Column

oleh 
Pardianto, S.Ag., M.Si.
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Pada tanggal 17 Agustus 2024, Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan yang ke-79 dengan penuh semangat patriotik. Upacara bendera, berbagai perlombaan tradisional, dan parade budaya meriah diadakan di seluruh penjuru negeri. Namun, di balik euforia tersebut, terjadi peristiwa politik yang mengundang perhatian, demonstrasi mahasiswa yang menentang Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) serta sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat calon kepala daerah. Aksi ini menjadi simbol perlawanan generasi muda terhadap kebijakan yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip demokrasi.

Dalam artikel ini, kita akan membahas dinamika protes mahasiswa di tengah peringatan Hari Kemerdekaan, alasan di balik penolakan mereka terhadap RUU Pilkada, serta sikap DPR yang menolak putusan MK. Mengapa mahasiswa memilih untuk berdemonstrasi pada momen yang penuh dengan semangat kemerdekaan? Bagaimana hal ini mencerminkan perjuangan demokrasi di era modern?

Latar Belakang RUU Pilkada dan Putusan MK

RUU Pilkada menjadi kontroversi karena DPR mengusulkan perubahan mekanisme yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan keputusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon di Pilkada. Di mana dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf e UU Pilkada, peserta Pilkada harus memenuhi batas usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati-wakil bupati dan calon walikota-wakil walikota saat. Sementara itu, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 memutuskan ambang batas pencalonan (threshold) bagi partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang dapat mendaftarkan pasangan calon (paslon) kepala daerah dalam Pilkada  6,5% – 10% .

MK berupaya menjaga integritas kepemimpinan daerah dengan mengabulkan permohonan penggugat yakni, Presiden Partai Buruh Said Iqbal dan Ketua Umum Partai Gelora Muhammad Anis Matta tentang syarat calon kepala daerah ditingkat provinsi, kota dan kabupaten. Namun, keputusan tersebut mendapat penolakan dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Baled DPR RI menolak Putusan Mahkamah Konstitusi  tentang syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon di Pilkada. Baleg DPR RI memilih untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA). Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 pada 4 Juni 2024 memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengubah Peraturan KPU. Dalam putusan itu, MA menyebutkan batas usia 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati atau wali kota diubah menjadi berlaku saat pelantikan kepala daerah terpilih.

Sedangkan keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang  ambang batas  pencalonan  bagi partai politik (parpol) atau gabungan parpol ditolak oleh Baleg DPR RI.  Hasil kesepakatan Baleg DPR RI tetap menggunakan  Pasal 40 UU Pilkada. Pasal 40 ayat (1) mengatur partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD di daerah yang bersangkutan.  

Penolakan DPR terhadap putusan MK ini semakin memicu kemarahan di kalangan mahasiswa yang menganggapnya sebagai langkah mundur bagi upaya  penguatan demokrasi. Bagi mahasiswa, pengesahan RUU Pilkada dan penolakan DPR terhadap putusan MK adalah sinyal yang mengkhawatirkan tentang masa depan demokrasi di Indonesia.

Peran Mahasiswa sebagai Penjaga Demokrasi

Mahasiswa selalu memainkan peran penting dalam sejarah politik Indonesia, terutama dalam mengawal demokrasi dan kebijakan publik. Pada era 1966, mahasiswa menjadi kekuatan pendorong di balik jatuhnya pemerintahan Soekarno, dan pada tahun 1998. Mereka juga berperan dalam menggulingkan rezim Orde Baru. Dalam kedua momen bersejarah ini, mahasiswa menunjukkan bahwa mereka bukan hanya sekadar penonton, tetapi aktor yang aktif dalam memperjuangkan demokrasi dan keadilan.

Dalam konteks penolakan terhadap RUU Pilkada dan sikap DPR terhadap putusan MK, mahasiswa kembali menempatkan diri mereka sebagai agen perubahan. Aksi demonstrasi yang dilakukan di berbagai kota, khususnya di Jakarta merupakan bentuk protes mereka terhadap kebijakan yang dianggap merusak prinsip-prinsip demokrasi. Bagi mahasiswa, peran mereka adalah menjaga agar nilai-nilai demokrasi tetap hidup, terutama dalam hal partisipasi politik rakyat dan pencegahan kesewenang-wenangan anggota DPR RI.

Penolakan DPR terhadap putusan MK terkait syarat calon  dan batas ambang pencalonan kepala daerah menjadi sorotan dalam aksi mahasiswa. Putusan MK yang membatasi syarat  maju sebagai calon  dan ambang batas pencolonan merupakan langkah yang sangat baik untuk menjaga marwah demokrasi di Indonesia, namun DPR justru menentang putusan ini.

Demonstrasi mahasiswa ini tidak hanya menyoroti RUU Pilkada dan putusan MK, tetapi juga mencerminkan ketidakpuasan yang lebih besar terhadap kondisi politik di Indonesia. Bagi banyak mahasiswa, penolakan DPR terhadap putusan MK dan upaya untuk mengesahkan RUU Pilkada adalah bagian dari gejala yang lebih luas, yaitu munculnya oligarki politik di Indonesia. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini hanya akan menguntungkan elite politik yang berkuasa, sementara rakyat semakin terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan.

Mahasiswa melihat bahwa perjuangan mereka bukan hanya soal siapa yang diuntungkan, akan tetapi juga tentang melawan kekuatan oligarki yang semakin menguasai politik Indonesia. Mereka percaya bahwa demokrasi harus dibangun di atas partisipasi rakyat yang luas dan transparansi, bukan dikendalikan oleh segelintir elite yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi.

Hari Kemerdekaan sebagai Momentum  Perbaikan Demokrasi

Demonstrasi mahasiswa yang terjadi di tengah peringatan Hari Kemerdekaan memiliki makna simbolis yang kuat. Bagi mahasiswa, kemerdekaan tidak hanya berarti bebas dari penjajahan asing, tetapi juga bebas dari penindasan dalam negeri, termasuk penindasan dalam bentuk kebijakan yang merugikan rakyat. Semangat kemerdekaan adalah semangat untuk menjaga kebebasan politik, kebebasan berekspresi, dan partisipasi rakyat dalam proses demokrasi.

Pada Hari Kemerdekaan, rakyat Indonesia mengingat perjuangan para pahlawan yang telah berkorban demi kemerdekaan bangsa. Mahasiswa, melalui aksi mereka, mengingatkan kita bahwa perjuangan tersebut belum selesai. Di era modern ini, perjuangan untuk menjaga demokrasi dan kebebasan politik tetap berlangsung, terutama dalam menghadapi kebijakan yang dianggap merugikan kepentingan rakyat.

Aksi mahasiswa yang menentang RUU Pilkada dan sikap DPR terhadap putusan MK di tengah peringatan Hari Kemerdekaan menunjukkan bahwa semangat perjuangan masih hidup di kalangan generasi muda Indonesia. Mahasiswa, sebagai penjaga demokrasi, terus berperan aktif dalam mengkritisi kebijakan yang dianggap merugikan rakyat dan merusak prinsip-prinsip demokrasi.

Demonstrasi ini juga menjadi pengingat bahwa kemerdekaan tidak hanya berarti lepas dari penjajahan fisik, tetapi juga kebebasan untuk menuntut keadilan, partisipasi politik, dan pemerintahan yang bersih. Dalam semangat inilah, mahasiswa berjuang untuk menjaga agar demokrasi Indonesia tetap hidup dan sehat, serta memastikan bahwa kemerdekaan yang dirayakan setiap tahun benar-benar dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.