Column
Syarif Thayib (Dosen UINSA, Trainer, Entrepreneur)

Sudah tiga hari ini penulis merasakan kampus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) beda dengan biasanya. Pagi sebelum matahari tegak menampakkan diri, ribuan mahasiswa baru sudah berkerumun di sejumlah titik untuk mengikuti Welcome Day (12/8). Kemudian dilanjutkan dengan PBAK (Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan) pada keesokan harinya, hingga berakhir Kamis, 15 Agustus 2024.

PBAK bertujuan memberikan pemahaman kepada mahasiswa baru tentang kehidupan kampus, serta memperkenalkan kegiatan akademik dan non-akademik di kampus. Seperti kurikulum, sistem perkuliahan, informasi fasilitas kampus (perpustakaan, laboratorium, ruang kuliah, dan lain-lain) supaya mereka lebih siap dan nyaman menjalani kehidupan barunya di kampus.

Selain itu, PBAK juga dimanfaatkan oleh mahasiswa senior dan dosen untuk memotivasi dan melatih mahasiswa baru, antara lain tentang ragam kecerdasan (emosional, spiritual, finansial, estetika, dan lain-lain) yang mengiringi kecerdasan intelektual. Maklum, di era digital sekarang, Generasi Z seperti mereka harus memiliki multi intelligence.

Ragam kecerdasan di atas berpotensi melejit seiring dengan dinamika kehidupan mahasiswa di kampus. Sebaliknya, mereka juga rentan menjadi “korban” peradaban Post Truth, atau era dimana kebenaran tidak lagi lahir dari fakta, tetapi dari framing (bingkai) rekayasa digital “jahat” dan seterusnya.

Walhasil, zaman now menuntut manusia (baca; mahasiswa) sebagai subyek peradaban memiliki mentalitas pembelajar. Maka dipandang urgent pada momen PBAK memberi “Vaksin” (anti) Malas ala Japan untuk mahasiswa baru. Sebagaimana diberikannya Vaksin Meningitis bagi Jemaah haji/umroh untuk menangkal Virus.

Tanamkan kepada mahasiswa baru penangkal atau “Vaksin” malas yang terbukti efektif membuat orang Japan move on pascaperang dunia kedua. Japan ketika itu porak-poranda, mulai Hiroshima hingga Nagasaki. Sekarang Japan menjelma menjadi negara adidaya di bidang teknologi modern. Pertanyaannya, apa “Vaksin Malas” dimaksud?

Pertama, IKIGAI. Secara harfiah, kata “iki” berarti kehidupan dan “gai” yang berarti nilai. Ikigai dapat diartikan sebagai alasan kita hidup, menjalani hidup mulai bangun pagi. Ajak mahasiswa baru merumuskan apa tujuan hidupnya. Kemudian temukan hal yang membuat mereka semangat untuk istiqamah bangun pagi, karena tujuan hidup merekalah yang menjadi bahan bakarnya. Kalau anak muda masih sulit bangun pagi, jangan harap mereka memiliki semangat membara meraih mimpi.

Kedua, KAIZEN yang juga dikenal dengan nama Continuous Improvement, yang berarti perbaikan atau peningkatan yang dilakukan secara terus menerus. Simulasikan perbaikan-perbaikan kecil apa yang bisa dilakukan setiap hari. Fokus pada itu akan lebih berarti dari pada mencoba melakukan banyak hal sekaligus.

Ketiga, POMODORO, yaitu konsep bekerja dalam interval waktu tertentu. Orang Japan menerapkannya dalam bentuk “nijyū-go bun taisaku,” atau bekerja selama 25 menit tanpa gangguan, dan kemudian istirahat selama 5 menit. Mahasiswa baru dilatih mengerjakan satu tugas selama 25 menit tanpa gangguan HP dan lain-lain. Ambil jeda selama 5 menit, lalu ulangi prosesnya. Metode ini sangat efektif untuk menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dalam waktu yang lebih sedikit.

Keempat, HARA HACHIBU, sebuah pola hidup “berhenti makan sebelum kenyang” yang diingatkan kembali kepada mahasiswa baru untuk mengendalikan kebiasaan makan agar tidak berlebihan. Berhentilah makan saat perut sudah terisi 80%. Hal ini akan meningkatkan energi positif.

Kelima, SHOSIN, adalah konsep yang mengajarkan bahwa untuk mencapai kebijaksanaan dan kemajuan kita perlu mempertahankan pikiran pemula atau pikiran yang terbuka. Praktisnya adalah, mahasiswa dilatih untuk menjadi pembelajar sejati. Kerjakan tugas sebagai seorang pemula dengan rasa ingin tahu yang sama seperti saat melakukan untuk pertama kalinya.

Keenam, WABI-SABI, sebuah konsep estetika yang mengajarkan bahwa segala sesuatu tidak sempurna dan cepat berlalu, sehingga perlu dihargai. Konsep ini dapat membantu mahasiswa baru melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan, menghargai kesederhanaan, dan menerima bahwa semua hal bersifat sementara. Daripada stres memikirkan hal-hal kecil, bertindak (do action) lebih baik daripada menanti kesempurnaan.

Penulis yakin dengan efektifitas keenam “Vaksin” malas ala Japan di atas akan menekan “Virus” Prokrastinasi, yaitu kebiasaan menunda tugas atau pekerjaan, hingga melewati batas waktu akhir. Ini sering melanda mahasiswa dan/ atau civitas akademika. Wallahu a’lam bish-shawab.