Column
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar/Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya

 فَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚوَمَا عِنْدَ اللّٰهِ خَيْرٌ وَّاَبْقٰى لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۚ

“Apa pun (kenikmatan) yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan hidup di dunia. Sedangkan apa pun (kenikmatan) yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman dan bertawakal hanya kepada Tuhan mereka” (QS. As Syura [42]: 36)

Dalam Al Qur-an, ada sejumlah ayat, yang jika dihayati dengan sungguh-sungguh, dapat menjadi penghapus kesedihan. Ayat di atas adalah satu di antaranya. Kesedihan bisa karena harta. Misalnya, rumah satu-satunya terbakar, atau tanaman padi yang akan dipanen esok hari senilai Rp. 200 juta tiba-tiba dihanyutkan banjir dalam semalam. Atau kapal pengangkut barang senilai Rp. 25 miliar tenggelam tanpa asuransi. Sedih? Pasti! Sebab, kita manusia biasa dan normal. Para nabi juga pernah sedih. Kita diperbolehkan bersedih hati, tapi jangan sampai berpuluh-puluh hari, apalagi sampai berburuk sangka kepada ilahi. Cobalah kita renungkan ayat di atas, bahwa berapa pun kekayaan, amatlah terbatas kita menikmatinya, dan amat tidak sebanding dengan kenimatan surga. Raihlah surga, puncak kenikmatan yang hakiki dan abadi dengan cara menerima cobaan dengan sabar dan senang hati. Berat melakukannya, tapi kita harus melatih hati kita menuju ketinggian iman itu. 

Ayat di atas senada dengan ayat berikut ini,

اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan perbuatan yang baik dan abadi (pahalanya) itulah yang lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu dan menjadi harapan yang terbaik pula” (QS. Al Kahfi [18]: 46).

Ayat ini pernah menjadi pelipur lara seorang ibu di Surabaya yang ditinggal suaminya menghilang tanpa pesan dan tanpa selembar pun uang. Ia tidak kerja, karena pernah diharamkan sang suami. Ia tidak tahu, apa yang bisa dilakukan untuk membiayai hidup dan sekolah tiga anaknya. Suatu malam, ia membaca Al Qur-an, dan ketika sampai pada ayat ini, matanya tak bisa bergerak membaca ayat berikutnya. Ia sama sekali tak mengerti artinya. Ketika membaca terjemahnya, ia bersujud, menangis gembira karena mendapat firman yang menyejukkan, bahwa suami, anak, dan harta bukanlah kesenangan yang abadi, sedangkan pahala dari tanaman kebaikan adalah harapan kebahagiaan yang paling menjanjikan dan hakiki.

Wanita ini kemudian cepat-cepat mengunjungi bibinya yang kaya raya, tapi sedih karena berpuluh tahun belum dikarunia keturunan. Ketika ayat ini dibacakan, sang bibi amat terhibur, lalu sejumlah hartanya diinfakkan ke tempat ibadah agar memiliki masa depan yang terbaik dan abadi di akhirat kelak sesuai janji Allah dalam ayat ini. Baginya, ayat ini rasanya baru turun kemarin hari.

Sedih juga bisa diakibatkan karena teringat dosa-dosa besar masa lalu. Kesedihan jenis ini bisa terkurangi, bahkan tergantikan dengan keceriaan melalui perenungan ayat ini,

قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh Allah mengampuni dosa semuanya. Sungguh Dialah Yang Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar [39]: 39)

          Seorang pendosa bisa saja berputus asa, karena dalam benaknya selalu terlintas, tidaklah mungkin Allah Yang Maha Suci mengampuni dosa besar yang ia kerjakan selama sekian puluh tahun.  Ia pernah melakukan zina dengan istri teman, merampok, membunuh, mencuri dana anak yatim, dan sederet dosa besar lainnya. “Aku najis di hadapan-Nya Yang Maha Suci. Aku keterlaluan. Amat pantas, Allah menyiksaku,” katanya setiap usai berzikir bersama orang sekampungnya. Mendengar dan merenungi ayat di atas, ia melompat kegirangan, bagaikan musafir yang kehausan di padang sahara mendapat segelas es jus buah segar.

Ayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan Surat An Nisā’ [4]: 48 yang menjelaskan, dosa syirik (menyekutukan Allah) tidak diampuni-Nya. Ayat ini hanya berlaku bagi pelaku yang belum bertobat sebelum wafatnya. Bagi yang bertobat, maka dosa syirik itu tetap diampuni Allah SWT,

Ayat berikut juga sangat ampuh menghapus kesedihan,

وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu,” (QS. Al Baqarah [1]: 216).

          Bisa jadi pahitnya hidup seseorang diakibatkan karena penyakit berat yang sedang diderita, kehancuran ekonomi, atau dizalimi orang. Melalui ayat ini, kita terhibur, bahwa semua itu sejatinya bukan musibah, tapi berkah. Bukan pahitnya racun, tapi pahitnya jamu yang akan menyehatkan.

          Suatu hari di hari Idul fitri, seorang ayah bersedih, karena kakinya patah, akibat kecelakaan motor bersama istri dan dua anak balitanya menuju air terjun di sebuah lereng gunung. Ia semakin sedih melihat sejumlah luka di wajah istri dan dua anaknya. Esok harinya, ia bersujud syukur, sebab pada hari ia terjatuh itu, terjadi tanah longsor yang mengubur ratusan pengunjung di destinasi wisata itu. Andaikan tidak jatuh kecekaan, maka ia sekeluarga akan ikut tertimbun batu dan tanah longsor itu. “Oh Allah, Engkau Maha Mengasihi kami,” katanya.

          Orang bijak berkata, “Sejak aku menghayati surat Al Baqarah ayat 216 setiap pagi dan petang, aku selalu bergembira sepahit apa pun musibah yang saya alami.”  (Surabaya, 29-1-2025)