JANGAN KEHILANGAN NILAI
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Menyesal. Syok. Sedih. Nyesek. Terharu. Tertegun. Terkenang. Semua berkecamuk jadi satu. Bercampur seru. Mengaduk-aduk perasaan. Mengiris hati terdalam. Mengoyak cinta kasih yang menghujam. Lalu karena itu pula, ingatan selalu menguat. Memori selalu melekat. Tak pernah lupa untuk mengingat. Itulah kira-kira yang dihadapi oleh setiap kita. Saat orang yang kita hormati harus pergi selamanya usai menitipkan pesan mulia. Saat orang yang kita junjung tinggi menghadap ilahi tak lama setelah memberi nasehat hidup kepada kita. Pesan dan nasehat itu lalu menjadi ruh tambahan untuk hidup dalam kebajikan selamanya.
Itulah yang dirasakan rekan saya. Guru Besar UIN Mataram asalnya. Namanya Prof. Dr. Tgh. Fahrurrozi, MA. Seorang tuan guru muda. Ilustrasi hati di atas kuat dirasa. Karena tak berselang lama. Antara menerima pesan mulia dari gurunya dan berpisah dengannya selamanya. Tak pernah dia membayangkannya. Begitu cepatnya waktu itu berlalu di antara mereka. Dipisahkan oleh maut yang menghampiri gurunya. Tak disangka. Tak dikira. Tapi dampaknya selalu membuat ingatannya selalu tersapa. Selamanya. Dengan begitu setianya. Menempel dengan kuatnya. Menjadi pesan mulia. Dari nasehat terakhir yang diterima.
“Jaga integritas. Sambung terus jaringan keilmuan dengan guru-gurumu.” Itulah nasehat terakhir Prof. Azyumardi Azra. Diterima rekan saya yang namanya kusebut sebelumnya. Hingga hatinya terkadang tak kuasa mengenangnya. Kebetulan rekan saya itu sebelumnya menempuh pendidikan S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pernah menjadi muridnya. Dan nasehat itu adalah kalimat terakhir yang dia terima. Sebelum ilmuwan Muslim ternama Indonesia ini meninggal dunia. Karena sakit yang dideritanya. Dan rekan saya itu mengingat kuat nasehat yanag diterimanya. Saking kuatnya ingatan atas nasehat itu, dia tuliskan kembali pesan mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu ke nomor WhatsApp saya.
(Koleksi pribadi Prof. Dr. Tgh. Fahrurrozi, MA)
Kuterima cerita itu di Mataram yang penuh pesona. Saat kuhendak mengisi kuliah tamu di sana. Selasa 17 Oktober 2023. Di pascasarjana UIN Mataram tempatnya bekerja. Rekanku itu mengisahkan kembali pesan terakhir yang dia terima dari gurunya itu. Dengan suara cenderung gemetar, dia ceritakan kembali nasehat itu. Kutangkap dia menyimpan haru penuh taburan makna. Kutahu dia sedang mengungkapkan hati sedihnya. Karena tak menyangka begitu cepat gurunya meninggalkannya. Kumengerti dia sedang ingin berbagi kemuliaan di balik kesedihan mendalamnya. Kemuliaan itu justeru berasal dari lisan gurunya. Yang sempat menasehatinya walau tak lama seusai itu menghadap ke haribaan-Nya.
Akupun terhening saat mendapat cerita itu. Termenung. Ikut merasakan dalamnya kesedihan rekanku itu. Ditinggal selamanya oleh gurunya. Tak bisa lagi bersua. Tak bisa lagi berkonsultasi ria. Tak pula bisa lagi bertanya. Kecuali mengenang kembali ajarannya. Merefleksikan kembali pesan mulianya. Dan dalam kaitan itu, kutangkap bagaimana dahsyatnya pesan sang guru kepadanya. Aku saja yang tidak menerima langsung pesan itu juga bisa merasakannya. Isinya penuh kemuliaan. Maknanya sangat dalam. Energi positifnya sangat besar. Bagi kita yang masih menjalani hidup. Apalagi di tengah situasi serba cepat yang tak pernah meredup.
Sobat,
Mengapa Prof Azyumardi Azra menitipkan pesan “jagalah integritas”? Integritas memang awalnya urusan kepribadian. Dan itu tentu perkara pribadi individu. Tapi, Huberts dalam karya ilmiahnya berjudul Integrity: Why it is and why it is important pada jurnal Public Integrity (2018:1-15) mengingatkan integritas sejatinya melampaui batas pribadi hingga menyentuh ruang tata kelola publik. Dia maknai integritas dalam nafas yang sama dengan etika. Pengambilan kebijakan adalah ruang eksperimentasinya. Baik integritas maupun etika, dalam pandangannya, memiliki signifikansi yang bisa menjadi titik balik empirik (empirical turn) bagi tata kelola ruang publik yang dialami bersama.
Mengapa lalu integritas begitu penting dinasehatkan? Dan mengapa pula Prof Azyumardi Azra berpesan ke rekan saya untuk menjaga integritas dimaksud? Rekan saya saat menerima pesan itu sudah meraih jabatan akademik tertinggi sebagai guru besar utama. Dari keilmuan yang dikuasainya. Ilmu Dakwah dan Komunikasi yang ditekuni sejak lama. Dia juga sudah meraih jabatan di kampus yang dicinta. Sebagai direktur pascarsajana. Dekan fakultas sudah pula pernah direngkuhnya. Baik jabatan akademik-keilmuan maupun struktur kepemimpinan sudah pernah dijalaninya semua. Maka, pesan mulia dari Prof Azyumardi Azra tentu punya makna bagi rekan saya. Apalagi diterimanya saat sedang dalam posisi menjabat dalam kewenangan publik di kampus yang dicintainya.
Karena itu, saat pesan itu diberikan, bukanlah tanpa maksud jika Prof Azyumardi Azra memberi nasehat soal integritas itu. Dari sisi keilmuan, rekan saya sudah mentok dalam jabatan akademik di kampus. Tak ada lagi jabatan fungsional akademik di atas guru besar. Karena itu, gelar guru besar adalah simbol marwah keilmuan. Apalagi, jabatan utama di kampus yang diembannya menandai bahwa puncak karir keilmuan sebagai guru besar bertemu dengan jabatan utama di kampus. Saat seperti itu, maka integritas menjadi kebutuhan dan sekaligus tuntutan penting untuk eksperimentasi tata nilai itu dalam kehidupan.
Pesan Prof Azyumardi Azra tentang menjaga integritas di atas terasa semakin menemukan titik pentingnya saat jabatan publik diemban oleh pemangku puncak marwah akademik itu. Sebab, publik akan segera bertanya, apa bedanya jabatan publik saat diemban oleh pemegang gelar akademik tinggi dan selainnya. Karena itu, Huberts dalam karya ilmiahnya di atas mengingatkan kita semua tentang posisi penting integritas sebagai penanda kualitas moral (moral quality). Ukurannya adalah perilaku kerja. Bisa dalam dimensi politik. Bisa pula birokrasi. Atau lainnya pada kewenangan publik. Di situ, konsistensi antara kata dan perbuatan menjadi tuntutan. Dan bukan sebaliknya. Kondisi sebaliknya ini, meminajm ungkapan Huberts (2018:3-4), di antaranya berupa changing viewpoint every day or saying one thing and doing something else. Mengubah sudut pandang tiap hari. Dengan mengatakan sesuatu dan mempraktikkan yang lain.
Makna inferensial di balik argumen Huberts di atas adalah bahwa integritas bukan semata soal gelar akademik. Bahkan, integritas tak berkaitan dengan jenjang akademik yang hanya berlaku untuk satu dan tidak lainnya. Melainkan berlaku merata-unversal. Juga, integritas bukan soal usia. Tak dibatasi oleh umur. Melainkan berlaku untuk segala jenjang usia. Karena tua atau muda itu bisa saja hanya soal hitungan angka lama hidup. Integritas bergerak lintas jenjang akademik dan usia. Titik tekannya pada bagaimana integritas bisa berkontribusi pada pengelolaan dan atau tata kelola ruang public. Oleh siapapun mereka. Karena itu, mereka yang sudah merengkuh jabatan fungsional akademik yang tinggi tentu memiliki tanggung jawab yang lebih dalam urusan menjaga integritas dibanding selainnya. Itu akibat beban dan tanggung jawab moral keilmuan yang diembannya.
Sobat,
Kekuatan moral tidak boleh runtuh oleh kepentingan sesaat. Apapun ragam dan bentuknya. Sebab, kampus adalah moral. Moral adalah kampus. Integritas adalah produk dari kekuatan moral itu. Tak salah lalu kampus disebut sebagai tempat penyemaian integritas. Tak keliru kampus dinilai menjadi lahan penumbuhan integritas. Juga tak ceroboh saat kampus dipandang penjaga moral. Maka, semua warga kampus memiliki beban dan tugas yang sama dalam menjaga moral di ruang publik. Bukan sekadar di ruang pribadi. Salehnya ruang privat tak berarti apa-apa jika ruang publiknya bopeng. Baiknya kehidupan pribadi tak berkontribusi apa-apa pada penciptaan peradaban saat kehidupan publiknya nirkesalahen.
Satunya kata dan perbuatan menjadi penanda integritas. Bahkan, tak adanya kontradiksi antara satu kata dan kata lainnya menjadi pelengkap ukuran integritas itu. Juga, sinkronnya perilaku satu dan perilaku lainnya menyempurnakan indikator dari integritas itu. Itu karena satunya antar kata, atau antara kata dan perbuatan, atau antara perbuatan satu dan lainnya akan mengantarkan seseorang untuk layak menjadi role model. Menjadi teladan baik. Bagi kaumnya. Apalagi, kaum kebanyakan tidak akan melihat teori di balik kata dan perbuatan. Yang mereka lihat hanyalah perwujudan konkret melalui tindakan nyata di ruang publik yang dikelola.
Mengapa dalam nasehatnya di atas Prof Azyumardi Azra melengkapi pesan penjagaan integritas dengan penguatan sambungan jaringan keilmuan ke guru? Mengapa guru disebut-sebut dalam penguatan jaringan keilmuan? Bahkan, penyebutannya pun setara dengan penjagaan integritas. Adakah niat darinya untuk menunjuk adanya ketersambungan antara keduanya? Ataukah kedua substansi itu dipesankan tanpa ada pretensi untuk disambungkan? Apa yang bisa ditarik sebagai pelajaran dari nasehat dia di atas?
Karena kampus menjadi simbol moral di atas, maka siapapun di dalamnya tidak boleh kehilangan integritas. Tak sepatutnya mengalami kebangkrutan moral. Karena tidak ada satupun ilmu yang menghalalkan itu terjadi. Tak satupun ilmu yang ada membolehkan dilanggarnya moral dan integritas. Apapun jenis dan cakupan ilmu itu. Siapapun boleh tidak setuju dengan pandangan sesama. Tapi siapapun orangnya tak seharusnya kehabisan stok moral dalam mengekspresikan ketidaksetujuan itu. Kepribadian hanya bisa dilihat saat ia muncul dalam ruang publik.
Sobat,
Pernahkah Anda melihat seseorang memajang foto gurunya di ruang tamu? Pernahkah Anda menyaksikan seseorang memasang foto tokoh idolanya di ruang tamu? Pernahkah Anda memandang di ruang kerja seseorang ada foto figur panutan yang dimuliakannya? Pernahkah Anda melihat di ruang kerja seseorang terpampang foto orang tuanya? Jika ya, inilah rahasianya: Dia sedang ingin menghadirkan sosok guru, tokoh idola, figur panutan, dan orang tuanya ke dalam ruang pribadi dan publiknya. Ruang tamu menjadi penyambung antara ruang privat dan publik itu. Lebih dari itu, orang itu sedang berkehendak untuk menjadikan sosok guru, tokoh idola, dan figur panutan, dan bahkan orang tuanya sebagai pemandu nilai dalam kehidupannya di ruang publik.
Itulah mengapa Prof. Azyumardi Azra segera melengkapi nasehatnya untuk menjaga integritas dengan pesan lanjutan berupa penguatan jaringan keilmuan dengan guru. Jaringan keilmuan dengan guru memang akan mengantarkan kita untuk selalu tersambung dengannya. Bukan sekadar sanad yang tersambung. Melainkan juga ruh keilmuan itu. Saat sanad dan ruh keilmuan itu tersambung kuat, maka kehadiran sosok guru melintasi batas fisik. Bahkan melintasi batas ruang kehidupan. Bisa saja sang guru idola telah tiada, namun nasehat dan pesan nilainya akan selalu abadi dalam setiap detak nafas dan gerak hidupnya. Baik di ruang privat maupun publik.
Jangan kehilangan nilai dalam hidup. Jangan abaikan nilai saat menempuhnya. Jangan mengalami kebangkrutan moral saat menjalaninya. Prof Azyumardi memberi resep: Jagalah integritas. Hiduplah di atas integritas. Karena integritas bagian dari nilai hidup. Karena integritas adalah moral hidup. Kitari praktik hidup dengan nilai. Agar hidup selalu dalam kebajikan. Keagungan ilmu tak akan bisa dinikmati sesama saat pengampunya jauh dari nilai. Apalagi kehilangan atasnya. Karena keagungan ilmu akan ditakar secara langsung oleh perilaku pengampunya. Terus memperkuat jaringan keilmuan dengan guru adalah jangkar pengamannya. Kepentingannya untuk menjamin hidup di atas nilai yang didamba. Bukan sekadar untuk memperkokoh sanad keilmuan semata. Duh relevannya pesan Prof Azyumardi Azra! Untuk kita semua sepanjang masa. Pesan itu tak pernah akan lekang oleh waktu yang gampang sirna. Tak pernah pula akan hilang oleh pergantian zaman yang datang dan pergi dengan cepatnya.