Oleh: Ananda Afriza Nur Faizi
Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) selama ini dikenal sebagai dua mitra dagang terbesar dan paling strategis di dunia. Setiap tahunnya, total perdagangan barang dan jasa antara keduanya mencapai lebih dari 1,5 triliun euro, sebuah angka yang menunjukkan betapa erat dan saling menguntungkannya hubungan ekonomi lintas Atlantik ini.
Baik AS maupun UE saling menjadi pasar utama untuk ekspor dan investasi satu sama lain. Produk yang diperdagangkan mencakup berbagai sektor penting, mulai dari otomotif, mesin industri, farmasi, hingga hasil pertanian dan logam seperti baja serta aluminium. Namun, sejak 2018 dan semakin terasa pada 2025, hubungan yang dulunya erat kini mulai mengalami ketegangan akibat kebijakan tarif baru dari pemerintah AS.
Hubungan ekonomi antara AS dan Eropa bukanlah hal yang baru. Dimulai pada tahun 1953, AS mulai terlibat sebagai pengamat dalam European Steel and Coal Community (ECSC), yang kelak menjadi cikal bakal Uni Eropa. Sejak saat itu, interaksi ekonomi terus berkembang.
Pada 1961, AS membuka kantor perwakilan di Brussels. Sebelumnya, pada 1954, Uni Eropa sudah memiliki delegasi di Washington. Langkah ini menjadi fondasi penting dalam membangun kemitraan yang lebih luas.
Memasuki tahun 1990-an, kerja sama semakin terstruktur. Deklarasi Transatlantik menjadi tonggak penting yang memperluas kerja sama tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga sains, Pendidikan, dan budaya. Kemudian, pada 1995, New Transatlantic Agenda diluncurkan, diikuti oleh Transatlantic economic Partnership (TEP) pada 1998, yang bertujuan menyederhanakan peraturan dan mempermudah perdagangan antara kedua wilayah.
Hubungan dagang yang semula erat mulai mengalami gangguan sejak pemerintahan Donald Trump memberlakukan kebijakan tarif pada 2018. Ketegangan ini mencapai puncaknya ketika mulai 1 Juni 2025, AS menerapkan tarif baru sebesar 50% untuk hampir semua produk impor dari UE, kecuali produk yang diproduksi atau dirakit di dalam wilayah AS.
Kebijakan ini menyasar sektor-sektor strategis seperti otomotif, teknologi, farmasi, bahan kimia, hingga industri kedirgantaraan. Meskipun produk energi masih dikecualikan, sekitar dua pertiga dari ekspor bara UE ke AS senilai sekitar 370 miliar euro telah terdampak oleh tarif baru yang diberlakukan sepanjang tahun 2025. Tarif 50% ini diperkirakan akan semakin memperluas dampaknya.
Pemerintahan Trump berdalih bahwa kebijakan ini diterapkan karena negosiasi perdagangan dengan UE tidak menunjukkan kemajuan. Trump menuduh UE melakukan praktik dagang tidak adil, seperti hambatan non-tarif, manipulasi moneter, dan perlakuan hukum yang merugikan terhadap perusahaan AS. Defisit perdagangan AS terhadap UE yang mencapai lebih dari 250 miliar dolar per-tahun juga dijadikan alasan utama.
Penerapan tarif 50% terhadap produk UE bukan hanya berdampak pada harga barang impor di AS, tetapi juga memicu ketidakstabilan rantai pasok dan naiknya biaya produksi, terutama di sektor-sekor yang bergantung pada komponen dari Eropa. Komponen AS pun terancam mengalami penurunan daya beli, sementara inflasi juga berpotensi meningkat.
Secara diplomatik, hubungan AS dan UE menjadi lebih tegang. UE menanggapi dengan hati-hati dan belum segera membalas dengan tarif serupa, lebih memilih menunggu hasil negosiasi. Namun, mereka telah menyiapkan tarif balasan untuk produk AS senilai sekitar 100 miliar euro jika dialog tidak membuahkan hasil.
Langkah AS menuai reaksi dari berbagai negara. Negara-negara G& menyatakan kekhawatiran atas potensi pecahnya perang dagang global dan menyerukan penyelesaian lewat jalur dialog. Sementara itu, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menilai kebijakan tarif sepihak ini melanggar aturan perdagangan internasional, menyusul pengajuan sengketa resmi oleh UE.
Sebagai respons, UE mulai memperluas kerja sama perdagangan dengan negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Tujuannya jelas, yaitu untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan memperkuat posisi tawar di tengah ketidakpastian global.
Negara-negara berkembang yang selama ini teerhubung dalam rantai pasok global juga terdamak oleh kebjakan ini. Meski demikian, situasi ini juga membuka peluang bagi mereka untuk memperluas kerja sama ekonomi dengan mitra baru di luar AS dan UE.
Banyak pihak memperingatkan dampak jangka panjang dari kebijakan ini. Presiden Federal Reserve Chicago, Austan Goolsbee, mengingatkan bahwa tarif sebesar 50% bisa memicu stagflasi–kenaikan biaya hidup bersamaan dengan perlambatan ekonomi. Analisis pasar, Elias Haddad menilai Langkah ini dapat merusak kepercayaan global terhadap kepemimpinan AS dalam sistem perdagangan internasional. Sementara itu, dari sudut pandang hubungan internasional, kebijakan ini juga dianggap beresiko merusak hubungan trans-Atlantik yang selama ini menjadi fondasi kerja sama ekonomi dan politik global.
Ketegangan terbaru dalam hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa mencerminkan keretakan dalam kemitraan trans-Atlantik yang telah terjalin sejak era pasca PD II. Kebijakan tarif 50% yang diberlakukan AS pada 2025, terutama terhadap sektor strategis UE, memperlihatkan bagaimana Keputusan ekonomi sepihak dapat memicu dampak yang luas: dari gangguan rantai pasok, potensi stagflasi, hingga krisis kepercayaan dalam sistem perdagangan internasional. Respons UE yang lebih diplomatis dan strategi disversifikasi mitra dagang menandai perubahan arah dalam hubungan global ke depan. Seperti yang diingatkan oleh pakar hubungan internasional Joseph Nye, kebijakan luar negeri yang efektif tidak hanya bergantung pada pemahaman sistem internasional, tetapi juga harus mempertimbangkan dinamika politik domestik yang kompleks di berbagai negara:
“Effective foreign policymaking requires an understanding of not only international and transnational systems, but also the intricacies of domestic politics in multiple countries.”
Pernyataan Nye menyoroti bahwa kebijakan yang terburu-buru dan tidak memperhitungkan kompleksitas jangka panjang justru bisa berdampak negatif terhadap stabilitas global yang selama ini dibangun dengan susah payah.
Penulis adalah Mahasiswa Aktif Program Studi Hubungan Internasional FISIP UINSA Surabaya.