Prof. Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H
Guru Besar dan Sekretaris Komisi Etik Senat UINSA Surabaya
Dunia saat ini diliputi rasa cemas pada level ekstra. Bagaimana tidak ketegangan di Timur Tengah akibat ‘beraninya’ Israil menyerang situs-situs nuklir dan militer Teheran dengan dalih mencegah negara Islam Iran memperoleh senjata nuklir. Serangan tersebut telah membangkitkan kemurkaan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei. Atas serangan Israil ke Iran, setidaknya tiga kota penting Israel telah dibombardir oleh rudal-rudal ganas Iran sejak pertempuran kedua negara pecah 13 Juni 2025. Perang dimulai setelah militer Zionis menyerang situs-situs nuklir dan militer Teheran dengan dalih mencegah negara Islam tersebut memperoleh senjata nuklir.
Penyerangan yang sok-sokan Israil atas Iran bukan tanpa sebab. Netanyahu sangat yakin sang bapak Donald J. Trump tidak akan tega membiarkannya jika Iran balas penyerangan tersebut. Dan apa yang diharapkan pun berhasil, ibarat pucuk dicinta ulam pun tiba – USA tanpa ultimatum telah melakukan bom-bardir atas tiga lokasi pengayaan nuklir dan militer Iran, yakni Natanz, Fordo, dan Isfahan pada Minggu 22 Juni 2025. Karuan saja tiga pusat nuklir’ tersebut menjadi sasaran tembakan misil USA.
Tidak mau kalah, serangan USA atas tiga lokasi pengayaan nuklir dan militer Iran itu tidak membuat Iran gentar, tetapi sebaliknya semakin lantang. Puluhan rudal ganas Iran pun melayang di langit Qatar yang membuat kehancuran dahsat. Pangkalan Militer AS Al Udeid di Qatar Dibombardir Iran. Yang membedakan dengan serangan USA atas Iran dengan serangan Iran atas Pangkalan Militer USA adalah Iran memberikan ultimatum terlebih dahulu sebagai aturan main dalam perang. Iran melakukan hal itu karena tidak ingin adanya korban, meski jumlah rudal yang digunakan, Iran sama dengan jumlah bom yang digunakan AS dalam menyerang fasilitas nuklir Iran.
Meski demikian senyatanya, serangan Iran atas Pangkalan Militer AS Al Udeid di Qatar menimbulkan protes negara-negara Timur Tengah yang pro Barat (USA) antara lain Qatar, Turki, Uni Emirat Arab, Irak, dan Arab Saudi.
Meski Donald Trump menyampaikan telah terjadi gencatan senjata antara Iran-Israil setelah USA membombardir tiga lokasi pengayaan nuklir dan militer Iran. Tetapi perang Iran-Israil belum juga menunjukkan kata sepakat untuk “berhenti”. Bahkan beberapa negara dari masing-masing aliansi telah siap mem-backup mereka baik terjun langsung maupun support senjata. Beberapa aliansi besar dari kedua kubu telah siap sedia sewaktu-waktu perang meluas. Hal ini sebagai akibat telah ikut campurnya USA secara langsung dalam ketegangan antara Iran-Israil yang kemudian “dijawab” juga oleh Iran. Aliansi dari kubu Iran ada Rusia, China, Korea Utara dan Pakistan. Sementara dari Israil ada USA, dan negara-negara G7 seperti Italia, Kanada, Prancis, Jerman, Jepang, dan Inggris.
Tampaknya jika perang Iran-Israil tidak segera dipadamkan, tidak menutup kemungkinan akan memicu Perang Nuklir di Timur Tengah sebagaimana sering didesas-desuskan sebagai Perang Dunia ke-3.
Lepas dari permasalahan tersebut penulis hendak menganalisis bagaimana Israil begitu seberani menyerang Iran baik segi teoritis maupun praksis. Yaitu bagaimana sebenarnya hubungan antara Islam dan Barat.
Konteks Teoritis Hubungan islam dan Barat
Israil sebagai sekutu dan sekaligus mitra baik USA ingin menguji kebenaran teori-teori yang berkembang tentang bagimana hubungan antara barat dan Islam.
Menurut John Louis Esposito bahwa hubungan atara Islam dan Barat berlangsung pasang surut dan seringkali diwarnai ketegangan dan bahkan konflik terbuka. Beberapa peristiwa menjadi titik masuk hubungan keduanya. Sebut saja misalnya perang salib yang tidak hanya berdimensi fisik tetapi melalui perang ini, pertemuan Islam dan Barat melahirkan dialog kebudayaan atarkeduanya.
Pandangan John Louis Esposito tentang hubungan Islam dan Barat diposisikan dalam beberapa pandangan intelektual muslim dan orientalis untuk mempertegas orisinilitasnya. Posisi intelektualnya tidak menempatkannya pada salah satu kubu baik yang pro maupun kontra dalam konteks hubungan Islam dan Barat.
Secara historis, hubungan antara Islam dan Barat sebenarnya mempunyai ikatan yang kuat secara teologis yakni ada titik temu dan persamaan antara Islam dan Barat yang mewarisi tradisi Yahudi dan Kristen. Islam sebagaimana Kristen dan Yudaisme adalah agama samawi yang serumpun dalam agama-agama Ibrahim atau Abrahamic religions. Oleh karena itu, menurut John L. Esposito berdasarkan fakta sejarah, sebenarnya antara Islam dan Barat mempunyai ikatan yang kuat dan itu dimulai sejak berabad-abad lalu.
Respon Para pakar Islam di Barat (Orientalis) menganggap kebangkitan Islam sebagai ancaman (threat) baru pasca tumbangnya komunisme. Seperti komunisme, kebangkitan kembali Islam bukan hanya gerakan dakwah (proselytizing) tapi juga gerakan mengubah. Kebangkitan Islam menurut Daniel Pipes-seorang orientalis yang anti Islam- adalah ―sebuah kekuatan yang atavistik dan militan yang didorong oleh kebencian-kebencian terhadap pemikiran politik Barat, mengajak kembali ke medan permusuhan sepanjang zaman melawan Kristen.
Samuel Huntington, menyatakan sumber konflik yang mendasar dalam dunia baru ini bukanlah bersifat ideologis atau ekonomi, hal yang membelah umat manusia dan sekaligus merupakan sumber konflik yang utama adalah kebudayaan. Perang peradaban akan mendominasi peta politik global. Perselisihan-perselisihan yang paling penting, menurutnya akan terjadinya sepanjang garis kebudayaan yang memisahkan Barat dari peradaban non Barat
Konteks Praksis Hubungan islam dan Barat
Kajian tentang hubungan Islam dan Barat ini lahir atas realitas konflik, prasangka, mispersepsi, dan antipati relasi yang selalu menghiasi perjalanan kedua peradaban dan yang terpenting adalah hubungan antar agama. Salah satu peristiwa terpenting yang menjadi awal mula perjumpaan antara Islam dan Barat (Kristen) diawali dari tragedi besar kemanusiaan yaitu Perang Salib (Crusades), dan tragedi ini juga dapat dipandang sebagai permulaan periode awal yang akhirnya membawa penguasaan Barat dan dominasi atas dunia Islam.
Perang Salib ini juga menjadi titik awal persinggungan dan ketegangan kedua peradaban, yakni Islam dan Barat. Kontak Islam dan Barat selanjutnya ditandai dengan meningkatnya perlawanan muslim atas dominasi Barat yang dimulai sejak abad ke XIX. Pada era yang disebut sebagai era kebangkitan dunia Islam ini tidak segera menjadikan Islam sebagai wilayah yang sepi dari kungkungan dunia Barat. Pengaruh ideologi modern, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyekap umat Islam dalam kebimbangan dan kegamangan.
Pemikir Maryam Jamilah, melukiskan Muslim di dunia kini sedang melalui periode yang paling kritis sepanjang sejarah. Modernisme Barat melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya telah menguasai semua peradaban lainnya. Dunia Kristen maupun agama-agama lainnya telah dipandang gagal dalam membendung laju modernisme ini. Kini umat Islam sendiri sebagian ada yang menyambut gembira secara perlahan-lahan dengan adanya peradaban yang universal ini.
Reposisi Negara Islam Timur Tengah
Reposisi negara-negara Timur Tengah dalam hubungan Islam dan Barat melibatkan pergeseran dinamis yang kompleks, dipengaruhi oleh faktor-faktor sejarah, politik, ekonomi, dan ideologi. Beberapa negara berupaya menyeimbangkan hubungan mereka dengan Barat sambil mempertahankan identitas dan kepentingan Islam, sementara yang lain mungkin lebih memilih pendekatan yang lebih independen atau bahkan konfrontatif.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Reposisi dimaksud adalah: Pertama, Sejarah Kolonialisme dan Imperialisme. Pengalaman masa lalu dengan negara-negara Barat, termasuk penjajahan dan intervensi, masih membekas dalam memori kolektif negara-negara Timur Tengah, memengaruhi persepsi mereka tentang Barat dan membentuk sikap kehati-hatian atau bahkan kecurigaan.
Kedua, Peran Amerika Serikat. Dominasi Amerika Serikat di panggung global, terutama dalam urusan Timur Tengah, telah menjadi sumber ketegangan dan perdebatan. Beberapa negara melihat AS sebagai sekutu strategis, sementara yang lain melihatnya sebagai kekuatan yang ingin mendikte agenda regional.
Ketiga, Kepentingan Ekonomi. Kekayaan sumber daya alam, terutama minyak, telah menjadikan Timur Tengah pusat perhatian bagi negara-negara Barat. Ketergantungan pada energi dari Timur Tengah, serta investasi Barat di kawasan ini, menciptakan hubungan yang kompleks dan saling terkait.
Keempat, Ideologi. Ideologi Islamisme, baik dalam bentuk yang moderat maupun radikal, memainkan peran penting dalam membentuk pandangan dunia dan politik negara-negara Timur Tengah. Beberapa kelompok Islamis melihat Barat sebagai ancaman terhadap nilai-nilai Islam, sementara yang lain mungkin lebih terbuka terhadap kerja sama.
Kelima, Konflik Regional. Konflik yang berkepanjangan di Timur Tengah, seperti konflik Israel-Palestina dan perang saudara di beberapa negara, telah memperumit hubungan antara negara-negara Timur Tengah dan Barat. Intervensi asing, baik secara langsung maupun melalui proksi, telah memperparah ketegangan dan memperlambat upaya penyelesaian konflik.
Berdasarkan kenyataan tersebut berbagai pendekatan Negara-negara Timur Tengah dilakukan antara lain: Pertama, Pendekatan Keseimbangan. Beberapa negara, seperti Arab Saudi, berupaya menyeimbangkan hubungan mereka dengan Barat sambil memperkuat hubungan dengan negara-negara lain di luar Barat, termasuk negara-negara di Asia dan Afrika.
Kedua, Pendekatan Independen. Negara-negara seperti Iran, yang memiliki sejarah hubungan yang tegang dengan Barat, cenderung mengambil pendekatan yang lebih independen dan menentang pengaruh Barat di kawasan.
Ketiga, Pendekatan Konfrontatif. Kelompok-kelompok seperti ISIS dan beberapa kelompok militan lainnya, menggunakan kekerasan dan terorisme untuk menentang kehadiran Barat di Timur Tengah, seringkali mengklaim tindakan mereka sebagai perlawanan terhadap penjajahan dan penindasan.
Keempat, Pendekatan Dialog. Beberapa negara, termasuk Turki, berupaya membangun dialog dan kerja sama dengan Barat, sambil tetap mempertahankan identitas Islam dan nilai-nilai budaya mereka.
Dari berbagai diskusi di atas reposisi negara-negara Timur Tengah dalam hubungan Islam dan Barat adalah proses yang dinamis dan kompleks, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Tidak ada satu pun pendekatan yang berlaku untuk semua negara di kawasan ini. Perubahan politik, ekonomi, dan ideologi, serta perkembangan konflik regional, akan terus membentuk hubungan antara Timur Tengah dan Barat di masa depan