Prof. Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara dan Sekretaris Komisi Etik Senat UINSA Surabaya
Era Digital adalah sebuah keniscayaan yang harus di lalui. Di era digital tersebut media sosial telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Dari berbagi cerita, mencari informasi, hingga menjalin relasi, media sosial menawarkan kemudahan dan kenyamanan. Namun, di balik manfaatnya, penggunaan media sosial yang tidak bijak dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti penyebaran hoaks, perundungan daring, dan konflik antarindividu.
Survei yang dilakukan perusahaan Microsoft melalui Digital Civility Index (DCI) yang dilaporkan oleh Civility, Safety and Interaction Online edisi ke-5 bulan Februari 2021, Indonesia menduduki rangking ke-29 dengan nilai DCI 76. Kondisi ini menunjukan, bahwa tingkat keberadaban (civility) netizen Indonesia sangat rendah di bawah Negara Singapura dan Taiwan. Keberadaban yang dimaksud dalam laporan ini terkait dengan perilaku berselancar di dunia maya dan aplikasi media sosial, termasuk risiko terjadinya penyebarluasan berita bohong atau hoaks, ujaran kebencian atau hate speech, diskriminasi, misogini, cyberbullying, trolling atau tindakan sengaja untuk memancing kemarahan, micro-aggression atau tindakan pelecehan terhadap kelompok marginal hingga ke penipuan, doxing atau mengumpulkan data pribadi untuk disebarluaskan di dunia maya guna mengganggu atau merusak reputasi seseorang, hingga rekrutmen kegiatan radikal dan teror, serta pornografi.
Berdasarkan kenyataan tersebut, memahami etika bermedia sosial menjadi sangat penting, karena bagaimana pun hal tersebut akan menunjukkan citra diri (karakter), dan dapat merendahkan marwah institusi jika tidak dilakukan secara bijak sesuai norma sosial, susila, agama dan hukum yang berlaku.
Terkait dengan etika bermedia sosial, kapan hari penulis selaku Sekretaris Komisi Etik Senat UIN Sunan Ampel Surabaya diajak berembug oleh Ketua Senat dan Sekretaris Senat. Salah satu tema yang menjadi pokok permasalahan adalah bagimana etika bermedia sosial khususnya bagi sivitas, yaitu Dosen, Tenaga Kependidikan, dan Mahasiswa. Meski permasalahan ini bukan sesuatu yang baru, tetapi setidaknya ada etikat baik dalam bermedia sosial bagi sivitas UINSA Surabaya dan sekaligus dalam rangka menjaga marwah diri dan institusi. Ketua Senat dan Sekretaris Senat meminta penulis untuk merumuskan draft etika bermedsos tersebut. Penulis pun mencoba membuat garis besar sederhana tentang pokok-pokok bagaimana etika bermedsos tersebut.
Ada dua referensi utama ketika kita hendak merumuskan etika bermedia sosial dalam konteks norma hukum di Indonesia. Pertama, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) – sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kedua, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi
Pada tulisan ini penulis akan melakukan telaah terhadap ketika aturan hukum tersebut sebagai bentuk kepedulian terhadap permasalahan yang ada saat ini.
Etika Bermedsos Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (baca, UU ITE 2008). UU ini merupakan dasar hukum pertama di Indonesia yang mengatur tentang pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik. UU ITE 2008 memiliki peran penting dalam mengatur penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik di Indonesia. UU ini memberikan landasan hukum yang jelas untuk melindungi masyarakat, terutama di ruang digital. UU ITE 2008 mengatur berbagai aspek, mulai dari definisi dan batasan, hingga perbuatan pidana yang terkait dengan penggunaan teknologi informasi.
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memiliki beberapa poin penting: Pertama, Definisi dan Batasan, bahwa UU ITE 2008 memberikan definisi dan batasan istilah-istilah yang digunakan, seperti Informasi Elektronik, Dokumen Elektronik, Tanda Tangan Elektronik, dan Sistem Elektronik.
Kedua, Perbuatan Pidana. UU ITE 2008 mengatur perbuatan pidana yang terkait dengan penggunaan teknologi informasi, seperti: (1) Pencemaran nama baik melalui media online; (2) Melakukan ujaran kebencian atau kebencian rasial; (3) Melakukan perbuatan asusila melalui media online; (4) Pengancaman atau kekerasan melalui media online; dan (5) Penyebaran informasi yang melanggar kesusilaan.
Ketiga, Tanda Tangan Elektronik. UU ITE 2008 mengatur tentang penggunaan dan validitas Tanda Tangan Elektronik dalam transaksi elektronik. Keempat, Sistem Elektronik. UU ITE 2008 mengatur kewajiban penyelenggara sistem elektronik dalam menjaga keamanan dan keandalan sistem mereka. Keenam, Pembuktian dalam Transaksi Elektronik. UU ITE 2008 memperluas konsep pembuktian dalam transaksi elektronik, dimana dokumen elektronik dianggap sama kuat dengan dokumen fisik.
UU ITE 2008 selanjutnya mengalami Perubahan dan Revisi melaluiUndang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024. Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memperjelas beberapa pasal, meningkatkan kepastian hukum, dan melindungi HAM di ruang digital.
Etika Bermedsos Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor19 Tahun 2016 (UU ITE 2016) adalah undang-undang yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE 2008). Perubahan ini bertujuan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan hak serta kebebasan orang lain, serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.
Tujuan Perubahan UU ITE 2008 denganUU ITE 2016 dilakukan untuk menyempurnakan UU ITE 2008 tersebut, terutama terkait ketentuan pidana yang berkaitan dengan konten ilegal.
Perubahan ini mencakup berbagai aspek, termasuk penambahan atau perubahan pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik. Pertama, Peran dalam Bermedia Sosial. UU ITE 2016, termasuk perubahannya, memiliki peran penting dalam mengatur penggunaan media sosial, terutama terkait dengan penyebaran informasi, berita palsu (hoax), ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik. Contoh Perbuatan yang Dilarang adalah Pasal 28 ayat (1) UU ITE 2016 melarang penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Selain itu, Undang-undang ini juga mengatur mengenai peretasan atau hacking.
Pemahaman yang baik tentang UU ITE 2016 sangatlah penting bagi setiap orang, terutama bagi pengguna media sosial, untuk dapat bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi informasi dan menghindari tindakan yang melanggar hukum.
UU ITE 2016 selanjutnya mengalami Perubahan dan Revisi melaluiUndang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024. Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memperjelas beberapa pasal, meningkatkan kepastian hukum, dan melindungi HAM di ruang digital.
Etika Bermedsos Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 (UU ITE 2024) adalah undang-undang yang mengatur tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang ini bertujuan untuk menjaga ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan. Perubahan ini dilakukan karena beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 masih menimbulkan multitafsir dan kontroversi di masyarakat. Selain itu juga mempertegas dan meningkatkan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, serta melindungi hak dan kebebasan individu dalam ruang digital.
Substansi utama UU Nomor 1 Tahun 2024 mencakup: Pertama, Perubahan pada Pasal 27. Pasal ini mengatur tentang penyebaran informasi elektronik yang melanggar kesusilaan. UU baru ini mempertegas makna dari “melanggar kesusilaan” dan menetapkan bahwa pencemaran nama baik hanya dapat dikenakan terhadap individu, bukan kelompok atau organisasi.
Kedua, Perubahan pada Pasal 45. Pasal ini mengatur tentang sanksi pidana bagi pelanggaran pasal 27. UU baru ini memberikan sanksi yang lebih tegas dan sesuai dengan tingkat keparahan pelanggaran.
Ketiga, Perubahan pada Pasal 46. Pasal ini mengatur tentang mekanisme penanganan sengketa terkait pelanggaran UU ITE. UU baru ini memberikan mekanisme yang lebih efisien dan efektif dalam menyelesaikan sengketa.
Keempat, Penguatan Hak dan Kebebasan Individu. UU baru ini juga memberikan penguatan pada hak dan kebebasan individu dalam ruang digital, termasuk hak atas privasi, kebebasan berekspresi, dan kebebasan informasi.
Kelima, Penegasan Kepastian Hukum. UU baru ini bertujuan untuk menghilangkan multitafsir dan kontroversi yang selama ini terjadi dalam penerapan UU ITE, sehingga menciptakan kepastian hukum yang lebih jelas dan akurat.
Dengan paparan tersebut UU ITE 2024 bertujuan untuk menciptakan ruang digital yang lebih aman, sehat, dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, UU ini juga menegaskan bahwa pencemaran nama baik hanya dapat dikenakan terhadap orang perseorangan. Hal ini bertujuan untuk melindungi kebebasan berekspresi dan mencegah penyalahgunaan UU ITE.
Esensi dari UU ITE adalah mencegah penyalahgunaan teknologi informasi (hak atas data pribadi), seperti penyebaran berita bohong (hoax), pencemaran nama baik, bullying, penyebaran data privasi. Semua itu merupakan pelanggaran berat terhadap siapa saja yang yang mengakses dan mengupload terhadap hal-hal yang bersifat privasi.
Etika Bermedsos Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, adalah hukum yang mengatur perlindungan data pribadi di Indonesia. Undang-undang ini bertujuan untuk memastikan bahwa data pribadi seseorang dilindungi dari penyalahgunaan dan digunakan secara sah, sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam undang-undang.
Prinsip-prinsip Utama UU PDP adalah: Pertama, Transparansi, bahwapengendali data pribadi harus jelas dalam menjelaskan tujuan pengolahan data, proses, dan metode yang digunakan. Kedua, Kewajaran. Pengumpulan dan pemrosesan data pribadi harus dilakukan secara sah, adil, dan tidak merugikan pihak lain. Ketiga, Keamanan. Pengendali data pribadi harus memastikan keamanan data pribadi, baik fisik maupun digital, dan mencegah akses tidak sah. Keempat, Kepentingan Umum. Pengendali data pribadi harus mempertimbangkan kepentingan umum dalam pemrosesan data pribadi, seperti penyelenggaraan negara dan pertahanan keamanan nasional.
Dampak dan Manfaat UU PDP adalah: Pertama, Perlindungan Data. UU PDP memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi data pribadi warga negara, mencegah penyalahgunaan dan kebocoran data. Kedua, Kepastian Hukum. Undang-undang ini memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan pelaku bisnis dalam hal pengelolaan data pribadi, mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan kepercayaan. Ketiga, Peningkatan Keamanan Siber. UU PDP mendorong peningkatan keamanan siber dan privasi data pribadi, mendukung upaya pemerintah dalam mengatasi ancaman keamanan siber. Keempat, Peluang Bisnis. Undang-undang ini juga dapat membuka peluang baru di dunia bisnis, terutama bagi perusahaan yang berfokus pada perlindungan data pribadi dan keamanan siber.
Implikasi bagi Perusahaan dan/atau institusi adalah: Pertama, Pemenuhan Prinsip-Prinsip. Institusi/Perusahaan harus memastikan bahwa pengolahan data pribadi sesuai dengan prinsip-prinsip UU PDP, termasuk transparansi, kewajaran, dan keamanan. Kedua, Penerapan Teknologi. Institusi/Perusahaan harus menerapkan teknologi yang sesuai untuk melindungi data pribadi, seperti enkripsi, kontrol akses, dan pemantauan keamanan. Ketiga, Penunjukan DPO. Institusi/Perusahaan yang memproses data pribadi dalam jumlah besar atau bersifat sensitif harus menunjuk seorang Data Protection Officer (DPO) yang bertanggung jawab atas kepatuhan terhadap UU PDP. Keempat, Pendidikan dan Kesadaran. Institusi/Perusahaan harus memberikan pendidikan dan kesadaran kepada karyawan/staff tentang perlindungan data pribadi dan UU PDP.
Esensi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) adalah perlindungan terhadap data privasi yang bertujuan untuk menjamin hak setiap individu atas perlindungan diri pribadi dan keamanan data pribadi mereka, serta mengatur penggunaan data pribadi secara bertanggung jawab.
Salah satu asas dalam perlindungan tersebut adalah asas kerahasiaan yang bertujuan melindungi data pribadi dari pihak yang tidak berhak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 65 ayat (2) UU PDP yang menyatakan: Setiap Orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya. Selanjutnya dalam Pasal 67 ayat (2) dinyatakan: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut secara eksplisit dinyatakan, bahwa mengungkapkan (menyebarluaskan ke publik) Data Pribadi (termasuk ijazah sebagaimana kasus saat ini yang sedang viral) yang bukan miliknya merupakan tindak pidana, dan terhadap seseorang yang melakukan hal tersebut dapat dipidana penjara dan/atau pidana denda.
Etika Bermedia Sosial yang Seharusnya
Etika bermedia sosial adalah prinsip dan aturan perilaku yang harus diikuti pengguna media sosial agar bisa menggunakan media sosial dengan baik dan bertanggung jawab, serta menghormati pengguna lain. Dalam prinsip merupakan seperangkat norma dan nilai yang mengatur perilaku pengguna dalam berinteraksi di dunia maya. Etika ini membantu menciptakan lingkungan digital yang sehat, aman, dan produktif bagi semua pihak.
Beberapa prinsip yang menjadi dasar etika bermedsos mencakup antara lain: Pertama, penggunaan bahasa yang baik. Menghindari penggunaan bahasa yang kasar, sindiran, atau sarkasme yang berlebihan, menyinggung, atau mengandung ujaran kebencian.
Kedua, menghargai privasi. Jangan menyebarkan informasi pribadi orang lain, seperti menyebarkan foto, video, atau informasi pribadi tanpa izin yang bersangkutan, karena hal ini melanggar privasi dan dapat berpotensi melanggar hukum.
Ketiga, menghindari ujaran kebencian dan hoaks. Mengecek lebih dahulu kebenaran informasi/berita sebelum membagikannya (mengunggah), dan hindari menyebarkan informasi palsu (hoaks) atau menyesatkan.
Keempat, menghargai perbedaan pendapat. Jangan menghina atau meremehkan pendapat orang lain, dan bersikap terbuka terhadap berbagai sudut pandang.
Kelima, Menghindari ujaran kebencian dan perundungan. Jangan melakukan tindakan yang merusak atau menghina orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Keenam, Menghargai hak cipta. Jangan menyebarkan karya orang lain tanpa izin atau menyebutkan sumbernya.
Keenam, Jangan mengunggah konten yang tidak pantas. Menghindari mengunggah foto, video, atau konten lain yang mengandung unsur pornografi, kekerasan, atau SARA (Suku, Agama, dan Ras).
Ketujuh, Bijak dalam berkomunikasi. Menghindariberlebihan dalam membalas komentar atau pesan, dan perhatikan waktu yang tepat untuk berkomunikasi.
Kedelapan, Menjaga kesehatan mental. Jangan terjebak dalam perbandingan sosial atau perundungan, dan jangan ragu untuk meminta bantuan jika mengalami masalah kesehatan mental.
Kesembilan, Menjaga diri dari bahaya online. Jangan mudah percaya dengan informasi yang tidak terverifikasi, dan jangan memberikan informasi pribadi yang berlebihan.
Menerapkan etika dalam bermedia sosial memiliki banyak manfaat positif. Dengan menciptakan interaksi yang sehat, media sosial dapat menjadi tempat yang menyenangkan sekaligus informatif. Sikap saling menghormati juga mampu mengurangi risiko konflik dan kesalahpahaman di dunia maya. Selain itu, pengguna yang bijak dan santun akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan dari komunitas daring, sehingga meningkatkan kredibilitas mereka. Tak kalah penting, etika yang baik dalam bermedia sosial mencerminkan karakter pribadi dan integritas seseorang sekaligus institusi di mana seseorang tersebut bernaung, yang pada akhirnya memperkuat citra positif di mata orang lain (masyarakat). Insyaallah.