Artikel

Abdul Chalik

Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

Ketika saat kuliah tiga puluh tahun yang lalu saya mengamati posisi tempat duduk teman sekelas. Sejak pertama kali masuk kuliah hingga lulus, posisi mereka selalu berada di tempat yang sama. Ada kalanya di kursi paling depan, di tengah dan bahkan di pojok bagian belakang. Sebagian besar diisi oleh orang yang sama. Terkecuali datang terlambat, di mana kursi mereka sudah diisi oleh yang lain.

Fenomena yang (nyaris) sama saya temukan ketika menjadi dosen. Sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu juga menemukan fenomena yang sama. Sebagian besar mahasiswa yang duduk di kursi paling depan adalah wajah-wajah yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Demikian pula yang duduk di kursi tengah dan bagian belakang.

Meskipun mahasiswa datang lebih awal dimana posisi kursi depan masih kosong, tetapi mereka memilih kursi tengah atau bagian belakang. Mereka adalah orang yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Namun ada pula yang langsung duduk di kursi paling depan meskipun datang terlambat dan banyak kursi kosong di tengah dan belakang.

Pilihan mahasiswa terhadap posisi tempat duduk cukup menentukan kenyamanan mereka di kelas. Tempat duduk tengah dan belakang memungkinkan untuk bergerak lebih leluasa karena jauh dari jangkauan dan perhatian dosen. Begitu pula kesempatan untuk berbisik atau berbicara dengan teman kanan-kiri juga terjaga peluangnya. Apalagi bagi mahasiswa yang memiliki tipologi duck syndrome, terlihat tenang di permukaan namun hatinya selalu gelisah. Begitu pula posisi di tengah dan belakang memiliki kesempatan lebih besar pada saat ujian untuk melihat kanan-kiri, berbisik, menjaga emosi saat tekanan dan (mungkin) juga melihat contekan.

Hal sebaliknya sulit dijumpai pada mahasiswa yang duduk di baris depan. Terlebih lagi di kursi yang berhadapan dengan kursi dosen. Kesempatan untuk toleh kanan-kiri, berbisik dan bahkan menyontek lebih kecil dibandingkan  dengan posisi tengah dan belakang. Posisi terdepan memungkinkan untuk konsentrasi penuh terhadap penjelasan dosen. Begitu pula saat ada mahasiswa yang presentasi.

Ada konsekuensi plus-minus bagi mahasiswa yang berada di posisi kursi paling depan. Bisa saja sewaktu-waktu diminta dosen untuk menjawab pertanyaan, disuruh menata kelas dan menghapus papan tulis, dan bahkan diminta untuk bertanya lebih awal. Namun nama dan wajahnya lebih cepat dikenal. Apalagi yang bersangkutan aktif bertanya dan merespon pernyataan dosen dan teman sekelas. Saya menyebut dengan kemuliaan atau keistimewaan (privilege).

Kesempatan seperti itu tidak dengan mudah didapat bagi mahasiswa yang duduk di tengah apalagi di belakang.  Posisi kursi yang jauh dari jangkauan dosen memungkinkan mereka lebih sulit dikenal baik dari wajah maupun nama. Tidak sedikit di antaranya yang berwajah asing hingga dosen usai menyelesaikan perkuliahan lima belas kali tatap muka. Mungkin juga sudah dua semester berturut-turut bertemu dosen di kelas.  Pertanyaan, “kamu Prodi apa dan semester apa”, sering kali muncul saat dosen berpapasan  di lift maupun di luar kelas.

Namun demikian tidak dapat digeneralisir posisi tempat duduk dengan prestasi akhir mahasiswa. Meskipun ditemukan beberapa riset sebelumnya keterhubungan dengan hal tersebut. Namun dalam tulisan ini tidak dalam rangka untuk menempatkan pandangan bahwa  mahasiswa yang duduk di kursi depan memiliki prestasi akademik dan non akademik lebih baik dibandingkan dengan posisi tempat duduk tengah dan belakang.

Tulisan ini hanya menekankan bahwa berdasarkan pengalaman ada kecenderungan mahasiswa yang berani mengambil resiko lebih memilih posisi tempat duduk di bagian depan. Begitu pula posisi tempat duduk beririsan dengan kebiasaan yang terbangun karena sifat dan karakter yang sudah melekat. Meskipun sifat dan kebiasaan tersebut dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu yang diakibatkan oleh pendidikan dan kematangan emosi.

Namun demikian, dari pengalaman sebelumnya posisi tempat duduk depan ditemukan dengan kecenderungan tipologi yang extrovert (terbuka) dan introvert (tertutup) juga dengan mengambil posisi tempat duduk yang sama meskipun yang cukup dominan dengan tipologi extrovert. Begitu pula, mahasiswa yang (selalu) mengambil posisi paling pojok-belakang tidak serta-merta dimaknai dengan tipologi introvert. Meskipun dalam kenyataannya dengan tipologi extrovert sering kali menempati posisi tersebut. Hal yang sama juga yang ambil bagian di tempat duduk tengah dan pinggir.

Tulisan ini akan diakhiri dengan seruan; jika anda ingin cepat dikenal dosen baik wajah maupun nama pilihlah tempat duduk di paling depan. Jika anda ingin berlatih konsentrasi dan mendapatkan informasi lebih banyak dari dosen maupun teman saat diskusi tidak ada salahnya jika memilih posisi di barisan paling dengan. Begitu pula jika anda berani ambil resiko yang lebih, maka disarakan untuk memilih kursi tedepan. Ingat kata orang bijak, ‘semakin tinggi resiko yang diambil, maka semakin besar peluang untuk mendapatkan yang lebih’. Sebaliknya, ‘semakin kecil resiko yang diambil, maka semakin kecil pula untuk mendapatkan sesuatu yang besar’. (bersambung: “tempat dudukmu menentukan cara berfikirmu”).