Berita

Nasikhatus Zuhriyah, mahasiswa Prodi Sejarah Peradaban Islam FAHUM UIN Sunan Ampel Surabaya, dalam studinya mengungkapkan salah satu situs sejarah perjuangan bangsa, yaitu Markas Besar Oelama (MBO) yang terletak di Desa Kedungrejo, Kecamatan Waru, Sidoarjo. Bangunan ini dahulunya sebuah rumah sederhana yang dipinjamkan kepada para Kiai dan santri sebagai tempat berkumpul atau mengatur strategi pada peristiwa 10 November 1945. Rumah yang dibangun pada tahun 1930 oleh H. Rais warga Dusun Bandilan, Desa Kedungrejo yang kemudian dialihkan kepada isterinya Ibu Khalimah yang dibuktikan dengan berkas Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Pada 9 Juli 1992 rumah tersebut kemudian dibalik nama atas nama Prof. Dr. H. Asep Syaifuddin Chalim, M.A. diserahkan kepada K.H. Hasyim Muzadi pada 13 Juni 2001. Berkas-berkas atas bangunan tersebut sempat hilang dan diurus kembali oleh H. Sholeh Hayat sebagai Wakil Katib PWNU Jawa Timur dan diserahkan sepenuhnya kepada NU sebagai aset peninggalan bersejarah berupa bangunan Markas Besar Oelama. MBO merupakan bangunan bersejarah sebagai aset Nahdlatul Ulama yang dilindungi oleh PWNU Jawa Timur. Markas NU berpindah-pindah lokasi yang awalnya di Blauran, Surabaya kemudian pindah ke Waru, Sidoarjo, dan Mojokerto. Pada perkumpulan tersebut K.H. Wahab Hasbullah sebagai Ketua MODT Markas Besar Oelama yang diutus langsung oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Markas tersebut sebagai bukti adanya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Dari sana muncul Maklumat yang dibentuk oleh Tim Revitalisasi pada 16 November 2019 sebagai upaya pemeliharaan bangunan tersebut. Selain resolusi jihad, yang merupakan upaya membela tanah air oleh anggota NU, diperkenalkan juga konsep ‘cinta tanah air adalah bagian dari iman’ yakni Hubbul Wathan Minal Iman yang dicetuskan oleh K.H. Wahab Hasbullah pada 1934.

Gambaran hasil strategi para ulama dalam resolusi jihad Nahdlatul Ulama guna menghadapi sekutu yakni dengan membagi peran kepada pasukan Hizbullah di Kota Surabaya yang pada saat itu telah dikuasai oleh sekutu. Selain mengatur strategi, para ulama juga memberikan ijazah kepada para santri yang akan melawan sekutu untuk membangun semangat para santri. Pada syair Syubbanul Wathan diajarkan pentingnya cinta tanah air dengan menyadarkan bahwa “kita” telah dijajah, dan “kita” tidak akan seperti binatang yang tidak dapat berfikir jika terjajah. ”Kita” siap melawan, berjihad, dan rela berkorban!