وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Wahai Tuhan kami, berilah ampunan untuk kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan membawa keimanan, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hasyr [59]: 10).
Pada ayat sebelumnya, Allah SWT memuji penduduk asli Madinah (anshar) yang dengan sepenuh hati menyambut kedatangan penduduk Makkah yang berhijrah (muhajirin) bersama Nabi SAW. Bahkan, mereka mendahulukan kebutuhan para pendatang itu daripada kebutuhan mereka sendiri. Sebagai kelanjutan, ayat yang dikutip di atas menjelaskan kemuliaan orang-orang mukmin sesudah generasi mereka sampai hari kiamat yang memiliki tiga akhlak utama. Pertama, selalu memohonkan ampunan untuk orang-orang mukmin yang telah mendahului mereka (sabaquunaa bil iman). Kedua, saling mengasihi (taraddhy) dan berupaya menjaga persaudaraan itu dengan menghapus sekecil apa pun kebencian, kemunafikan, buruk sangka, dan segala hal yang merusak hubungan harmonis di antara mereka. Mereka berusaha meniru akhlak Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Penyayang, sehingga bisa hidup harmonis seperti kehidupan dalam surga yang digambarkan Allah dalam dua ayat berikut ini,
وَنَزَعْنَا مَا فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِّنْ غِلٍّ اِخْوَانًا عَلٰى سُرُرٍ مُّتَقٰبِلِيْنَ
“Kami mencabut segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka. Mereka bersaudara (dan) duduk berhadapan di atas dipan” (QS. Al Hijr [15]: 47).
وَنَزَعْنَا مَا فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِّنْ غِلٍّ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهِمُ الْاَنْهٰرُۚ وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ هَدٰىنَا لِهٰذَاۗ وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَآ اَنْ هَدٰىنَا اللّٰهُ ۚ لَقَدْ جَاۤءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّۗ وَنُوْدُوْٓا اَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
“Kami mencabut rasa dendam dari dalam dada mereka, (di dalam surga itu) Sungai-sungai mengalir di bawah mereka. Mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kami (jalan) ke (surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami. Sungguh, rasul-rasul Tuhan kami telah datang membawa kebenaran.” Diserukan kepada mereka, “Itulah surga yang telah diwariskan kepadamu karena apa yang selalu kamu kerjakan” (QS. Al A’raf [7]: 43).
Lalu, apa yang harus kita lakukan agar terbebas dari kebencian, kecewa, sakit hati, dan dendam di antara kita? Pertama, sering-seringlah memohon agar Allah memberi kekuatan untuk menghapus emosi negatif itu. Antara lain dengan doa yang tercantum dalam QS. Al Hasyr [59]: 10 yang diuktip di atas,
وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“(Wahai Allah), janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hasyr [59]: 10).
Kedua, carilah penyebab munculnya rasa benci dan emosi-emosi negatif kepada seseorang itu. Misalnya, karena perilaku buruknya, atau kesalahpahaman, atau bisa jadi hanya karena iri-hati atas kelebihan seseorang. Lalu, gantilah emosi nagatif itu dengan perasaan positif. Misalnya, bahwa orang menzalimi kita itu bukan bermaksud jelek, tapi hanya karena ia tidak mengerti cara menjaga perasaan orang. Juga renungkan, apa untungnya menyimpan dendam dan kebencian. Berusahalah sekuat tenaga untuk membersihkan hati dari emosi negatif. Percayalah, Allah sangat bangga, senang dan tersenyum melihat ikhtiar kita untuk hal itu. Ketahuilah pula, hati adalah “tempat kerajaan Ilahi” yang harus diisi dengan hal-hal suci dan mulia. Hanya orang bodoh yang mengisi gelas emas seharga miliaran rupiah dengan air kencing jerapah.
Dalam ayat ini, perintah menghapus kebencian disebutkan setelah perintah memohonkan ampunan. Ini berarti perintah secara tidak langsung agar kita mengganti kebencian dengan jiwa besar berupa pemberian maaf, bahkan memohonkan ampunan Allah untuk orang yang menyakiti kita.
Ketiga, ketika kebencian, marah dan emosi-emosi negatif itu muncul kembali, segera alihkan pada kegiatan-kegiatan lain yang positif. Misalnya, olah raga yang menyenangkan, melantunkan lagu-lagu kesenangan. Atau berwudulah dan ucapkan zikir-zikir yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis, walaupun mungkin kita tak mengetahui kandungan makna zikir-zikir itu. Toh, kita beberapa kali sembuh dari sakit kepala setelah mengonsumsi obat yang kita sama sekali tidak mengetahui kandungannya. Obat tetap bekerja meredakan sakit, sekalipun kita tak tahu kandungannya.
Keempat, carilah orang yang mau mendengarkan curahan hati dan mampu memberi solusi. Bisa konselor, atau orang bijak lainnya. Lebih baik lagi, curhat kepada Allah. Sebab, Allah lebih serius mendengarkan curhat berjam-jam, dan dijamin mampu memberi solusi. Lakukan curhat sepuas, selengkap, dan selama mungkin dalam sujud. Kita tak perlu berpikir untuk merubah perilaku orang. Rubahlah diri sendiri dengan cara berpikir yang positif. Jika kita menjumpai batu besar di jalan, kita tak perlu berpayah-payah menyingkirkannya, sebab terlalu berat. Lebih baik melewati jalur lain yang memungkinkan kita sampai ke tempat tujuan. Jangan bermimpi bisa menghapus kebencian dalam sekejap. Perlu waktu yang lama. Jika belum berhasil, tetap ada gunanya, minimal, menyelamatkan kita dari semakin menggunungnya emosi negatif itu.
Kelima, ingat dan sadarlah, emosi negatif itu mendatangkan dosa dan murka Allah, serta amat merusak kesehatan. Untuk hidup sehat, tidak cukup hanya dengan mengonsumsi makanan yang berkualitas, olah raga dan multi vitamin. Tapi, mutlak diperlukan hati yang damai dan ceria. Membiarkan kebencian tetap bersarang dalam dada sama dengan bunuh diri secara bertahap. Allah SWT berfirman,
قُلْ مُوْتُوْا بِغَيْظِكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada mereka), “Matilah kamu karena kemarahanmu itu!” Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati” (QS. Ali Imran [3]: 119)
Bersihkan hati, jangan ditunda. Hanya hati yang bersih (qalbun salim) yang berhak menikmati surga.
Sumber: (1) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol. 14, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 145-147, (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 28, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 280-281