Column

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Setiap kali disebut, setiap kali itu pula ia menuntut adanya aksi ambil pelajaran. Itulah kata “evaluasi”. Kata itu berkali-kali disebut. Di acara itu. Dalam tiga hari, Senen hingga Rabu. Tanggal 11 hingga 13 November 2024. Karena memang acara itu adalah evaluasi seleksi penerimaan mahasiswa baru (PMB). Pada kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Ya, seleksi yang meliputi rangkaian yang cukup panjang. Mulai dari seleksi nasional jalur prestasi. Hingga jalur mandiri kemitraan. Semua itu dievaluasi. Agar bisa menjadi pelajaran penting. Untuk seleksi yang sama tahun depan dan mungkin juga tahun-tahun sesudahnya.

Foto: Penutupan Acara Seleksi PMB UINSA (Dok. Humas UINSA, 13/11/2024)

Sampailah sesi evaluasi pada profil mahasiswa baru UINSA. Pertanyaannya sederhana kala itu. Bagaimana sih gambaran latar belakang mahasiswa baru UINSA? Pertanyaan ini penting ditelaah secara serius. Agar segera bisa diketahui consumer base kampus ini. Tentu disadari betul, kampus ini harus bisa memahami latar belakang sosial ekonomi hingga preferensi yang terpersonalisasi di kalangan mahasiswa dan wali mereka. Kepentingannya konkret. Agar kampus ini tidak kehilangan pembacaan atas potensi dan tantangan yang dihadapi sekaligus. Karena banyak hal yang akan terpengaruh. Mulai dari raw input akademik mahasiswa hingga indeks kapasitas finansial mereka. Salah satunya berkaitan dengan profil utuh atas postur uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa secara umum.

Lalu, tergambarlah profil UKT mahasiswa baru UINSA dimaksud. Dan idealnya memang, fiskal universitas mengambil bentuk dan pola kurva gabungan. Itu baru fiskal kampus yang sehat. Lalu, muncullah diskusi yang menarik soal postur UKT mahasiswa baru UINSA. Termasuk yang harus dibayarkan oleh wali mahasiswa yang berasal dari internal pegawai UINSA. Tiba-tiba lalu ada peserta acara evaluasi PMB itu mengangkat tangan. Lalu berkata. Begini perkataannya: “Anak saya saja terkena UKT sebesar 7 juta. Saya tetap membayarnya. Dan tak pernah komplain dengan melakukan banding UKT.”

Mendengar pernyataan peserta laki-laki itu, aku pun langsung menyambarnya dengan pertanyaan begini: “Mengapa Bapak tidak melakukan banding UKT?” Banding UKT ini maksudnya adalah permohonan peninjauan ulang atas besaran UKT yang harus dibayarkan. Permohonan peninjauan ulang ini dilakukan dengan harapan penuh agar ada kebijakan penurunan besaran UKT dimaksud oleh universitas. Biasanya dilakukan dengan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan. Dia pun menjawab kontan: “Saya kan PNS dan besaran UKT sudah ada hitungannya, kan Pak?”

Mendapat jawaban seorang pegawai di atas, seisi ruangan tepuk tangan. Riuhlah ruang rapat kala itu. Mengapa mereka tepuk tangan? Tentu karena takjub. Bangga. Terinspirasi. Dan termotivasi. Sebab, pegawai itu bukan golongan tinggi. Apalagi dosen dengan jabatan akademik tertinggi. Dan dengan gaji yang tinggi pula. Tentu bukan. Dia adalah pegawai administrasi. Dikenalnya dengan tenaga kependidikan. Singkatannya, tendik. Sehari-harinya, dia juga membantu fakultasnya dengan tugas tambahan sebagai sopir. Tentu pegawai dengan pangkat sepertinya tak memiliki penghasilan sebesar pegawai dengan pangkat dan golongan tinggi. 

Tapi, karena UKT untuk anaknya sudah diputuskan oleh sistem di UINSA, dia pun loyal dan menunjukkan ketaatannya pada ketentuan itu. Dia terima. Sesuai besaran yang ada. Tak ada komplain. Tak ada keluhan. Dan tak melakukan banding UKT itu. Alih-alih, tiap semesternya, dia tetap membayar UKT anaknya dengan besaran sesuai yang sudah ditentukan sebelumnya oleh pihak kampus. Di awal masuk anaknya sebagai mahasiswa baru, dia bayar UKT dengan besaran itu. Dan dia bayar terus UKT dengan besaran itu saat anaknya meninggalkan masa semester awal ke semester-semester berikutnya.

“Bahkan, kini anak saya sudah semester 5 di Fakultas Sains dan Teknologi, Pak,” imbuhnya untuk menjelaskan bahwa dia tetap setia dan patuh untuk membayar besaran UKT seperti yang sudah ditetapkan oleh universitas. Tepuk tangan peserta rapat pun bergemuruh. Mereka secara bersama-sama bertepuk tangan hingga acara menjadi semakin riuh. Semua hadirin pun lalu kagum dengan sikap hidup pegawai internal UINSA itu. Mereka tampak tak membayangkan hal itu terjadi dan dilakukan oleh internal pegawai UINSA sendiri. Apalagi, oleh pegawai dengan pangkat dan golongan sepertinya.

Karena itulah, dari awal sekali sejak kalimat pertama keluar darinya sebagaimana di uraikan di atas, hadirin pun langsung meresponnya dengan penuh kekaguman. Begitu kalimat awal itu keluar dari lisannya untuk merespon diskusi soal UKT mahasiswa UINSA, para peserta rapat evaluasi itu pun menunjukkan ekspresi kebanggaanya. Mereka kagum atas sikap hidup pegawai lelaki itu atas ketentuan besaran UKT yang sudah ditetapkan untuk anaknya. Mereka juga bangga dengan praktik hidup pegawai lelaki itu. Mereka tak menyangka kebajikan hidup itu justru datang dari pegawai laki-laki UINSA itu.  

Saya lalu menyebut fakta di atas dengan ilustrasi “Kemuliaan Itu Di Bikin.” Karena pegawai yang menjelaskan soal UKT anaknya itu adalah pegawai internal UINSA sendiri. Namanya Bikin Torin. Biasa disapa Bikin. Nah, begitu UKT telah ditetapkan oleh kampus, dia langsung taat untuk membayarnya. Tak ada komplain. Tak ada ekspresi keluhan. Bentuknya, tak melakukan langkah banding UKT. Karena dia merasa penentuan UKT itu berdasarkan sistem yang diberlakukan. Dan, dia melakukan itu semua sejak tiga tahun yang lalu. Dan kini putranya telah menginjak semester 5. Dia tunjukkan ketaatan dan kepatuhannya pada sistem dan ketentuan yang berlaku soal UKT untuk anaknya di UINSA.

Foto: Sosok Bikin Torin Paling Kanan Pada Evaluasi PMB (Dok. Yudi, 13/11/2024)

Lalu, apa pelajaran hidup yang bisa dipetik dari kisah kemuliaan yang dipertunjukkan oleh pegawai bernama Bikin di atas? Saya mencatat dua pelajaran penting. Pertama, kemuliaan itu milik siapa saja. Tak hanya milik kelas atas. Juga tak identik dengan kelas bawah. Atau kelas apapun dalam struktur sosial ekonomi masyarakat. Serupa dengan itu, kemuliaan juga bisa berasal dari siapa saja. Tak ada dominasi kelas sosial tertentu. Tak ada klaim satu kelompok sosial ekonomi tertentu atas lainnya. Alih-alih, kemuliaan bisa datang dari kelompok sosial manapun. Juga, dari individu manapun.

Kalau dibandingkan dengan banyak yang lain, Cak Bikin bukanlah pegawai kelas atas. Mohon maaf dan mohon maaf, dia “hanyalah” pegawai dengan golongan jabatan dan pangkat Pengatur Tingkat I/IId. Kalau dibandingkan dengan pangkat kepegawaian lainnya, Pengatur Tingkat I/IId itu jauh dari kelas atas. Dalam struktur jabatan kepegawaian Aparatur Sipil Negara (ASN), bahkan, boleh dibilang berada di papan agak bawah. Tapi, dalam soal kemuliaan diri, kepribadiannya bisa-bisa mengalahkan mereka yang berada di papan atas dalam struktur jabatan kepegawaian. Dia loyal dengan penentuan besaran UKT yang telah diputuskan oleh sistem untuk putranya. Patuh. Tidak komplain. Tidak mengeluh hanya karena ketaatannya pada sistem.

Karena itu, kemuliaan Cak Bikin bisa menyenggol para pemangku jabatan publik. Jika saja pemangku jabatan publik tak mampu memberikan kemuliaan untuk hidup bersama, justru itu merupakan ironi besar kemanusiaan. Sebab, pemangku jabatan publik seharusnya justru bisa menebar kemuliaan lebih besar. Di tangannya harusnya lahir kebijakan publik yang berorientasi pada kemaslahatan bersama. Karena itu, kemuliaan yang datang dari pemangku jabatan publik menengah atas seharusnya lebih besar dari pada dari mereka yang tidak dalam posisi pemangku jabatan serupa. Semakin tinggi jabatan publik yang diemban, harusnya semakin luas pula kemaslahatan yang bisa dia tebar. Melalui sistem dan kebijakan publik yang lahir dari tangannya. 

Bukan saja pada kebijakan publik yang dilahirkan. Pemangku jabatan publik juga seharusnya bisa memberi teladan kemuliaan bagi pada umumnya orang. Melalui apa? Melalui sikap hidupnya yang selayaknya menunjukkan keluhuran budi. Melalui perilakunya yang juga sepatutnya mempersembahkan kemuliaan diri. Tentu bentuk konkretnya adalah kebajikan dalam praktik hidupnya di ruang publik. Wujudnya adalah ketaatan pada ketentuan yang sudah diberlakukan. Juga kepatuhannya pada sistem yang dibangun untuk kemaslahatan bersama. Tanpa ada keluhan yang tidak perlu. Tanpa ada komplain yang cenderung main-main. Atas marwah diri yang justru harus dijaga kemuliannya.

Maka, belajar dari anggitan “Kemuliaan Itu Di Bikin” di atas, sungguh ironi saat ada di antara sesama yang sedang mengemban amanah jabatan publik tak menggunakannya untuk menebar kemuliaan bersama. Yang bisa dilakukan oleh pegawai dengan pangkat dan golongan yang tidak tinggi seperti Cak Bikin hanyalah ketaatan pada ketentuan. Hanyalah kepatuhan pada aturan. Karena posisinya tidak dalam kuasa untuk menentukan aturan. Keberadaannya tidak pula dalam kapasitas untuk mengambil kebijakan publik. Maka, ketaatannya pada ketentuan dan atau kepatuhannya pada aturan sudah menunjukkan kemuliaan yang tinggi. Apalagi, tak ada ekspresi komplain yang diutarakan. Tak ada keluhan yang disampaikan. Di balik kepatutan dan ketaatannya pada ketentuan yang diberlakukan kepada semuanya secara sama. Termasuk kepada dirinya.

Tapi, kemuliaan pemangku jabatan publik justru harus lahir dari penunaian jabatan yang diembannya. Karena itulah, doktrin berikut penting dicamkan: jabatan itu ditunaikan, bukan dinikmati. Aku sendiri pernah mengupas tuntas doktrin ini dalam tulisan “Jabatan Itu Bukan Untuk Dinikmati” (lihat URL: https://uinsa.ac.id/blog/jabatan-itu-bukan-untuk-dinikmati). Doktrin ini sejatinya membekali diri pemangku jabatan publik dengan nilai dasar bahwa jabatan itu jangan membuat diri hanya terperangkap pada praktik penikmatan saja. Itu jebakan yang meninabobokkan jabatan. Hingga kinerja pun tak pernah ada.

Jika praktik semacam itu terjadi, maka sejatinya pemangku jabatan publik yang demikian tak pernah menjadikan jabatan sebagai instrumen penebaran kemuliaan dalam bentuk kemaslahatan bersama. Alih-alih, dia terperangkap sebaliknya: jabatan itu dinikmati, bukan ditunaikan. Padahal, jabatan itu harus berbalut dan berujung pada penunaian kemuliaan bersama. Maka, seharusnya pemangku jabatan yang demikian itu harus malu kepada sosok mulia yang bernama Cak Bikin. Dia bukan pejabat. Bukan pemangku kewenangan publik dengan kepangkatan menengah, apalagi tinggi. Tapi, dalam kasus pembayaran UKT di atas, dia telah mengajarkan kemuliaan hidup melalui marwah diri yang harus dijaga secara kuat. 

Organisasi apapun membutuhkan pengemban amanah yang berkinerja. Apalagi, amanah itu adalah amanah publik. Tentu, berkinerja adalah bagian dari tuntunan umum yang dikenakan pada pengemban amanah publik. Indikator kepribadian pengemban amanah yang demikian adalah bahwa amanah jabatan ditunaikan dengan optimal. Kata kuncinya, ditunaikan. Bukan dinikmati. Maka, bekerja dengan target adalah cara yang efektif untuk mengukur penunaian prinsip jabatan itu ditunaikan, bukan dinikmati. Tanpa target, maka amanah tak akan pernah sampai pada puncak keberhasilannya.

Pelajaran tentang kemuliaan itu akhirnya datang dari Cak Bikin. Dia bukanlah pengembang amanah publik yang tinggi. Dia hanya pegawai biasa dengan golongan jabatan dan pangkat Pengatur Tingkat I/IId. Tapi, dia telah memberikan teladan kemuliaan melalui praktik penerimaannya yang loyal pada penentuan keputusan besaran UKT yang harus dibayar untuk anaknya yang kuliah di bidang keilmuan sains dan teknologi. Tentu besaran UKT yang mencapai angka 7 juta terhitung besar bagi pegawai dengan golongan II seperti dia. Tapi semua itu dia lakukan dengan tetap berkomitmen dalam kepatuhan yang tinggi pada pembayaran UKT sebesar itu. 

Kedua, ketaatan dan kepatuhan pada sistem adalah awal keteraturan hidup bersama. Dan, itu adalah bagian dari kemuliaan pada ranah hidup bersama di ruang publik. Sebab, bagaimanapun, sistem itu dibuat memang untuk ditaati. Bukan untuk diselisihi. Apalagi dikhianati. Karena itu, saat kepatuhan dipertunjukkan kepada sistem yang telah diciptakan, maka tentu itu sebuah kemuliaan tersendiri. Karena keteraturan akan segera terwujud dalam hidup bersama. Melalui kepatuhan pribadi kepada ketentuan bersama yang diwujudkan ke dalam sebuah sistem.

Menariknya, dalam kasus “Kemuliaan Itu Di Bikin” di atas, ketaatan dan kepatuhan pada sistem itu ternyata justru diteladankan oleh pegawai dalam jabatan yang tidak harus tinggi. Dan itu membuktikan pula bahwa kemuliaan bisa datang dari posisi mana saja. Termasuk dari bawah sekalipun. Cak Bikin telah mengajarkan bagaimana kepatuhan pada ketentuan umum yang sudah diwujudkan ke dalam sistem bisa diawali dari diri sendiri. Melalui ketaatan pembayaran UKT sesuai ketentuan yang sudah diputuskan oleh sistem. Dia tunjukkan ketaatan dan kepatuhan itu walaupun dia tak punya kuasa tinggi sebagai pemegang amanah publik, khususnya dalam urusan manajemen kampus.

Apalagi, soal UKT adalah urusan penunaian prinsip keadilan dalam pembiayaan perkuliahan. Tentu, sistem yang dibangun untuk mendasari penentuan besaran UKT adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan umum. Sebab, sistem UKT tak sama dengan SPP (sumbangan pengembangan pendidikan). Besaran UKT sangat variatif bergantung di antaranya kekuatan ekonomi keluarga mahasiswa dan biaya operasional perkuliahan program studi. Adapun besaran SPP sama. Untuk semua mahasiswa program studi serupa. Maka, ketaatan dan kepatuhan pada ketentuan besaran UKT, seperti yang ditunjukkan oleh Cak Bikin, merupakan awal dari terbentuknya keteraturan dalam kehidupan publik yang telah diupayakan melalui sistem.

Pembayaran besaran UKT hanyalah contoh kecil. Dan kepatuhan serta ketaatan untuk memenuhinya adalah praktik yang juga bisa dikategorikan kecil. Tapi, kala praktik itu dilakukan oleh figur dengan jabatan yang tidak tergolong menengah, apalagi tinggi, maka praktik kepatuhan itu menjadi bukti kemuliaan tersendiri. Karena itu, kemuliaan seperti yang ditunjukkan Cak Bikin bisa menjadi pelajaran untuk diperluas ke kasus hidup yang lebih besar. Berangkat dari “Kemuliaan Itu Di Bikin”, kita pun bisa belajar untuk dapat membuat nilai kemuliaan serba mungkin. Agar hidup tak miskin kemuliaan. Apalagi pada mereka yang memegang amanah publik.