya. Semua perilakunya didasarkan dan dimuarakan pada kemauan personal dirinya secara eksklusif. Jika kondisi-kondisi ini yang mengemuka, maka toxic relationship sudah mengharubiru.

 Love tidak memberi ruang selfishness. Yang diutamakan justru togetherness atau kebersamaan. Itu karena love mempersyaratkan kata “saling” atau mutuality. Substansi dasar yang dikandung oleh kata “saling” atau mutuality ini adalah sharing. Yakni, berbagi. Apa yang diberbagikan? Minimal ada dua: perasaan (feeling) dan tindakan (action).  Tidak akan pernah ada nilai berbagi jika yang mengemuka adalah dominasi oleh satu atas selainnya. Tak juga akan ada semangat berbagi jika egoisme diri terlalu kuat menguasai satu atas yang lain. Karena itu, selfishness hanya akan menunjukkan kuatnya toxic relationship, dan sama sekali bukan love.

Tanda-tanda ketiga adalah emotional manipulation. Pelaku praktik toxic relationship kerap memanipulasi pikiran dan perasaan orang lain yang berada dalam hubungan tertentu dengan dirinya untuk kepentingan dirinya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan sesamanya. Selalu ada siasat yang dimainkan untuk memanipulasi pikiran dan perasaan orang lain itu. Bahkan, hingga ekspresi rasa sedih pun dia ungkapkan dan lakukan semata-mata untuk meraih kepentingannya dari hubungannya dengan sesamanya itu. Dalam bentuk apa? Minimal dalam bentuk simpati. Maksimal adalah penguasaan.

Pada derajat yang minimal, saat simpati sudah diraih, penyalahgunaan akan mengikuti. Maka tidak heran, penyalahgunaan simpati sesamanya dilakukan semata-mata untuk memperkuat kepentingan dirinya sendiri. Itulah dampak dari emotional manipulation. Dampak terburuknya adalah munculnya penguasaan oleh pelaku kepada korban yang berada dalam hubungan tertentu dengannya. Praktik penyalahgunaan hingga penguasaan inilah yang membuat sebuah hubungan menjadi toxic. Meracuni kemurnian hubungan di antara dua pihak atau lebih. 

Demikianlah tanda-tanda konkret dari apa yang disebut dengan emotional manipulation atau manipulasi emosi itu. Pelakunya ingin menguasai orang yang berada dalam hubungan tertentu dengan dirinya. Caranya dengan memainkan dan mempermainkan emosi orang yang berada dalam hubungan tertentu dengan dirinya itu. Jika kondisi ini yang mengharubiru, maka bukan lagi love yang menandai dinamika dalam hubungan. Alih-alih, justeru toxic relationship yang tampil menguasai sebuah hubungan. Maka, praktik emotional manipulation sama sekali bukanlah ekspresi riil dari love, melainkan jeratan beracun dari toxic relationship.  

Memang, ada konsep lain yang disebut dengan hatred atau hate. Dua kata ini memiliki akar kata yang sama, dan karena itu keduanya juga memiliki makna yang serupa pula. Yakni, kebencian. Secara esensial, toxic relationship merupakan tahapan awal dari level kebencian yang dikandung oleh makna hate atau hatred itu. Mengapa begitu? Karena, toxic relationship menunjuk kepada hubungan seolah-olah. Yakni, hubungan yang tidak tulus. Hubungan yang tidak sejati. Intinya, hubungan itu tak sehat. Sebab, selalu ada pihak yang pasti berkecenderungan merugikan terhadap selainnya dari hubungan yang dijalankan.

Memang, wujud dari toxic relationship itu macam-macam. Mulai dari perilaku yang bersifat merusak secara fisik hingga yang merusak secara mental. Apakah akibatnya berupa perasaan yang direndahkan atau dilecehkan ataukah berupa pengalaman diserang secara fisik. Konteks hubungannya pun mulai dari soal asmara, persahabatan, hingga urusan kekeluargaan. Namun, tanda-tanda yang bisa dibaca dari toxic relationship seperti diuraikan di atas meliputi sejumlah perilaku, seperti dominasi yang diiringi dengan ketidakhormatan dan keputusasaan, egoisme diri yang terlalu kuat membelenggu, dan manipulasi emosi yang digunakan untuk penguasaan atas yang lain. Semua praktik perilaku itu adalah tanda-tanda toxic relationship.

Maka, membicarakan toxic relationship itu penting untuk dijadikan sebagai pintu masuk untuk menunjuk kejahatan kemanusiaan yang lebih tinggi yang bernama kebencian. Sebab, tanda-tanda yang bisa dirasakan dari toxic relationship itu bukan saja tak memberi manfaat apa-apa pada harmoni kehidupan, melainkan juga sekaligus mengancam keberlangsungan harmoni itu. Maka, membaca tanda-tanda dan wujud perilaku toxic relationship itu awal yang baik bagi upaya untuk menjauhi jeratan kebencian dalam hidup. Pada sisi lain, aktivitas itu akan mengantarkan seseorang untuk semakin dekat dengan esensi love atau cinta.

Lalu, bagaimana menghindari toxic relationship pada urusan pekerjaan? Tentu setiap kita penting untuk membaca, memahami dan sekaligus mengenali tanda-tanda toxic relationship seperti yang dijelaskan di atas. Konteks uraian pada paragraf-paragraf di atas memang cenderung bergerak dalam urusan hubungan asmara personal dan persahabatan. Namun sejatinya, substansinya juga bisa digunakan untuk mengenai praktik yang sama dari toxic relationship dimaksud dalam konteks dan cakupan ruang publik di tempat kerja. Karena itu, pembacaan, pemahaman, dan pengenalan yang baik atas tanda-tanda toxic relationship di atas merupakan sarana awal yang penting untuk menghindari jebakan toxic relationship di tempat kerja.   

Jika pada urusan hubungan asmara, persahabatan dan kekeluargaan [yang memang dari tabiatnya adalah kesetaraan dan kebersamaan] saja toxic relationship itu mengancam harmoni, apalagi dalam urusan publik. Tentu, ancaman yang merusak dan merugikan harmoni itu pasti lebih besar. Sebab, urusannya berkaitan dengan penunaian amanah publik. Karena itu, yang akan dirugikan memang awalnya adalah mereka yang berada dalam hubungan pekerjaan. Namun, pada ujungnya sejatinya yang dirugikan adalah capaian dari penunaian tugas dan pekerjaan di ruang publik itu.

Karena itu, teriakkan kata “tidak” pada toxic relationship. Baik pada urusan pribadi maupun publik. Ganti saja dengan love yang justru dibutuhkan untuk kemuliaan bersama. Sebab, dampak toxic relationship itu tentu sangat buruk. Bukan saja membuat pelakunya kehilangan nilai kemanusiaannya. Melainkan korbannya juga terdampak serius. Saking seriusnya, maka muncul sejumlah rumus penyembuhan yang secara sangat konkret dirumuskan untuk menjamin kemaslahatan korban dan publik secara luas. Salah satunya adalah dengan mengembalikan jati diri melalui penguatan rasa cinta atau love pada diri sendiri dan publik.

Mengapa diperlukan penguatan rasa cinta atau love pada diri korban dan publik secara luas? Semua itu riil dibutuhkan untuk memperbaiki masa depan korban toxic relationship serta publik secara keseluruhan. Untuk rumus penyembuhan ini, lahir sebuah buku manual pendampingan konseling karya seorang trainer dan penasehat psikologi, Dee Wilkinson. Judulnya Creating Your Future after a Toxic Relationship: A Coaching Workbook (London & New York: Routledge, 2022). Membangun masa depan pasca toxic relationship.  Disebut begini oleh Dee Wilkinson dalam pengantar atas buku tersebut: It will be of great help to individuals seeking to move on from toxic relationships, as well as life coaches and other mental health professionals. Buku ini, katanya, “akan sangat membantu individu yang ingin move on dari hubungan toksik, serta pelatih kehidupan dan profesional kesehatan mental lainnya.”

(Sampul Depan Buku Creating Your Future after a Toxic Relationship)

Maka, saat muncul praktik toxic relationship dalam jenis dan level hubungan apapun, pasti di sana akan ada dinamika yang tidak sehat. Siapapun memang tak ada yang menginginkan hal itu terjadi. Itu karena, dampaknya pasti serius nan merugikan kehidupan korban: merusak kesejahteraan mereka. Bahasa popularnya dalam Bahasa Inggris, undermining their well-being. Karena itu, praktik toxic relationship harus diteriaki ramai-ramai. Harus dijauhkan secara kuat. Dari hubungan apapun. Personal, sudah barang tentu. Ruang publik, malah kewajiban. Termasuk dalam tata hubungan antar pegawai lintas jenjang di tempat kerja sebagai bagian dari ruang publik itu.  

Menunjuk pada analisis mengenai praktik dan bahaya toxic relationship seperti disebut di atas, rasanya gagasan dan arahan Menteri Agama RI Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar tentang love atau cinta seperti diuraikan di atas sudah mendesak untuk dikembangkan lebih lanjut ke ruang publik. Salah satu representasi ruang publik itu adalah tempat kerja (workplace). Di sinilah relasi kekerjaan perlu untuk disentuh karena berkaitan langsung dengan ruang publik keseharian yang dijalankan oleh banyak individu di tengah masyarakat. Konteks awal pemikiran Menteri Agama RI mengenai cinta di atas memang dikembangkan dalam menjamin tata kelola praktik keberagamaan. Tapi melihat urgensinya yang tinggi, maka pengembangannya secara lebih lanjut untuk tata kelola hubungan kekerjaan di ruang publik pun sangat perlu dilakukan.