Column UINSA

TRANSFORMASI PEMBELAJARAN
(Kampus Sebagai Rumah Kedua – Seri 4)

 Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Aku punya kebiasaan membuka mesin pencari info jika ingin tahu atas sesuatu. Kulihat siapa saja yang sudah bicara soal itu. Kubukalah, karena itu, laman library genesis. Kuketiklah kata-kata the power of words. Munculllah banyak karya buku yang membahas soal itu. Ketelaah satu-persatu. Lalu kubuka lama lain, google scholar. Muncul pula banyak karya ilmiah soal itu juga. Kata dan konsep the power of words muncul dalam banyak karya. Apa arti temuan itu semua? The power of words adalah isu yang sangat seksi. Mulai dari keilmuan lingusitik, psikologi hingga antropologi sosial memberikan perhatian. Hasilnya, lahir berbagai kajian serius atas konsep kuasa kata. Hingga Stanley J. Tambiah, antropolog sosial kenamaan kelahiran Srilanka, menulis karya khusus dengan judul the magical power of words.  Magisnya kuasa kata.

Kata memang hanya susunan huruf. Tapi ia punya kekuatan untuk bisa membangun pikiran. Mengembangkan perasaan. Dan juga menggerakkan langkah. Kalau positif sebuah kata dilahirkan, maka pikiran, perasaan, dan langkah yang terbangun juga akan cenderung positif. Sebaliknya, jika negatif sebuah kata dikeluarkan, maka pikiran, perasaan, dan langkah yang terlahir juga akan cenderung negatif. Karena itu, banyak pikiran, perasaan, dan perbuatan lahir sebagai hasil dari sebuah kata yang diproduksi. Sekaligus akibat dari kata yang dilahirkan.

Pendidik, karena itu, dianjurkan untuk menggunakan kata positif daripada negatif. “Kata positif” ini bukan saja bisa dilihat dari jenis katanya secara harfiyah. Tapi bisa pula dari makna yang dikandungnya. “Tidak pintar” itu kata negatif dari sisi jenisnya. Tapi, “bodoh” itu negatif dari sisi makna yang dikandungnya. Mengatakan “Anda perlu belajar lagi” lebih baik dari pada kalimat “Anda tidak pintar”. Mengucapkan “Sedikit saja belajar, sebetulnya Anda ini pintar” lebih bermakna daripada mengatakan “Anda bodoh”. Kita semua para pendidik memiliki tuntutan dan tanggung jawab untuk mengembangkan kalimat-kalimat dengan kata positif sebagaimana dimaksud di atas.

Dalam ilmu pendidikan, kalimat-kalimat dengan kata positif lebih membantu nilai pendidikan untuk tumbuh pada diri peserta didik daripada sebaliknya. Akan tumbuh optimisme dalam alam pikiran dan perasaan peserta didik. Akan muncul harapan pada diri peserta didik. Untuk tumbuh dan hidup lebih baik. Itu semua bisa terjadi jika yang diucapkan dan disampaikan oleh pendidik adalah kalimat-kalimat dengan kata yang positif. Jika negatif yang digunakan, peserta didik akan kehilangan harapan lebih baik. Mereka akan terdemotivasi oleh kalimat-kalimat dengan kata negatif yang diumbar oleh pendidiknya.

Jika yang mengemuka dari ungkapan pendidik adalah kalimat dengan kata negatif, pikiran kalut dan perasaan tertekan akan menjangkiti peserta didik. Bedanya zaman dulu dan sekarang, peserta didik era terkini lebih ekspresif dalam mungungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan. Bisa curhat kepada siapa saja. Juga di mana saja. Yang tidak mengerti konteks kejadiannya pun akhirnya jadi tahu karenanya. Yang jauh akhirnya seakan menjadi dekat dengan kejadian itu. Yang tak terlibat dengan kejadian itu akhirnya seakan-akan jadi terkait. Lalu, yang kasuistis akhirnya menjadi konsen umum. Persoalan yang privat pun akhirnya menjadi perhatian publik.

Itu semua karena ruang untuk lebih ekspresif di atas belakangan tercipta semakin lebar. Proses demokratisasi ruang publik menjadi salah satu faktor penyumbangnya. Makin mapan proses demokratisasi itu terjadi, makin lebar pula ruang publik tercipta bagi individu untuk lebih ekspresif dalam menyatakan isi pikiran dan perasaan. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi menjadi penambah kekuatan ruang publik untuk makin terbuka lebar. Saat peserta didik makin terfasilitasi oleh sarana komunikasi publik, maka batas pemanfaatan ruang privat dan publik makin cenderung tipis. Apalagi di tengah kecenderungan infrastruktur seperti itu, orang tua pun lalu tak terlalu seleluasa dan sekuasa era sebelumnya dalam mengelola dan menjamin ekspresi relasional dengan anak-anaknya.

Sebagai konsekuensinya, kini membaca bagaimana pikiran dan perasaan peserta didik hari ini gampang dilakukan. Apalagi mahasiswa. Mengapa? Karena mahasiswa hari ini menyampaikan isi hati dan perasaannya lewat beragam kesempatan yang mudah ditemui. Tak harus ketemu. Tapi kita bisa mendapatinya. Tak harus berjumpa fisik. Tapi kita mudah mengetahuinya. Mereka mudah mencurahkan pikirannya melalui akun media sosialnya. Mereka cenderung mudah memberi komen atas berbagai kejadian melalui akun media sosial mereka. Baik di Instagram, Tweeter ataupun bahkan Facebook. Di situlah kita bisa membaca dan memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan mahasiswa.

Perkuliahan memang di kelas. Tapi pembelajaran bisa di mana saja. Perkuliahan memang butuh ruang kelas. Tapi pembelajaran tak selalu mengharuskan. Karena itu, apa yang diucapkan oleh dosen adalah rujukan. Apa yang dilakukannya adalah referensi hidup. Bagi pembelajar, semua itu akan melekat kuat. Baik dalam pikiran, hati maupun tindakan. Bahkan, diamnya dosen saja akan bermakna mendalam bagi mahasiswa. Karena itu, dosen tak selayaknya melupakan fakta berikut ini: Mahasiswa selalu memperhatikan apa yang diucapkan dan dilakukan oleh dosennya. Bahkan apa yang didiamkan dosen sekalipun. Karena itu, dosen pun harus sadar sesadar-sadarnya bahwa dirinya tetap menjadi sumber nilai bagi mahasiswa meskipun sebagai sumber informasi keberadannya sudah bisa digantikan oleh teknologi.

Apalagi dalam perspektif relasi kuasa, posisi dosen dan mahasiswa tak seimbang. Dosen dalam posisi dominan. Sedangkan mahasiswa subordinat. Dosen dalam posisi memberi nilai. Mahasiswa dalam posisi membutuhkan nilai. Karena itu, dosen dalam posisi menentukan “nasib” mahasiswa. Mahasiswa dalam posisi menunggu “nasibnya” ditentukan oleh dosennya. Teori relasi kuasa mengajarkan, relasi yang tak seimbang selalu menimbulkan ketimpangan. Saat berlangsung berkesinambungan, maka ketimpangan itu akan berubah menjadi penindasan. Pihak subordinat akan tertekan oleh pihak dominan. Kondisi tertekan ini akan bisa berujung pada penindasan jika semakin lama semakin tak bisa dikontrol.

Untuk itulah, dosen killer belakangan kembali menjadi perhatian banyak kampus. Sebab, mahasiswa gelisah dibuatnya. Mereka galau oleh kata-katanya. Mereka tertekan oleh ucapan dan tindakannya. Dosen killer itu lahir karena ketidakmampuan untuk mengelola kata dalam berkomunikasi. Ungkapan yang disampaikan lebih cenderung bermakna negatif. Kata yang digunakan juga lebih cenderung negatif. Baik jenis maupun maknanya. Dan biasanya penggunaan kata dan ungkapan dalam makna cakupan negatif ini juga dilakukan dengan intonasi suara yang cenderung menekan, tampak memaksa dan bahkan mengancam. Apalagi kemudian gestur dan gerak fisiknya biasanya juga cederung ke arah yang serupa.

Akhirnya, mahasiswa pun jadi tertekan dibuatnya. Terkenalah mereka serangan “gegana”. Gelisah, galau dan merana. Begitu kepanjangannya. Dan bayangkan, jika hal itu berlangsung selama satu semester, berarti mahasiswa akan dilanda serangan “gegana” itu sepanjang enam bulan lamanya. Mereka menerima saja situasi itu. Mereka tunduk saja pada kondisi itu. Tak kuasa bersuara. Tak mampu melawan. Apalagi berontak. Itu semua akibat relasi kuasa yang tak berimbang antara mereka dan sang dosen. Dan, mereka selama empat belas hingga enam belas kali pertemuan dalam satu semester berada dalam ketidaknyamanan dan ketidakamanan –khususnya– psikologis.

Maka, pantas sejumlah kampus mulai gerah. Tak bisa membiarkan situasi ini berkelanjutan. Sebab, dampaknya pasti akan berpengaruh pada kualitas pembelajaran mahasiswa. Situasi kelas bisa kacau karenanya. Situasi batin mahasiswa yang terserang “gegana” bisa memuncak dibuatnya. Pembelajaran pun akhirnya tak sampai pada tujuan esensial yang semestinya. Lembaga pun kerap menerima komplain dan aduan yang tak pernah ada ujungnya. Karena itu, wajar pula diperkuatnya kembali berbagai instrumen untuk melindungi mahasiswa dari bahaya praktik dosen killer.

Penting memang menelaah kembali rumus pendidikan yang dikembangkan Dorothy Law Nolte berikut ini: children learn what they live. Anak belajar dari bagaimana dia dibesarkan. Anak belajar dari apa yang dialami dalam hidup. Jika yang dialami positif, maka dia akan tumbuh positif. Begitu pula sebaliknya. Jika yang diterima dalam pengalaman hidupnya negatif, maka dia juga akan tumbuh negatif. Apa maknanya? Sumber pengalaman menjadi kata kuncinya. Sumber pengalaman hidup adalah segalanya bagi peserta didik. Sumber pengalaman menjadi penentu masa depan peserta didik. Karena itu, sumber pengalaman hidup yang diterima anak harus positif. Tak selayaknya anak tumbuh dan dibesarkan dalam pengalaman negatif.

Pertanyaannya, siapakah sumber pengalaman hidup itu? Pendidik salah satu yang utama. Tentu selain orang tua. Karena itulah, pendidik harus selesai dengan dirinya sendiri terlebih dulu. Agar dirinya bisa menjadi contoh bagi peserta didiknya. Sebab kalau sudah kehilangan fungsi sebagai sumber teladan, sebetulnya keberadaan pendidik sudah tak dibutuhkan lagi. Ada IT yang bisa menyediakan sumber dan sekaligus materi informasi yang lebih berwarna dan menarik kepada peserta didik. Mudah diakses. Tidak ribet. Dan ditanya apa saja bisa menjawab. Walaupun isi jawabannya masih membutuhkan verifikasi dan validasi.

Ketidaknyamanan dan ketidakamanan yang ditimbulkan oleh praktik dosen killer menabrak prinsip yang dipersyaratkan oleh konsep Kampus Sebagai Rumah Kedua. Seperti dijelaskan sebelumnya dalam tulisan dengan judul serupa dengan nama konsep (lihat: https://uinsa.ac.id/id/blog/kampus-sebagai-rumah-kedua-seri-1), kenyamanan dan keamanan menjadi prasyarat pengembangan Kampus Sebagai Rumah Kedua itu. Karena itu, kemampuan dosen untuk menjadi teladan dengan kenyamanan dan keamanan –khususnya– psikologis yang dipraktikkannya dalam menyelenggarakan pembelajaran akan menjadi penyumbang bagi terlaksana dan terciptanya Kampus Sebagai Rumah Kedua.

Karena itu, sekali lagi, penting bagi dosen untuk mencamkan prinsip berikut ini: Janganlah kehilangan fungsi sebagai sumber teladan. Apalagi, jika itu terjadi hanya karena tak mampu mengontrol emosi.  Atau bahkan kehilangan jati diri. Sungguh ironis jika semua itu terjadi. Jika pendidik sudah tak mampu berfungsi sebagai sumber teladan, maka peserta didik bisa dibilang tak lagi butuh pendidik. Tak butuh guru. Tak butuh dosen. Dan figur pendidik lainnya. Seperti dijelaskan di atas, kemajuan IT telah mampu menggantikan posisi pendidik sebagai sumber informasi. Karena banyaknya fasilitas yang memungkinkan mereka bisa mendapatkan informasi secara mandiri.

Apalagi peserta didik yang dihadapi adalah mahasiswa. Tentu, hilangnya fungsi sebagai sumber teladan akan segera diikuti secara kontan dengan lenyapnya kebutuhan terhadap keberadaan dosen. Sebab, mereka bisa mendapatlan informasi lebih cepat, lebih mendalam, dan lebih menarik daripada dari dosen itu sendiri. Karena itulah, keberadaan dosen dengan karakter dan kualitas proses penyelenggaraan pendidikan seperti oleh dosen killer seperti diuraikan di atas bisa mempercepat proses semakin tidak butuhnya peserta didik kepada pendidik dengan model seperti itu.

Karena itu, kode etik dosen mendesak untuk diperkuat kembali. Secara lebih serius lagi. Sebagai awal bagi penciptaan atmosfir akademik yang berarti. Dan kampus sendiri penting untuk memikirkan persoalan atmosfir akademik ini. Alasan nilai esensial memang sudah diutarakan sebagai fondasi akademik yang mendasari. Tapi alasan teknis juga harus disikapi. Yakni, administrasi akreditasi. Kebutuhaan ideal terhadap atmosfir akademik sudah menjadi tagihan akreditasi. Baik program studi maupun institusi. Karena atmosfir akademik ini adalah bentuk fasilitasi. Untuk kualitas pendidikan yang tinggi. Di situlah alasan yang bisa ditangkap kenapa atmosfir akademik masuk ke dalam instrumen akreditasi.

Kepribadian unggul dosen adalah awal dari terbentuknya atmosfir akademik yang dibutuhkan. Agar tercipta rasa aman dan nyaman. Yang menjadi prasyarat bagi terciptanya Kampus Sebagai Rumah Kedua yang menjadi idaman. Setelah sarana-prasarana dilengkapi, konsentrasi kampus penting mulai digeser ke penjaminan proses pembelajaran. Ruh perguruan tinggi justeru ada pada proses perkuliahan dan pembimbingan. Jangan sampai semua ini dibiarkan. Ditelantarkan tanpa ada jaminan pengendalian. Lebih-lebih jika proses pembelajaran itu cenderung merugikan. Bagi terciptanya kualitas yang diharapkan.

Maka, benar Dorothy Law Nolte dengan rumus pendidikan children learn what they live yang dia ciptakan.  If children live with hostility, they learn to fight. Jika anak tumbuh-dibesarkan dengan permusuhan, dia belajar berkelahi. If children live with fear, they learn to be apprehensive. Jika anak hidup-dibesarkan dengan penuh rasa takut, dia belajar untuk mudah gugup. If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them. Jika anak tumbuh-dibesarkan dengan rasa aman, dia belajar menaruh kepercayaan. Baik pada dirinya maupun apa saja tentang dirinya.