Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Jabatan itu ditunaikan, bukan dinikmati. Lalu apa bedanya? Kalau ditunaikan, berarti jabatan akan segera disadari sebagai amanah dan tanggung jawab yang harus dipegang teguh serta dilaksanakan sebaik-baiknya. Tapi jika dinikmati, maka jabatan itu akan dianggap sebagai hadiah. Kalau jabatan dianggap sebagai amanah, maka langkah tidak berkinerja baik atas amanah adalah bentuk pengkhianatan atas jabatan itu. Tapi kalau dipandang sebagai hadiah, maka yang penting dari jabatan itu bukan melaksanakannya, melainkan mengambil manfaatnya saja.
Lalu apa yang salah jika jabatan itu dinikmati? Bukankah melekat pada jabatan itu fasilitas? Bukankah menempel pada jabatan itu inventaris kantor? Nah, justeru di sinilah titik masalahnya. Sebab, pertanyaannya bisa dibalik begini: Apakah seseorang akan mendapatkan fasilitas dan inventaris kantor jika dia tidak mendapatkan atau diamanahi jabatan? Karena itu, saat jabatan identik dengan fasilitas dan inventaris kantor, maka jabatan menjadi faktor pembeda antara mereka yang mengembannya dan mereka yang tidak mengembannya. Itu karena, yang tidak mengemban jabatan tidak akan mendapatkan fasilitas dan inventaris kantor itu.
Untuk itulah, jabatan itu bukan untuk dinikmati, melainkan ditunaikan. Penunaian jabatan itu semakin menjadi sebuah kewajiban besar saat jabatan itu hadir dalam konteks tantangan waktu dan lokus yang tersendiri. Maka, tidak boleh main-main dengan jabatan. Tidak boleh asal business as usual, kata orang Barat. Tidak boleh asal ngglundung semprong, kata orang Jawa. Atau, wis dilakoni sak ono’e wae (dijalankan sekadarnya saja). Itu tidak sepatutnya dilakukan. Itu prinsip dasar amanah yang tidak boleh dianggap sepele. Semua kita wajib untuk menjadikannya sebagai nilai dasar dalam merespon secara sungguh-sungguh amanah jabatan yang diberikan kepada kita.
Dampak dalam merespon amanah jabatan sungguh besar. Menganggap amanah jabatan sebagai business as usual akan membuat pelaksanaan atasnya cenderung sebagai rutinitas biasa. Memandang pelaksanaan amanah jabatan secara ngglundung semprong akan menyebabkan ketidakseriusan dalam penunaiannya. Juga, menjalani amanah jabatan dengan cara wis dilakoni sak ono’e wae akan menjadikan cara kerja pengampuhnya biasa-biasa saja. Jadi, persepsi atas jabatan sebagai rutinitas biasa, praktik ketidakseriusan dalam penunaian amanah pekerjaan, serta bahkan cara kerja yang biasa-biasa saja adalah dampak ikutan saja dari respon yang salah atas amanah jabatan. Dan itu bisa terjadi pada amanah jabatan dalam bentuk dan level apa pun dari sebuah kerja profesional.
Dan ujung dari semuanya, akan lahir kinerja yang biasa-biasa pula. Tentu, kita semua tidak menginginkan hal itu terjadi pada kita. Pula, tentu kita tidak berharap hal itu menimpa amanah jabatan apapun yang diberikan kepada masing-masing kita. Apalagi bagi kantor atau instansi tempat kerja. Tentu tak satupun kantor atau instansi menginginkan pegawai dan atau pejabatnya berkinerja biasa-biasa. Tak satupun. Karena semua menginginkan kerja profesional dengan capaian dan kinerja yang maksimal. Kinerja biasa-biasa saja, apalagi buruk, tak akan membantu performa perusahaan, kantor, atau tempat kerja yang mempekerjakan pegawai dan atau pejabatnya. Bahkan, praktik itu bukan hanya tidak membantu, melainkan justeru merugikan kepentingan besar perusahaan, kantor, atau tempat kerja yang selalu dituntut dengan target capaian tinggi.
Padahal, semakin tinggi jabatan, semakin besar pula tanggung jawabnya. Semakin besar amanah pekerjaan yang diberikan, semakin tinggi pula resiko yang harus ditanggung. Karena itulah, instansi atau tempat kerja manapun selalu mengambil prinsip ini: semakin tinggi jabatan, fasilitas yang diberikan semakin banyak. Atau, semakin besar tanggung jawab, semakin besar pula sarana kemudahan yang diterimakan. Juga, semakin tinggi jabatan yang diamanahkan, semakin besar pula insentif yang disediakan. Termasuk soal gaji dan tunjangan yang muncul karena amanah jabatan itu. Itu semua kebijakan yang pasti disiapkan oleh instansi atau tempat kerja yang memberikan amanah jabatan kepada pegawai dan atau pejabatnya sesuai dengan level jabatan dan tanggung jawabnya. Kepentingannya hanya satu: agar kinerjanya bisa maksimal bahkan melebihi tugas pokok dan fungsi jabatannya. Di sinilah, akan muncul ironi yang besar jika fasilitas tinggi yang diberikan atas jabatan tinggi yang diamanahkan tidak diikuti oleh, dan dibayar lunas dengan, kinerja yang maksimal.
Mengapa amanah jabatan harus ditunaikan dan dibayar lunas dengan kinerja yang maksimal? Alasannya sederhana sekali. Kinerja rendah itu bukan bagian dari profesionalisme yang harus dijunjung oleh pemegang amanah jabatan apapun. Juga, performa buruk itu bukan bagian dan semangat dasar agama yang selalu mengajarkan nilai maksimal alias tidak biasa-biasa saja dalam berkinerja di bidang apapun. Dalam urusan yang sangat privat [seperti ibadah shalat dan puasa] sekalipun saja agama mendorong penganutnya untuk melaksanakan kewajiban ibadah itu dengan kualitas yang sangat baik, apalagi pada urusan yang terkait langsung dengan urusan publik seperti di tempat kerja. Semua dari kita memiliki kewajiban untuk menjadi pribadi yang bermutu dalam urusan privat dan publik, termasuk dalam urusan pekerjaan profesional yang penunaian atau kinerjanya tidak seharusnya biasa-biasa saja.
Untuk menunjang penunaian jabatan dengan cara yang tidak biasa-biasa saja di atas, energi berlebih sangat penting untuk dicurahkan. Bukan saja penguasaan kognitif dan praktis atas tugas pokok dan fungsi jabatan yang diwajibkan dimiliki, melainkan bahkan semua yang dibutuhkan untuk lahirnya kecakapan dalam menunaikan jabatan seperti itu menjadi kewajiban jabatan pula. Itulah yang diajarkan oleh kaedah fiqhiyyah bagi kita semua individu Muslim. Begini bunyi kaedah itu: ma la yatimmu al-wajib bihi fa huwa wajib. Memang kaedah yang artinya “perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga wajib” ini awalnya memang merupakan maksim legal yang berlaku pada bidang kajian hukum Islam. Namun, sebetulnya, sebagai Muslim yang baik, masing-masing kita penting menjadikannya pula sebagai inspirasi bagi penunaian amanah jabatan publik.
Bentuk konkret atas inspirasi dimaksud adalah bahwa apa yang membuat sebuah amanah jabatan itu menjadi tidak sempurna, maka hukumnya adalah wajib pula dilakukan. Dalam konteks amanah jabatan ini, apa yang bisa membuat sebuah jabatan tidak bisa atau terhalang untuk tertunaikan dengan baik dan atau sempurna, maka memiliki atau merengkuh atau melakukannya juga berhukum wajib. Di sinilah kecakapan dalam menjalankan amanah jabatan publik itu juga menjadi ajaran agama yang harus ditunaikan, dan penunaiannya bisa melampaui urusan agama hingga ke amanah jabatan publik.
Ilustrasi dari aras pemikiran mengenai penunaian amanah jabatan publik di atas sederhana sekali. Sebagai contoh, seseorang yang sedang mengemban jabatan sebagai manajer cabang sebuah perusahaan, maka untuk bisa sempurna dalam menjalankan tugas jabatannya, dia harus cakap dalam urusan teknis pada bidang-bidang tertentu yang menjadi cakupan kerja perusahaan di bawah kewenangannya, seperti produksi, keuangan, penjualan dan bahkan kepegawaian sekalipun. Tidak boleh bagi manajer cabang yang baik untuk mengatakan: “Jangan khawatir, saya punya manajer produksi yang baik.” Atau menyuarakan begini: “Tidak usah gelisah, karena saya memiliki manajer penjualan yang handal.”
Sebab, kalau pemahaman, pernyataan, dan praktik seperti di atas dimiliki oleh seorang manajer cabang, maka itu awal dari kebangkrutan kerja profesional kantornya. Ada dua alasan yang bisa dijelaskan. Pertama, pemahaman, pernyataan, dan praktik itu menjadi pertanda bahwa dia tidak menguasai tugas pokok dan fungsi jabatan yang diembannya, termasuk tanggung jawab atas bidang-bidang pekerjaan yang ada di bawah kewenangannya. Tentu sangat ironis jika jabatan manajer cabang, dalam contoh yang diuraikan sebelumnya, tidak menguasai kecakapan profesional pada tugas pokok dan fungsinya serta bidang-bidang pekerjaan yang ada di dalam pengelolaanya. Padahal jabatan manajer cabang itu disediakan untuk melakukan koordinasi atas jabatan teknis di bawahnya, mulai dari manajer produksi hingga manajer marketing, seperti disitir di atas.
Kedua, menyusul minimnya penguasaan atas tugas pokok dan fungsi jabatan yang diembannya itu, pengemban amanah jabatan seperti manajer cabang yang demikian ini akan sangat bergantung pada struktur di bawahnya. Dia tidak akan memiliki kemandirian kognitif dan praktis dalam menjalankan amanah jabatan yang diembannya, karena dia selalu bergantung pada bawahannya. Bahkan, dia bisa kehilangan kemerdekaan dan atau orientasi dalam mengambil kebijakan (purposeful leadership), termasuk dalam memberikan petunjuk teknis ke struktur di bawahnya, karena dia tidak ditopang dengan kecakapan manajerial dalam bentuk basis pengetahuan dan keterampilan teknis yang dibutuhkan. Dalam kasus manajer cabang di atas, semua itu berawal dari tiadanya kecakapan dalam penunaian jabatan yang disandangnya pada posisi manajer cabang yang seharusnya menuntut penguasaan yang baik atas bidang-bidang yang menjadi kewenangan pengelolaanya, mulai dari manajer produksi hingga manajer marketing, seperti disinggung sebelumnya.
Dengan kondisi diri seperti itu, maka dalam bekerja, pemegang amanah jabatan seperti yang dicirikan di atas akan cenderung mengandalkan keberadaan “anak buah”. Sebaliknya, dia tidak akan bisa menguasai pekerjaannya sendiri. Itu, lebih-lebih, karena dia sangat bergantung pada mereka yang berada dalam struktur jabatan di bawahnya. Akhirnya, semua dalam kepemimpinannya bergerak dengan prinsip ABS. Ya, kepanjangan dari Asal Bapak Senang. Akhirnya, sang manajer pun akan kehilangan semangat sebagai juara (the spirit of championship). Dia akan kehilangan energi untuk melakukan banyak kerja inisiatif dan inovatif. Padahal, inisiatif adalah awal dari kinerja. Dan, sukses itu sendiri butuh inisiatif yang besar (success needs initiatives), karena inisiatif itu bagian dari proses dan persiapan, padahal sukses itu sendiri butuh proses (success needs a process) dan butuh persiapan (success needs preparation). Lalu, inovasi sebagai ikhtiar baru hanya lanjutan saja dari adanya inisiatif yang mengantarkannya kepada kesuksesan.
Mengapa beragam kecakapan di atas penting dimiliki oleh seorang manajer cabang (sebagai contoh pengemban amanah jabatan)? Itu tak lepas dari sistem karir dalam pekerjaan dan jabatan profesional. Dalam sistem karir yang baik, ada penjenjangan yang terukur dalam jabatan. Seseorang baru bisa menjabat posisi manajer cabang, saat dia sudah pernah menjalani tugas jabatan sebelumnya sebagai manajer satu level di bawahnya yang membawahi bidang tertentu, seperti manajer produksi, marketing, penjualan, atau kepegawaian. Jabatan satu level di bawahnya itu penting untuk memberikan pengalaman yang mapan di level itu sebelum dia naik ke jabatan yang lebih tinggi. Nah, pengalaman jabatan satu level di bawahnya ini penting pula sebagai titik kecakapan awal yang dibutuhkan untuk penunaian secara maksimal jabatan di atasnya.
Semua uraian mengenai prinsip jabatan di atas berlaku pula bagi penunaian amanah jabatan di perguruan tinggi. Semua kaedah dan rasionalisasinya sama. Semakin tinggi amanah jabatan, dampak ikutannya juga muncul, mulai dari semakin besarnya fasilitas dan atau inventaris kantor yang disediakan hingga semakin tingginya target kinerja yang dituntutkan. Karena itu, menjadi pimpinan perguruan tinggi, tidak boleh biasa-biasa saja. Apapun jabatan yang diamanahkan, kinerjanya juga tidak boleh apa adanya. Tidak sepatutnya menjadikan jabatan sebagai rutinitas biasa yang dilakukan tanpa capaian kinerja yang maksimal. Itu karena di dalam jabatan itu, banyak uang kantor yang mengalir. Banyak fasilitas tempat kerja yang diberikan. Dan tentu banyak harapan yang ditambatkan pada amanah jabatan itu. Bekerja apa adanya dan atau berkinerja biasa-biasa saja hanya mengkhianati profesionalisme dan sekaligus tuntunan agama.