Lp2m report, 26 Juli 2024.
UIN Sunan Ampel Surabaya melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat menjadi tuan rumah dalam kegiatan Sosialisasi dan Monitoring Penyelenggaraan Program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) pada PTKI. Kegiatan yang diadakan oleh Tim Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam ini, diselenggarakan pada hari Jum’at, 26 Juli 2024. Dengan dihadiri 28 PTKIN dan PTKIS Se-Jawa Timur dan NTB, kegiatan berlangsung di Greensa Inn Lantai 5 Sidoarjo Jawa Timur.
Pembukaan acara dihadiri oleh Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Prof. Dr. Abd Muhid, M.Si, Koordinator Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Dr. Lilik Huriyah, M. Pd. I, Wakil Satgas PPK UINSA-Dr. Mahir, M.Fil.I. Sekretaris Satgas PPKS, Dr. Muflikhatul Khoiroh, M. Ag. Adapun dari Tim Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, yaitu Khasan Ubaidillah, S.Pd., M.Pd.I, Deddy Abdillah, S.Ag., MM, Romy Yuswana, SE, dan Abrohul Isnaini, M.Hum.
Prof. Dr. Abd Muhid, M.Si, menyampaikan bahwa kekerasan seksual memang seperti fenomena gunung es. Kasus yang terjadi tidak tampak karena para korban takut melapor. Pada kasus kekerasan seksual, UINSA melalui Satgas PPKS menekankan dalam “P” yang pertama, yakni Pencegahan, terhadap Kekerasan seksual karena permasalahan ini sangat multidimensial.
“Kami siap berkolaborasi dan mengimplementasi kebijakan kebijakan dengan para Perguruan Tinggi Islam. Karena ini kita (UINSA) tidak bisa sendirian dalam mengimplementasikan program pencegahan dan penanganan kekerasan seksual,” ujar Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UINSA
Selaras dengan arahan Wakil Rektor 3, Ketua Satgas PPKS UINSA dalam sambutannya, Dr. Lilik Huriyah, M. Pd. I menyampaikan bahwa kegiatan sosialisasi ini akan menjadi pemantik bagi Perguruan tinggi yang belum membentuk satgas PPKS. Tak hanya itu, memang seharusnya sebagai perguruan tinggi harus lebih masif mensosialisasikan berbagai peraturan yang sudah di tetapkan oleh kementrian agama dan Ditjen Pendis (Dekriktorat Jenderal Pendidikan Islam).
“Karena kekerasan seksual itu seperti fenomena gunung es, jadi hanya kelihatan di atas kecil tapi di permukaan laut di bawahnya lebih besar. Butuh keberanian yang luar biasa untuk korban melapor, seperti contohnya seorang mahasiswa yang mengalami tindakan kekerasan namun dia sudah melaksanakan yudisium, jika melapor dia khawatir akan mempengaruhi kelulusannya. Hal seperti ini jika tidak dilaporkan, maka akan terjadi keberulangan pada korban korban yang lain.” ujar, ketua Satgas PPKS UINSA.
Mengutip dari materi yang disampaikan oleh Tim Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam yaitu Khasan Ubaidillah, S. Pd., M. Pd. I, menjelaskan bahwa hambatan yg paling awal terjadi dalam pelaksanaan satgas PPKS, pertama adalah kurangnya dukungan pimpinan. Banyak kampus yang hanya sekadar mengeluarkan peraturan tentang kekerasan seksual namun tidak menjalankannya dengan benar. Kedua, sarana dan prasarana belum memadai.
“Hal ini mengakibatkan lebih banyak korban yang tidak melapor, kemudian malah curhat di sosial media, yang mengakibatkan citra buruk terhadap lembaga.” Jelas Khasan Ubaidillah, S.Pd., M.Pd.I
Dalam penjelasan lebih lanjut, Khasan menyampaikan bahwa Kementrian Agama hadir untuk ikut terlibat dalam proses pendidikan yang Zero Toleran terhadap kekerasan seksual. bukan hanya tingkat universitas tapi juga madrasah dan pondok pesantren. Perlindungan dari kekerasan seksual adalah moderasi dan federasi beragama . Maka dari itu, semua kampus yang ada di Indonesia harus merdeka dari segala bentuk kekerasan dan menjadi lingkungan yang kondusif bagi para mahasiswa untuk mengembangkan potensinya. Peraturan yang dibuat ini, merupakan upaya untuk mencoba mengakomodasi situasi dan kondisi yang sangat mungkin terjadi di lingkungan pendidikan. (Hanin)