Column UINSA

ENAM JAM BERSAMA PROF. ROEM ROWI

Oleh: Abdul Kadir Riyadi*

Pada saat pandemi Covid-19 mencapai puncaknya, kira-kira pada pertengahan tahun 2021 saya dan Prof. Roem Rowi diberi kepercayaan oleh Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor Ponorogo untuk menguji disertasi berbahasa Arab di kampus tersebut. Saya dan Prof. Roem Rowi dijemput dari Surabaya menggunakan kendaraan yang sama. Kami menempuh perjalanan 3 jam pergi dan 3 jam pulang, sehingga total saya menghabiskan waktu selama 6 jam dalam perjalanan Surabaya-Ponorogo, pulang-pergi bersama Prof. Roem Rowi.

Selama 3 jam perjalanan pergi ke Gontor saya menyempatkan diri untuk diskusi dan mengambil sebanyak mungkin ilmu dari Prof. Roem Rowi. Saya memiliki kesan yang sangat mendalam dan positif mengenai beliau. Sebagai seorang pribadi, Prof. Roem Rowi memiliki kepribadian yang teduh, sabar, dan sangat kebapakan. Beda usia saya dengan Prof. Roem Rowi sangat jauh. Bisa jadi mencapai 20 tahun lebih sehingga saya lebih layak disebut sebagai anaknya. Namun selama 6 jam perjalanan, saya merasa Prof. Roem Rowi sama sekali tidak menganggap saya sebagai orang yang lebih muda apalagi sebagai anaknya. Beliau sangat menghormati saya. Setiap kata yang saya ucapkan selalu didengarkan dengan seksama. Ketika saya berbicara, pandangan mata beliau selalu fokus kepada saya dan ketika saya meminta nasehat, beliau dengan sangat senang hati tapi juga dengan rendah hati mengeluarkan nasihat-nasihatnya. Terasa sangat menusuk dalam jantung saya.

Sebagai pribadi, Prof. Roem Rowi juga memiliki akhlak yang sangat mulia. Beliau sabar, ikhlas, dan tawakal. Ada satu hal yang selalu saya ingat tentang Prof. Roem Rowi bahwa beliau tidak pernah membicarakan aib dan kejelekan orang lain. Jika ada ketidakberesan dalam masyarakat maupun dalam diri orang lain dan komunitasnya, beliau selalu mencoba bermuhasabah dan justru menyalahkan dirinya sendiri. Meanggapi maraknya kasus plagiasi di kalangan dosen umpama, beliau bertanya, “Apa yang kurang dengan saya sehingga kejadian ini sering terjadi. Jangan-jangan saya juga ikut salah dalam kejadian seperti ini”.

Contoh lain: waktu itu karena sedang tinggi-tingginya kasus Covid-19, Prof. Roem Rowi selalu mengatakan, “Bahwa ini adalah ujian bagi saya dan keluarga karena selama ini kami kurang mensyukuri nikmat-nikmat-Nya.” Prof. Roem Rowi sendiri waktu itu termasuk salah seorang yang positif terinfeksi Covid-19, atau setidaknya demam tinggi. Kenyataan tersebut beliau hadapi dengan sabar, dengan ikhlas, tawakal, dan bahkan senyuman. Prof. Roem Rowi tidak mengeluh, apalagi sampai menyalahkan petugas kesehatan yang kurang cekatan menanganginya. Beliau tidak menyalahkan walaupun sebetulnya pengalaman itu beliau alami sendiri. Beliau ketika terinfeksi dan dirawat di rumah sakit, mendapat penanganan yang kurang cepat. Meskipun demikian, beliau sampaikan masukan dan saran dengan penuh senyum di bibirnya. Tidak ada kesan bahwa beliau sedang menyalahkan orang lain.

Itulah akhlak seorang Prof. Roem Rowi. Seorang ulama yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan dalam tapi tidak pernah ada raut kesombongan di wajahnya. Beliau selalu merasa rendah, merasa tidak memiliki apa-apa walaupun saya tahu penguasaan ilmunya sangat dalam. Muridnya sangat banyak, yang kesemuanya mengakui kedalaman ilmu dan wawasannya. Jumlah murid beliau yang sangat banyak dan mencintainya bisa terlihat saat prosesi salat jenazah di Masjid al-Akbar Surabaya yang kebetulan saya juga ikut di dalamnya. Saya sangat kagum melihat jumlah orang yang sangat banyak yang iku salat jenazah di sana. Pada kesempatan itu, salah satu rekan saya bernama Prof. Saiful Jazil mengungkapkan kekagumannya melihat Masjid al-Akbar yang dipenuhi oleh jama’ah. Prof. Saiful Jazil mengatakan, “hebat tidaknya seseorang, baik dan buruknya ia, bisa dilihat saat ia meninggal. Jika yang ikut salat jenazah banyak maka dia adalah orang hebat dan baik.” Prof. Saiful Jazil kemudian menutup ucapannya dengan mengatakan, “bisa tidak ya saya seperti Prof. Roem Rowi, ketika meninggal kelak disalati oleh orang sekian banyak?”

Saya kira kita semuanya bermimpi agar nanti kalau kita semuanya meninggal kita akan disolati dan ditangisi oleh orang banyak seperti Prof. Roem Rowi. Pelajaran yang saya dapatkan dari Prof. Roem Rowi selama 3 jam perjalanan pergi dan 3 jam perjalanan pulang dari Surabaya ke Gontor adalah bahwa kerendahan hati merupakan social capital yang sangat penting. Dengan modal inilah, ia dikagumi dan dicintai oleh ummat.

Prof. Roem Rowi telah mengajarkan kepada kita bahwa ilmu pengetahuan saja tidaklah cukup. Di atas ilmu masih ada adab. Saya ingat sekali ketika beliau mengisi ceramah atau ketika khutbah Jumat di Masjid al-Akbar maupun di masjid-masjid yang lain, beliau selalu menggunakan kata-kata yang halus dan lembut, sehingga kedalaman ilmu beliau terasa masuk menyentuh ke dalam relung-relung hati yang paling dalam.  

Itulah Prof. Roem Rowi yang saya kenal. Walaupun hanya 6 jam saya bersama beliau, namun 6 jam itulah yang membuat saya semakin dekat dan kenal dengan beliau. Walaupun hanya 6 jam namun itu sudah cukup memberikan kesan yang mendalam tentang kepribadian dan keilmuan Prof. Roem Rowi.

“Selamat jalan guruku. Engkau adalah tauladanku. Engkau adalah cerminku, tempat aku mengevaluasi dan bermuhasabah diri. Darimu aku tahu bahwa aku bukan siapa-siapa. Darimu aku tahu bahwa ibadahku masih jauh dari kesempurnaan. Darimu aku tahu bahwa ilmuku masih sangat dangkal, sebatas setetes air di lautan luas. Engkaulah yang mengajariku untuk selalu senyum dalam keadaan apapun.”

Engkau telah diambil dan dipanggil oleh-Nya. Mudah-mudahan engkau mendapatkan tempat yang mulia di sisi-Nya. Engkau adalah pewaris Nabi, karena engkau adalah ulama. Kami semua akan merindukanmu.

*Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UINSA Surabaya