Articles

Sesibuk apa pun, setiap kali ada teman kerja meminta bantuan karena kesulitan menuntaskan sesuatu pekerjaan, Rena selalu siap sedia mengulurkan tangan. Bukan karena ia kurang gawean, tetapi memang demikian style-nya. Rena dikenal gemar memberikan bantuan menangani pekerjaan, atau sekadar memberi saran penyempurnaan. Padahal kebanyakan rekan kerjanya, lebih fokus pada urusan sendiri-sendiri.

Perilaku Rena serupa dengan Askara, pegawai bagian jaringan internet. Askara sering menyumbangkan ide-ide kreatif dalam proses bisnis organisasi, meskipun ini jauh dari tugas dan fungsinya. Sumbangan ide kreatif Askara kerap diadopsi organisasi dan terbukti bermanfaat. Pula, tidak jarang Askara membantu “menyembuhkan” laptop teman yang ngadat hingga lewat jam kerja.

Di dunia pendidikan, kiprah bu guru Adisti menarik disimak. Guru Biologi ini, di sekolahnya, dikenal pelopor gerakan amal. Ia aktif melakukan kampanye amal, mengumpulkan dana untuk membantu siswa tidak mampu, atau membantu menfasilitasi kegiatan-kegiatan kemanusiaan di lingkungan sekolah tempat ia bertugas. Dengan memperluas peran dan fungsinya dari sekadar guru, Adisti telah mewarnai bentuk tanggung jawab sosial sekolahnya.

Ketiga contoh di atas, dalam teori perilaku organisasi, dikenal sebagai Oragizational Citizenship Behavior (OCB) atau perilaku kewarganegaraan organisasi. Ini menunjuk pada perilaku sukarela dan positif yang dilakukan oleh anggota organisasi di luar tugas dan fungsi resmi. Tentu saja, perilaku ini tidak tercatat dalam deskripsi pekerjaan formal seseorang. Perilaku ini terekspresikan, semata-mata karena panggilan jiwa. Meskipun sifatnya individual, namun perilaku OCB memiliki potensi yang dapat meningkatan kinerja organisasi secara keseluruhan.

Individu dengan model perilaku OCB umumnya selalu ada dalam setiap organisasi mana pun. Tentu saja jumlahnya tidak banyak, bahkan boleh dikata langka. Ini seolah produk istimewa. Selain faktor kepribadian, faktor lingkungan kerja memiliki peran penting dalam tumbuh kembangnya OCB dalam organisasi.

Individu dengan kepribadian pro-sosial umumnya cenderung menunjukkan perilaku OCB. Mereka ini biasanya memiliki rasa empati tinggi, bersifat altruistik, dan peduli terhadap kesuksesan kolega, bahkan kesuksesan organisasi secara keseluruhan. Kepribadian semacam ini bila berada dalam organisasi, biasanya memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi, dan cenderung menunjukkan perilaku OCB. Jiwanya merasa terikat lekat dengan visi, misi, dan nilai-nilai organisasi, dan memiliki keinginan kuat untuk selalu bisa berkontribusi secara sukarela.

Namun demikian, individu dengan potensi OCB tidak senantiasa dapat mengekspresikan kecenderungannya. Bertumbuh atau tidaknya potensi OCB pada individu, dipengaruhi pula lingkungan organisasi. Bisa jadi semangat seseorang padam, hanya karena pandangan nyinyir sesama kolega, atau atmosfer organisasi kurang kondusif.

Meskipun sifatnya personal, perilaku OCB dapat dijadikan virus dan didesiminasikan di lingkungan organisasi. Banyak langkah yang dapat dilakukan, misalnya mendorong budaya organisasi yang mempromosikan nilai-nilai kerjasama, tanggung jawab sosial, dan dukungan kolektif. Ini bisa dimulai dari tingkat manajemen atas dan turun ke seluruh organ.

Agar virus OCB subur persebaran dalam suatu lingkungan organisasi, peran model sangat penting. Pimpinan organisasi dan manajer mesti menjadi contoh yang baik dalam perilaku OCB. Mereka dituntut lebih menekankan keadaban dan kerendahan hati, mengedepankan komunikasi asertif, dan menghargai inisiatif organisasi.

[Fadjrul Hakam Chozin, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]