Surabaya 01 Juli 2025 – Dunia politik Indonesia tak lagi hanya soal visi-misi atau debat formal. Di tengah derasnya arus media sosial, politik juga tampil dalam bentuk joget viral, meme lucu, dan narasi “gemoy” yang akrab di telinga generasi muda. Fenomena inilah yang dikaji secara serius oleh mahasiswa Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya dalam skripsinya yang berjudul “Hiperrealitas dalam Kampanye Politik: Analisis Strategi Gimik Media Sosial Prabowo-Gibran di Pemilu 2024.”
Skripsi yang dipresentasikan dalam sidang pada Rabu, 11 Juni 2025, ini menelusuri bagaimana pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka membangun citra dan kedekatan dengan publik melalui strategi digital non-konvensional. Mahasiswa yang menyusun karya ini terinspirasi dari pengalamannya mengikuti program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di perusahaan I2.
“Selama magang, saya mengamati langsung bagaimana politik di media sosial kini sangat kuat, bahkan melebihi media konvensional. Saya melihat fenomena kampanye Prabowo-Gibran yang banyak menggunakan gimik, humor, dan simbol digital. Dari situ saya tertarik untuk mengkaji secara ilmiah,” ujarnya.
Membaca Politik Lewat Kacamata Jean Baudrillard
Yang membuat penelitian ini unik adalah pendekatan teoritis yang digunakan: teori hiperrealitas dari Jean Baudrillard. Menurut sang penulis, pendekatan ini relevan karena menggambarkan bagaimana citra politik hari ini kerap kali tidak merepresentasikan kenyataan sesungguhnya, melainkan “simulacra” atau representasi simbolik yang berulang dan diproduksi secara masif.
Dalam konteks kampanye Prabowo-Gibran, strategi seperti meme “gemoy”, joget-joget lucu, hingga narasi visual yang ringan dianggap sebagai bentuk hiperrealitas. Citra yang dibangun bukanlah refleksi langsung dari substansi politik mereka, tetapi cukup kuat membentuk persepsi positif di benak publik.
“Kampanye sekarang bukan lagi soal fakta atau program. Yang lebih penting adalah bagaimana persepsi dibentuk. Dan di sinilah simbol-simbol digital berperan besar,” jelasnya.
Simulasi Politik di Era Digital
Penelitian ini dilakukan selama sekitar empat hingga lima bulan, dengan fokus utama pada analisis konten media sosial. Setiap unggahan, menurut penulis, menyimpan narasi tersendiri yang tidak boleh dibaca secara permukaan.
“Saya belajar bahwa setiap postingan punya strategi komunikasi tersembunyi. Ada nuansa, ada pesan, ada emosi yang sengaja dibangun. Politik sekarang bukan cuma debat dan baliho, tapi juga siapa yang paling ‘nyambung’ di TikTok,” katanya sambil tersenyum.
Dalam hasil penelitiannya, ia menemukan bahwa kampanye Prabowo-Gibran sangat efektif dalam membangun “kedekatan simbolik” dengan generasi muda. Humor dan kelucuan dijadikan alat untuk menurunkan jarak antara elit politik dan rakyat biasa. Ini merupakan strategi yang disebutnya sebagai bentuk “politik afektif”, yang mengandalkan emosi ketimbang argumen rasional.
Politik, Media Sosial, dan Masa Depan Demokrasi
Salah satu pesan penting dari skripsi ini adalah bahwa media sosial bukan hanya platform komunikasi, tetapi juga medan perang politik. Di sana, opini publik tidak dibentuk oleh argumen terbuka, tetapi oleh konten yang emosional dan mudah dibagikan.
“Saya berharap skripsi ini bisa menjadi kontribusi kecil untuk memahami politik digital Indonesia. Saya ingin terus terlibat dalam isu-isu politik dan media, baik secara akademik maupun profesional,” tutupnya.
Ke depan, ia berharap bisa mengembangkan kemampuan analitis dan kritisnya, mungkin dengan melanjutkan studi S2 atau terjun ke dunia kerja sebagai analis media dan komunikasi politik. Ia percaya bahwa di era banjir informasi seperti sekarang, kemampuan membaca dan membedakan realitas dari representasi adalah modal penting untuk menjaga kualitas demokrasi. (BR/ ed. FyP)
Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan dan program FISIP UINSA, silakan kunjungi dan ikuti media sosial kami di Instagram.