Berita

Amman, Jordan. 6 Februari 2024. Diyanah Hanin Sabiila, mahasiswi pascasarjana program studi linguistik Arab, di Yarmouk University, Jordan, adalah alumni Prodi Bahasa dan Sastra Arab angkatan tahun 2019, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya. Setelah menempuh studi sarjana selama tiga setengah tahun dan diwisuda pada bulan Februari 2023, bulan September 2023, ia melanjutkan studi pascasarjana di bumi Syam, tepatnya di bagian utara Jazirah Arab, tepatnya di Hashemite Kingdom of Jordan. Sejak kecil, ia memiliki cita-cita untuk dapat melanjutkan studi ke luar negeri. Hal ini tentu tidak lepas dari dukungan orang tuanya yang senantiasa mengajarkan kepada anak-ankanya untuk terus berfikir global di manapun mereka berada serta senantiasa mengajarkan tentang kesadaran soal pentingnya menuntut ilmu dan berkontribusi untuk agama dan bangsa utamanya pada bidang intelektual.

Diyanah Hanin Sabiila di depan kampus Yarmouk University

Ia menuturkan bahwa saat masih berstatus sebagai mahasiswa semester dua di UINSA. Saat itu ada salah satu dosen yang sedang mengajar di kelas. Sambil menjelaskan materi perkuliahan, beliau juga menjelaskan pengalamannya saat studi di luar negeri. Saat itu, ia yang masih berstatus sebagai “maba”(mahasiswa baru), memberanikan diri untuk bertanya di depan kelas, “Apakah bisa jika kami nanti melanjutkan studi ke luar negeri?”. Dengan nada yang tegas namun tetap santai, dosen itu menjawab “Idzaa shadaqal azmu, wadhaha as-Sabiil”. Jika ada kemauan yang kuat, maka pasti akan ada jalan. Insya Allah selalu ada jalan bagi mereka yang bersungguh-sungguh”. Sejak hari itu, keinginannya untuk melanjutkan studi ke luar negeri semakin kuat.

Maha baik Allah dengan segala kuasa-Nya, alhamdulillah ia dapat melanjutkan studi di timur tengah. Keputusan untuk lanjut studi tepat setelah menyelesaikan sarjana dan memilih Jordan sebagai tempat tujuan studi selanjutnya tentu bukan hal yang sembarangan. Jordan adalah salah satu negara di timur tengah yang berbatasan dengan Suriah di sebelah utara, Arab Saudi di timur dan selatan, Irak di timur laut, serta Palestina. Bahasa yang digunakan saat proses pembelajaran adalah bahasa Arab. Tentu inilah yang menjadi titik penting yang sedang ia cari. Sebab ia tertarik mendalami bahasa al-Qur’an yakni bahasa Arab, maka belajar dan tinggal serta berinteraksi langsung bersama sang pemilik Bahasa tentu akan sangat membantu dalam proses pembelajaran. Selain itu, ia juga dapat mengamati secara langsung bagaimana budaya, cara berkomunikasi, dan keseharian sang pemilik bahasa, yakni orang Arab. Hal ini tentu berkaitan erat dengan keinginannya agar bisa berkontribusi untuk Islam dan masyarakat di bidang linguistik Arab.

Proses pembelajaran di Jordan sangat mirip dengan pembelajaran yang ada di kampus-kampus Indonesia. Tidak seperti di beberapa negara timur tengah lain yang bebas dan tidak mewajibkan presensi, di Jordan terdapat presensi. Proses pembelajaran berjalan dengan tertib. Tidak hanya itu, sistem pembelajaranya menggunakan SKS dan sangat mirip seperti halnya di kampus Indonesia. Mereka dibebaskan untuk mengambil dan memilih mata kuliah. Selain belajar resmi di kampus, mahasiswa juga bisa mengikuti talaqqi. Ada banyak lembaga markaz dan masyayikh yang menyediakan kajian-kajian yang dapat menambah wawasan keislaman. Selain itu, dari segi kemananan, Jordan justru menawarkan suasana aman, damai, dan menyenangkan. Jordan juga merupakan negara yang kaya tempat bersejarah dan makam serta petilasan para nabi dan shahabat, diantaranya adalah Gua Ashabul Kahfi, Kastil Ajloun dan istana-istana peninggalan Romawi, pohon sahabi Nabi, Wadi Mujib, Aqabah, Citadel dan masih banyak lagi.

Ia melanjutkan ceritanya, “Sebagaimana orang yang berpindah ke suatu negara baru dan harus segera beradaptasi, saat itu sayapun juga mengalaminya. Proses adaptasi, tentu menjadi tantangan pertama yang harus dihadapi. Pertamakali datang ke Jordan, saya mengalami proses adaptasi bahasa, budaya, serta cuaca. Jika di Indonesia hanya terdapat musim kemarau dan musim hujan, di Jordan terdapat empat musim. Saya yang terbiasa tinggal di kota yang mayoritas suhunya panas, harus beradaptasi dengan musim dingin yang suhunya dapat mencapai 10 hingga 0 derajat celcius atau bahkan minus.”

Selain adaptasi cuaca, ia juga harus beradaptasi dengan bahasa. Sebagaimana di negara Arab lain, bahasa Arab fushah hanya digunakan dalam proses pembelajaran dan forum-forum resmi. Adapun dalam keseharian, masing-masing negara Arab memiliki dialek yang berbeda. Dalam hal ini, dialek yang digunakan oleh masyarakat Jordan adalah dialek arab Syam, atau biasa disebut sebagai dialek levantine. Awalnya ia merasa kaget sebab sangat berbeda dengan bahasa Arab fushah, namun lambat laun mulai berusaha menyesuaikannya. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri, sebab bahasa adalah kunci dalam berkomunikasi.

Tuturnya kembali, “Tantangan lain yang harus dihadapi saat berkuliah di Jordan sebagaimana mahasiswa Internasional di negara lain, yakni kami harus beradaptasi dengan proses pembelajaran saat perkuliahan di kelas. Tentunya para dosen menyampaikan materi dengan full menggunakan bahasa Arab. Dengan kata lain, untuk memahami suatu materi, kami harus bekerja lebih ekstra dibandingkan mahasiswa lokal karena materi disampaikan dengan bahasa yang bukan merupakan bahasa ibu.”

Berbincangan tersebut ditutup dengan pesan, “Begitulah kurang lebih gambaran dan perjuangan saya yang saat ini sedang menempuh studi pascasarjana di Jordan. Tentu perjalanan menuntut ilmu ini masih panjang, sebab bagi seorang muslim, menuntut ilmu adalah bagian dari ibadah. Hal ini tentu tidak lepas dari peran do’a orang tua, para guru dan dosen serta teman-teman. Melibatkan Allah dalam setiap proses meraih mimpi adalah kunci dari keberhasilan. Bagi siapapun yang saat ini sedang berusaha untuk meraih mimpi, maka seperti apa yang disampaikan oleh dosen saya saat di kelas “Idza shadaqal azm wadhaha as-sabiil”, maknanya yakni selalu akan ada jalan bagi siapapun yang memiliki azam yang kuat.”

Dr. Mirwan Akhmad Taufiq, MA, dosen Bahasa dan Sastra Arab sempat bertemu dengan Diyanah Hanin Sabiila pada saat melakukan penelitian di daerah Ibu Kota Jordan, Amman. Ia memberikan pesan dan nasehat kepada Hanin, “Segera selesaikan studinya di Jordan, bila perlu selesai S3, lalu segera kembali ke BSA, mengabdi dan mengajar di sana. Kami sebagai dosen bersama dosen-dosen lain merasa bangga dengan tekad dan niat yang kuat untuk menempuh pendidikan di Negeri Syam ini. Semoga ilmu Ananda bermanfaat dan penuh dengan keberkahan.”  Ia juga memberikan pesan untuk menjaga silaturahmi dengan dosen-dosen di Indonesia, tidak hanya dengan say hello saja, tapi juga dengan melakukan penelitian bersama.

Dr. Mirwan Akhmad Taufiq (dosen BSA FAHUM UINSA) bersama Diyanah Hanin Sabiila