Aniek Nurhayati
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya
“……I do sense the power of film, in that movies have the ability to literally change people’s minds. That’s pretty powerful stuff when you consider that.”
Kenyataannya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempertimbangkan kekuatan film sebagaimana diutarakan aktor Nicolas Cage, dan perwujudannya dapat dilihat di Film “Kejarlah Janji“.
Di film ini, KPU bekerjasama dengan produser dan sutradara, Garin Nugroho, yang dikenal sebagai produser film berkualitas di Indonesia. Melalui film ini KPU menjelaskan bagaimana lembaga penyelenggara pemilihan umum berusaha melakukan pendidikan politik atau meminjam bahasa Garin sebagai civic education.
Momen Pemilu 2024 yang tinggal beberapa bulan saja, menjadi momen yang krusial untuk mewujudkan pemilu yang legitimated sehingga bisa menghasilkan pemimpin dan legislator yang membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Film ini telah diputar di beberapa tempat, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel bekerjasama dengan KPU akan Nonton Bareng (Nobar) fim ini pada hari Sabtu 28 November 2023 di Ampitheater Kampus Gununganyar.
Nobar ‘Kejarlah Janji” adalah rangkaian sosialisasi KPU goes to Campus”. Semingguan yang lalu, 16 Oktober, saya “beruntung” ikut nobar film ini melalui undangan dari KPU untuk Fisip (Dekan Fisip lebih tepatnya), di XXI Ciputra World pada saat premiere film di Surabaya. Karena premiere, saya menonton film ini bersama dengan perwakilan dari KPU, perguruan tinggi, parpol, bawaslu, tokoh masyarakat yang diundang, dan tentu saja dengan sang sutradara dan prosuder Garin Nugroho, beserta pemeran utama Cut Mini dan pemeran film lainnya.
Ada dua momen elektoral yang menjadi setting untuk pesan moral KPU, yaitu pemilihan kepala desa (pilkades) dan pemilu legislatif. Walaupun momen elektoral di level desa bukan wilayah KPU, pilihan atas pilkades merupakan “ide cerdas” dari Garin, karena semua momen yang mencederai politik elektoral di level desa yaitu pilkades, juga terjadi di level di atasnya (pilkada dan pilpres), seperti money politics, brokerage, klientelisme, maupun politik dinasti. Politik transaksional antara pilkades dan pemilu legislatif juga turut disorot di film ini, dan semua cedera elektoral tersebut dikemas secara rapi untuk memberi pendidikan politik kepada penonton. Pilkades sebagai level elektoral yang paling kecil yang di banyak kejadian sarat dengan persaingan antar keluarga, balas dendam karena faktor kekalahan, serta gossiping politics, memberi efek dramatis di film ini.
Everyday Politics dan Politik Elektoral
“Politics, when engaged in by the broad citizenry, is the way a society as a whole negotiates, argues about, and understands its past and creates its present and its future.” Kutipan yang diambil dari buku Boyte (2004) Everyday Politics, Reconnecting Citizens and Public Life, seolah mengingatkan bahwa kehidupan keseharian warga sesungguhnya terhubung erat dengan politik. Dan, di film ini, cedera elektoral di pemilu dan pilkades ditunjukkan dalam everyday politics, di mana aktor yang merepresentasikan pemerintah desa, ordinary citizen, dan partai politik berinteraksi satu dengan lainnya.
Everyday politics ditunjukkan dengan peran ordinary citizen yang lebih ditonjolkan kerena memang film ini ditujukan untuk pendidikan politik warga.
Di film ini, politik elektoral ordinary citizen direpresentasikan secara menonjol oleh kelompok perempuan, dan peran utama film ini memang ada di sosok seorang ibu, yaitu janda dengan tiga orang anak, dan yang juga cukup menarik dan menghibur adalah tiga perempuan selalu muncul bersama di film ini yang berperan mirip dengan punakawan dalam cerita pewayangan, yang memiliki pandangan luas, pengamatan yang tajam, cerdik, dan jenaka. Kelompok lainnya yang mewarnai film ini adalah generasi milenial yang ditunjukkan oleh 3 anak dari pemeran utama (diperankan Cut Mini) yang merepresentasikan tipikal milenial yang idealis, pragmatis dan apatis. Kelompok lainnya adalah warga kelas sosial menengah bawah dengan beragam karakter.
Media sosial (medsos) dengan peran negatif dan positif dalam hiruk-pikuk elektoral di desa, diperlihatkan dengan dramatis di film ini. Dalam everyday politics, warga pedesaan telah mengakrabi medsos yang ditunjukkan dengan bagaimana warga menggunakan medsos untuk mensosialisasikan calon, melakukan hate speech sampai dengan fitnah. Medsos juga memiliki fungsi sebagai media untuk gossiping politics.
Dalam Gossip and the Everyday Production of Politics, Besnier (2009) gossip memungkinkan terjadinya konsekuensi politik, yaitu dapat memobilisasi dukungan terhadap agen-agen tertentu, meratakan struktur kesenjangan, dan membatasi faksionalisme. Konsekuensi sosial dari gosip bisa berupa ejekan dan pengucilan. Karenanya, gossiping politics selalu menyertai dunia keseharian politik electoral. Selain di arena faktual, gossiping politics juga menjadi bagian yang tak terpisahkan di arena firtual, yaitu di medsos.
Brokerage dan money politics adalah momen yang sangat dipesankan di film ini sebagai cedera electoral yang harus dihindari oleh pemilih. Melalui adegan penolakan kepala desa atas atas pamannya yang membawa proposal pembangunan pabrik yang disinyalir akan mencemari sungai, film ini juga berpesan utuk menolak klientelisme, di samping politik dinasti yang juga disorot pula di film ini meski tidak dengan porsi yang banyak. Pesan agama untuk menjaga pemilu dan pilkades yang bersih dikemas secara halus oleh pemeran utama tentang pentingnya dalam mengarungi kehidupan untuk mengedepankan jiwa kenabian, dan menghindari jiwa kebinatangan.
Walhasil, film bergenre komedi ini telah berhasil memotret dengan baik fenomena politik elektoral yang studinya telah banyak dilakukan oleh para Indonesianis dan akademisi politik kita, sekaligus menitipkan pesan kepada penontonnya untuk menjadi pemilih yang baik, dan bagi aktor politiknya dipesankan agar menghindari cara-cara yang tidak fair dalam pemenangan. Film ini sekaligus menjadi tantangan bagi sineas di Indonesia untuk melihat bagaimana ordinary citizen mengekspresikan politik dalam dunia keseharian mereka, alih-alih film politik yang terus terfokus pada tokoh-tokoh dan elit politik.