Articles

Revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah menjadi topik yang hangat dibicarakan di kalangan masyarakat dan akademisi. Di satu sisi, revisi ini dianggap sebagai langkah penting untuk memperkuat institusi kepolisian dan memastikan keamanan yang lebih baik bagi masyarakat. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa perubahan ini dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah selama beberapa dekade terakhir di Indonesia.

Sejarah dan Konteks Revisi UU Polri

Sejak era Reformasi 1998, Indonesia telah mengalami transformasi besar dalam berbagai sektor, termasuk reformasi di bidang keamanan. Kepolisian Republik Indonesia yang sebelumnya berada di bawah kendali militer, mengalami proses pemisahan dan diatur oleh undang-undang tersendiri, yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU ini dirancang untuk menciptakan institusi kepolisian yang profesional, modern, dan dipercaya oleh masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai tantangan dan perubahan dinamika keamanan mengharuskan adanya revisi terhadap UU tersebut. Pemerintah dan DPR kemudian mengusulkan revisi UU Polri yang mencakup beberapa poin penting yang dianggap perlu untuk memperkuat peran dan fungsi Polri.

Pasal 14, Ayat 1, Huruf o: Penyadapan

Poin ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penyadapan dalam lingkup tugas kepolisian sesuai dengan undang-undang yang mengatur penyadapan. Penyadapan adalah alat yang sangat efektif dalam investigasi kriminal, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kejahatan terorganisir, terorisme, dan korupsi. Namun, kewenangan penyadapan juga memiliki potensi besar untuk disalahgunakan. Penyadapan tanpa pengawasan yang ketat bisa mengarah pada pelanggaran privasi dan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, sangat penting bahwa setiap tindakan penyadapan yang dilakukan Polri harus mendapatkan persetujuan dari pengadilan untuk memastikan bahwa hak privasi individu tetap terlindungi dan bahwa penyadapan hanya dilakukan dalam kasus-kasus yang benar-benar diperlukan.

Pasal 16, Ayat 1, Huruf e dan m: Kewenangan atas Imigrasi

Pasal ini memungkinkan Polri untuk mengajukan permintaan langsung pada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk mencegah orang yang disangka melakukan tindak pidana. Ini adalah langkah yang penting dalam menangani kasus-kasus kejahatan lintas batas, seperti perdagangan manusia dan penyelundupan narkotika. Namun, kewenangan ini juga harus diatur dengan ketat untuk mencegah penyalahgunaan. Kewenangan yang terlalu luas bisa menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, seperti penangkapan sewenang-wenang atau pembatasan kebebasan bergerak tanpa dasar yang kuat. Oleh karena itu, perlu ada mekanisme pengawasan yang jelas dan transparan untuk memastikan bahwa kewenangan ini digunakan secara proporsional dan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Pasal 16, Ayat 1, Huruf n: Pengangkatan Penyidik PNS atau Penyidik Lain

Poin ini memberikan Polri kewenangan untuk merekomendasikan pengangkatan penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau penyidik lain sebelum diangkat oleh Menteri yang berwenang. Ini termasuk pengangkatan penyidik di lembaga-lembaga lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kewenangan ini bisa memperkuat koordinasi antar lembaga penegak hukum dan meningkatkan efisiensi dalam penanganan kasus-kasus kriminal. Namun, ada kekhawatiran bahwa kewenangan ini bisa digunakan untuk mempengaruhi atau mengendalikan penyidik di lembaga lain, yang bisa merusak independensi lembaga-lembaga tersebut. Oleh karena itu, mekanisme pengangkatan penyidik harus dilakukan dengan transparan dan melibatkan berbagai pihak untuk memastikan bahwa prosesnya adil dan bebas dari intervensi politik.

Pasal 16, Ayat 1, Huruf q: Wewenang dalam Ruang Siber

Poin ini memberikan Polri kewenangan untuk memblokir, menindak, memutus, atau memperlambat akses ruang siber untuk keamanan dalam negeri. Langkah ini sangat relevan dalam menghadapi ancaman keamanan siber yang semakin meningkat, seperti serangan siber, penyebaran konten terorisme, dan kejahatan digital lainnya. Namun, tindakan ini seharusnya dilakukan atas perintah pengadilan dengan kekuatan hukum tetap dan biasanya menjadi ranah dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Kewenangan ini harus diatur dengan sangat hati-hati untuk mencegah penyalahgunaan yang bisa mengarah pada sensor berlebihan dan pelanggaran kebebasan berpendapat. Polri harus bekerja sama dengan BSSN dan lembaga terkait lainnya untuk memastikan bahwa tindakan di ruang siber dilakukan sesuai dengan hukum dan tidak melanggar hak-hak digital warga negara.

Penambahan Usia Pensiun: Tantangan Regenerasi

Salah satu perubahan signifikan dalam revisi UU Polri adalah penambahan usia pensiun untuk anggota Polri. Usia pensiun yang semula ditetapkan pada 58 tahun untuk semua anggota, kini diusulkan menjadi 60 tahun untuk perwira dan 65 tahun untuk pejabat fungsional. Perubahan ini bertujuan untuk memanfaatkan pengalaman dan keahlian para anggota senior lebih lama, yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja institusi. Namun, ada kekhawatiran bahwa penambahan usia pensiun ini bisa mengganggu proses regenerasi di tubuh Polri. Regenerasi yang terganggu bisa menyebabkan stagnasi dalam organisasi, menghambat masuknya ide-ide baru, dan mengurangi kesempatan bagi anggota muda untuk naik pangkat dan mengembangkan karier mereka. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang seimbang antara memanfaatkan pengalaman anggota senior dan memastikan adanya regenerasi yang sehat dalam organisasi.

Data

Berbagai data dan deretan temuan tersebut menempatkan kepolisian sebagai institusi yang memiliki masalah besar. Di tengah transisi estafet kekuasaan pemerintahan Jokowi ke Calon Presiden terpilih Prabowo Subianto, DPR secara tiba-tiba menginisiasi RUU Polri. Namun, keberadaan RUU Polri yang seharusnya digagas guna menyelesaikan persoalan-persoalan fundamental yang terjadi di tubuh kepolisian tersebut seperti perihal pengawasan, malah tidak mendapat tempat di dalam RUU ini. RUU Polri justru makin menjadikan Polri sebagai institusi yang rakus kewenangan dan memosisikannya kian “superbody”. Di samping itu, RUU Polri secara substansi tidak memiliki agenda memperkuat perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan memihak kepentingan masyarakat sipil, hingga mengabaikan perbaikan mekanisme pengawasan yang pada gilirannya akan melanggengkan impunitas terhadap anggota kepolisian yang menjadi pelaku kejahatan atau pelanggar hukum.

Melalui RUU Polri ini pula, kepolisian semakin potensial menjadi salah satu aktor keamanan yang dapat dengan mudah dijadikan alat politik (police being as a political tool) untuk memfasilitasi kejahatan penguasa negara bahkan hingga alat kekerasan untuk menciptakan ketakutan di tengah masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan. Bahkan yang tidak kalah membahayakan, RUU Polri ini secara simultan juga dapat memfasilitasi kebangkitan dwi fungsi ABRI dalam tubuh kepolisian sebagai aktor politik (political actor) yang menyimpang dari desain negara hukum dan demokrasi yang dicita-citakan paska reformasi.

Selain itu, dengan berbagai rancangan pasal baru dan perluasan kewenangan, RUU Polri bukannya membenahi institusi Polri dan merancang Polri menjadi lembaga yang profesional dan akuntabel namun justru membuat Kepolisian nampak menjadi institusi superbody. Sayangnya berbagai penambahan kewenangan yang dimuat tidak disertai dengan pengaturan yang tegas dan ketat mengenai  mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai kewenangan aparatur kepolisian.

Berbagai kewenangan tambahan yang disisipkan dalam RUU Polri bahkan berada di luar tugas utama Polri yang diatur oleh Konstitusi yakni sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Berdasarkan kajian terhadap draf revisi UU Polri yang diterima oleh masyarakat sipil terdapat berbagai catatan kritis terhadap pasal-pasal baru revisi UU Polri yang bermasalah, diantaranya  adalah sebagai berikut:

  1. Revisi UU Polri akan semakin memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak untuk memperoleh informasi; serta hak warga negara atas privasi terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital. Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dari RUU Polri memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai denganpenindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri. Sepanjang sejarahnya, tindakan-tindakan memperlambat dan memutus akses internet digunakan untuk meredam protes dan aksi masyarakat sipil, seperti yang dilakukan pada tahun 2019 di Papua dan Papua Barat—sebuah tindakan yang menurut Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Campur tangan Polri dalam tindakan membatasi Ruang Siber ini akan semakin mengecilkan ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi publik, khususnya di isu-isu yang mengkritik pemerintah. Selain itu, hadirnya pengawasan secara eksesif pada ruang siber juga berpotensi melanggar hak atas privasi warga negara serta hak untuk memperoleh informasi serta berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga negara seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN)
  2. RUU Polri akan memperluas kewenangan intelkam yang dimiliki oleh Polri sampai melebihi lembaga-lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Hal ini akan tercapai melalui sisipan Pasal 16A yang menjelaskan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penggalangan intelijen. Penggalangan Intelijen merupakan tindakan untuk mempengaruhi sasaran dengan tujuan merubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan dari pihak yang melakukan penggalangan. Hal tersebut berarti bahwa Polri juga memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS). Pasal 16B RUU Polri mengatur perluasan terhadap kewenangan Intelkam dengan memperbolehkan Intelkam Polri melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional. Tidak adanya definisi dan penjelasan mengenai istilah “Kepentingan Nasional” yang dimaksud, berpotensi memungkinkan Polri untuk mengawasi setiap kegiatan warga negara yang bersuara kritis terhadap pemerintah atau siapapun dinilai perlu diawasi karena alasan “gangguan keamanan.” Selain itu, terdapat kemungkinan Kepolisian menyimpangi prinsip-prinsip HAM dalam implementasi Pasal tersebut, karena Kepolisian memiliki kewenangan diskresi yang sangat luas sehingga dengan dalih “kepentingan nasional”, Kepolisian dapat bertindak menurut penilaian sendiri, ceruk subyektifitas tersebut memberikan ruang yang sangat besar penyalahgunaan wewenang penggunaan kekuatan berlebih secara eksesif yang dalam praktiknya dapat mengarah kepada pelanggaran HAM. Kewenangan untuk melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan yang mengancam “Kepentingan Nasional” kemudian juga diperkuat dengan yang memperluas fungsi intelkam Polri sehingga mampu untuk meminta keterangan dari lembaga-lembaga termasuk kementerian dan termasuk memeriksa aliran dana. Kewenangan pemeriksaan aliran dana ini pun akan tumpang-tindih dengan kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
  3. Kewenangan untuk melakukan penyadapan rentan terjadi penyalahgunaan karena pada RUU Kepolisian, kewenangan penyadapan oleh Polri disebut dilakukan dengan didasarkan pada undang-undang terkait penyadapan, padahal Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan. Selain perluasan kewenangan Intelkam,  Pasal 14 ayat (1) huruf o memberikan Polri kewenangan untuk melakukan penyadapan Kewenangan untuk melakukan penyadapan tersebut akan menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK. UU KPK mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara RUU Polri tidak mengharuskan anggota Kepolisian untuk mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan.
  4. Revisi UU Polri akan semakin mendekatkan peran Polri menjadi superbody investigator.  Menurut Pasal 14 Ayat 1 (g) RUU Polri, polisi memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Selain itu, Proses intervensi dilakukan baik pada tahap rekrutmen Penyelidik dan Penyidik KPK sampai dengan pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS yang tidak dipersyaratkan perlu persetujuan pelimpahan perkara, salah satunya Penyidik Lingkungan Hidup. Pada tahap rekrutmen, Kepolisian memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM sebagaimana termaktub dalam Pasal 16 ayat (1) huruf n Revisi UU Kepolisian. Hal tersebut berpotensi membuat KPK dalam mengangkat Penyidiknya perlu mendapat rekomendasi pengangkatan dari Kepolisian yang membuat semakin jauhnya independensi KPK dalam penanganan kasus karena Penyidiknya ditentukan oleh Kepolisian. Diaturnya perihal penyelidikan dan penyidikan dalam RUU Polri juga nampak mendahului dan tidak sepenuhnya selaras dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), yang proses pembahasannya masih menggantung sejak 2014. Pemerintah seharusnya mendahulukan agenda pembahasan RKUHAP dan menyelaraskan substansi dari RUU Polri dengan RKUHAP. KUHAP sendiri merupakan undang-undang utama yang mengatur perihal Sistem Peradilan Pidana dan KUHAP yang kini berlaku telah berlaku selama 43 tahun sehingga urgensi terhadap pembaruannya seharusnya didahulukan oleh pemerintah. Pada tahap pelaksanaan tugas, terdapat kekhawatiran bahwa seluruh proses penyelidikan dan penyidikan harus mendapat petunjuk dari Kepolisian sehingga berpotensi mengintervensi penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh KPK serta penyidikan kejahatan lingkungan hidup yang membutuhkan petunjuk langsung dari Kepolisian. Dampaknya tidak sederhana, hal ini berpotensi dapat digunakan oleh tersangka atau terdakwa pada proses praperadilan dengan merujuk Pasal 16 ayat (1) huruf o Revisi UU Kepolisian dengan isi Kepolisian memberi petunjuk dan bantuan Penyelidikan dan/atau Penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya. Selanjutnya Pasal 16 ayat (1) huruf p Revisi UU Kepolisian, Kepolisian menerima hasil Penyelidikan dan/atau Penyidikan dari Penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya untuk dibuatkan surat pengantar sebagai syarat sah kelengkapan berkas perkara yang akan diserahkan kepada penuntut umum. Rancangan perluasan kewenangan di bidang penyidikan tersebut menimbulkan permasalahan, yaitu Polri menjadi lembaga penegakan hukum tertinggi terhadap lembaga yang lain dalam bidang penyidikan. Hal ini tentu mengganggu independensi KPK serta kementerian lain yang tidak membutuhkan rekomendasi Kepolisian dalam meneruskan perkara ke Kejaksaan selaku Penuntut Umum yang selanjutnya ke pengadilan.
  5. Lewat RUU ini, polisi juga mendapatkan wewenang untuk memegang komando untuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Sebuah inisiatif untuk membekali masyarakat sipil dengan kewenangan sekuritisasi yang memiliki sejarah kelam pada tahun 1998. RUU Kepolisian masih mengatur perihal Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa. Tetap diaturnya Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian harus dievaluasi karena faktanyajustru memunculkan potensi timbulnya pelanggaran HAM maupun ruang bagi “bisnis keamanan”. Oleh karena itu pengaturan mengenai Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian semestinya ditinjau kembali.
  6. Revisi UU Kepolisian akan menaikkan batas usia pensiun menjadi 60-62 tahun bagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri yang tidak memiliki dasar dan urgensi yang jelas. Dinaikkannya usia pensiun dikhawatirkanberpengaruh pada proses regenerasi dalam internal Kepolisian. Usulan kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah dalam internal Polri. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses rekrutmen dan kaderisasi dalam internal Kepolisian. Ketentuan ini juga harus dilihat secara sistematis dan menyeluruh berkaitan dengan pengesahan RUU ASN maupun RUU Kementerian Negara yang diduga akan memberikan legalisasi praktik “dwifungsi ABRI” yang mengizinkan  Anggota Polri menduduki jabatan sipil di Kementerian Lembaga.
  7. Revisi UU Polri juga menambah daftar kewenangan yang tidak jelas peruntukannya dan menimbulkan tumpang-tindih kewenangan antara kementerian/lembaga negara.  Pasal 14 Ayat 1 Huruf (e) menyatakan polisi akan turut serta dalam pembinaan hukum nasional sehingga menimbulkan ketidakjelasan tentang apa yang akan dilakukan dan bersifat tumpang-tindih dengan kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Pasal 14 Ayat 2 Huruf (c) juga memberikan kewenangan Polri untuk menyelenggarakan sistem kota cerdas (smart city) sehingga memberikan kewenangan tata kelola kota yang terlalu berlebihan. Rencana pemberian Kewenangan kepada Polri dalam tata kelola Smart City juga menunjukkan bahwa rancangan smart city ala pemerintah mengutamakan pendekatan keamanan yang bertumpu pada pengarusutamaan sekuritisasi.
  8. Meski menambah deretan kewenangan terhadap Kepolisian, namun RUU Polri tidak secara tegas mengatur perihal mekanisme pengawasan (oversight mechanism) bagi institusi Polri dan anggotanya. RUU Polri tidak menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian serta Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Evaluasi selama ini, Kompolnas sejatinya bukan lembaga pengawas melainkan lembaga kuasi eksekutif yang memiliki fungsi terbatas membantu memberikan pertimbangan kepada presiden dalam  kebijakan kepolisian. Pengawas Internal Polri termasuk Kode Etik justru acapkali menjadi “benteng” impunitas dan diskriminasi penegakan hukum di internal Polri. Absennya kontrol, pengawasan, dan/atau penindakan efektif tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect) terhadap polisi pelanggar sehingga berpotensi menimbulkan impunitas Kepolisian. Jika RUU Polri secara serius bermaksud menghasilkan institusi Kepolisian yang profesional, akuntabel dan bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM maka sudah seharusnya RUU Polri juga mengatur perihal oversight mechanism yang kuat terhadap institusi Kepolisian.
  9. Proses pembahasan Revisi UU Polri terkesan terburu-buru dan mengabaikan secara total partisipasi publik. DPR secara tiba-tiba menginisiasi Revisi UU Polri, meskipun berdasarkan data resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), revisi UU Polri justru tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Periode 2020-2024. Semangat DPR RI dalam melakukan revisi ini berbanding terbalik dengan 20 tahun pengabaian DPR terhadap Rancangan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) atau 14 tahun pengabaian RUU Masyarakat Adat termasuk RUU KUHAP yang mangkrak. Dengan melihat pola pembentukan kebijakan pro-oligarki atau kepentingan pemilik modal sebelumnya, semisal UU KPK di tahun 2019, revisi UU MK di tahun 2020, revisi UU Minerba di tahun 2020, hingga pembentukan UU Omnibus Law Cipta Kerja maupun UU Omnibus Law Kesehatan kami menduga bahwa revisi ini akan bernasib sama: Bukan untuk kepentingan rakyat, dikebut dan disahkan dengan cara-cara tertutup dan minim partisipasi bermakna dari publik.

Jaminan Keamanan atau Ancaman terhadap Demokrasi?

Revisi UU Polri ini memang bertujuan untuk memperkuat kapasitas Polri dalam menghadapi tantangan keamanan modern. Namun, peningkatan kewenangan yang signifikan ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan dan dampaknya terhadap demokrasi. Kewenangan penyadapan, pengawasan atas imigrasi, pengangkatan penyidik, dan tindakan di ruang siber semuanya memiliki potensi untuk digunakan secara sewenang-wenang jika tidak diatur dengan baik. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat dan transparan, revisi ini bisa mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat.

Untuk mengatasi kekhawatiran ini, penting bagi pemerintah dan DPR untuk memastikan bahwa revisi UU Polri disertai dengan mekanisme pengawasan yang efektif. Pengawasan internal dan eksternal terhadap Polri harus diperkuat untuk memastikan bahwa kewenangan yang diberikan tidak disalahgunakan. Lembaga pengawas seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Ombudsman harus diberi kewenangan yang lebih besar untuk mengawasi pelaksanaan tugas Polri. Selain itu, peran masyarakat sipil, media, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga sangat penting dalam mengawasi dan mengkritisi setiap tindakan Polri yang dianggap berlebihan.

Kesimpulan

Revisi UU Polri memiliki tujuan yang baik untuk memperkuat keamanan dan ketertiban di Indonesia. Namun, peningkatan kewenangan yang signifikan juga membawa risiko yang perlu diantisipasi dengan baik. Pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa revisi ini dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Mekanisme pengawasan yang kuat dan transparan harus diterapkan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dan memastikan bahwa Polri bekerja dengan profesionalisme dan integritas tinggi.

Dengan demikian, revisi UU Polri diharapkan bisa menciptakan institusi kepolisian yang tidak hanya kuat dalam penegakan hukum, tetapi juga dipercaya dan dihormati oleh masyarakat karena bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Indonesia memerlukan kepolisian yang mampu menghadapi tantangan keamanan modern tanpa mengorbankan nilai-nilai demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah.

Artikel ditulis oleh Prof. Dr. Sri Warjiyati, MH., ketika beliau mengisi acara Seminar Nasional yang dilaksanakan pada hari Selasa 23 Juli di Amphitheatre bersama Puskolegis FSH dengan judul “Revisi UU Kepolisian RI Jaminan Keamanan dan Pertaruhan Demokrasi Indonesia