Berita

Surabaya – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya menyelenggarakan kuliah tamu dengan pembicara internasional, Prof. Cyril Hovorun. Dalam kesempatan berharga pada Selasa, 24 September 2024 ini, profesor asal Ukraina yang juga mengajar di berbagai universitas terkemuka seperti Gregorian University of Rome dan universitas-universitas di Swedia dan Los Angeles, berbicara mengenai interaksi kompleks antara agama, politik, dan legitimasi kekuasaan di berbagai belahan dunia.

Salah satu poin penting yang dibahas oleh Prof. Hovorun adalah bagaimana agama sering kali dijadikan alat legitimasi politik oleh para pemimpin, baik di masa lalu maupun saat ini. Beliau mencontohkan bagaimana di zaman Kekaisaran Romawi, para pemimpin dipuja layaknya dewa dan menggunakannya sebagai simbol kekuasaan. Tradisi ini, menurut Prof. Hovorun, dihidupkan kembali oleh tokoh-tokoh politik modern seperti Mussolini di Italia pada 1930-an dan bahkan terlihat dalam kultus yang berkembang di sekitar Presiden Vladimir Putin di Rusia.

Prof. Hovorun juga menjelaskan bahwa fenomena agama politik ini tidak terbatas pada Eropa. Di China kuno, misalnya, Kaisar dipandang sebagai mediator antara langit dan bumi, sebuah bentuk legitimasi spiritual yang digunakan untuk memperkuat kekuasaan politik.

Dalam konteks kontemporer, Prof. Hovorun menyoroti bagaimana agama digunakan dalam perang di Eropa, terutama terkait konflik di Ukraina. Beliau menjelaskan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin menggunakan narasi agama untuk membenarkan invasi ke Ukraina, meskipun tindakan tersebut merusak banyak situs keagamaan dan menyebabkan kerusakan besar pada gereja dan masjid di wilayah tersebut. Prof. Hovorun menekankan bahwa manipulasi agama untuk tujuan politik, seperti yang dilakukan dalam invasi ini, sangat berbahaya bagi agama itu sendiri dan masyarakat secara keseluruhan.

Selain pembahasan mengenai hubungan antara agama dan politik, Prof. Hovorun dalam kuliah tamu ini juga menekankan pentingnya pendidikan humaniora dan studi agama di universitas. Menurutnya, banyak kesalahpahaman, termasuk Islamofobia, muncul dari kurangnya pemahaman tentang agama dan sejarahnya. Beliau mengingatkan bahwa tanpa pengetahuan yang memadai tentang humaniora dan spiritualitas, masyarakat akan terus terjebak dalam narasi politik yang memanipulasi agama.

Kuliah tamu ini merupakan kesempatan berharga bagi civitas akademika FISIP UINSA untuk memahami dinamika antara agama dan politik di berbagai negara, serta tantangan yang dihadapi dalam menjaga batas antara spiritualitas dan kekuasaan politik. Prof. Hovorun menutup kuliah tamu ini dengan pesan bahwa agama, jika dipolitisasi, dapat menjadi sumber konflik yang merusak, bukan hanya bagi negara, tetapi juga bagi esensi agama itu sendiri. (WD)