Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Pemandangan siang itu betul-betul membuatku bersama anak-istriku terkaget sekali. Kala itu di Minggu, 08 Agustus 2024, kami pergi ke Cangar. Meniti lewat Pacet Kabupaten Mojokerto, terus hingga keluar ke daerah Kota Batu. Berkendara saja. Tanpa turun. Hanya ingin melihat suasana pegunungan dan pedesaan. Untuk keluar sebentar dari rutinitas di perkotaan. Sekalian untuk healing tipis-tipis. Memang, lintasan kawasan yang kusebut di atas adalah area pucuk pegunungan. Layaknya kawasan Puncak di Bogor. Hanya, begitu naik ke wilayah Cangar, hampir tak ada gedung bertingkat. Suasana pedesaan menyatu dengan pegunungan. Bahkan rawa dan hutan. Indah sekali panoramanya.

Duh kagetnya di sepanjang perjalanan siang di awal Agustus 2024 itu. Hampir semua berubah. Sepi. Banyak warung dan bisnis kuliner tutup. Suasananya seakan kembali ke sepuluh tahun yang lalu. Dan tentu masa-masa sebelumnya yang telah berlalu. Padahal, saat pandemi mulai melandai dua tahun sebelumnya, kawasan itu ramai sekali. Banyak pelaku usaha warung. Tempat rehat kecil-kecil. Apakah namanya warung kopi. Resto. Kedai. Dan seterusnya. Bahkan, ada juga pelaku bisnis layanan foto berbayar pada latar alam berbasis bunga hias. Sekali foto berbayar lima ribu rupiah. Intinya, banyak sekali usaha bisnis berkembang pasca puncak Pandemi Covid-19 kala itu. Area itu pun sangat padat pengunjung pada saat itu.

Akhirnya tak bisa kututupi. Memang kurasakan sekali bedanya. Saat pandemi mulai melandai, sekitar bulan yang sama dua tahun lalu, aku dan anak-istriku juga jalan-jalan berkendara melintasi area yang sama di atas. Kala itu, suasana ramai sekali. Bahkan, saat berada di Cangar, kendaraan tak bisa dilarikan dengan kencang. Harus pelan sekali. Sebab, di kanan-kiri penuh anak remaja dan dewasa awal. Mereka memarkir motor di pinggir jalan. Bertebaran pula di wilayah itu warung kopi dan makanan. Siap melayani siapa saja yang perlu minuman hangat, makanan ringan dan bahkan makan besar.

Kini semua tak lagi sama. Cangar dan jalanan di sebelum dan sesudahnya kembali seperti zaman sebelum pandemi Covid-19 lalu. Sepuluh tahunan yang lalu. Dan mungkin bahkan waktu-waktu sebelumnya. Area itu kini kembali sepi. Warung kopi dan makanan yang dulu bertebaran tak lagi bisa didapati. Bahkan, kedai dan gubuk tempat jualan mereka pun tampak mulai miring ke kiri dan ke kanan. Reyot. Sudah mulai rusak. Bahkan tampak akan roboh. Pertanda usaha ekonomi-bisnis itu tak lagi beroperasi.

Semua itu tentu pertanda konsumen juga sepi. Tak lagi terlihat anak-anak remaja dan orang dewasa awal yang nongkrong di pinggir jalan. Memarkir motor seperti saat pandemi mulai melandai dulu. Jangankan terdengar suara cengkerama yang cenderung meninggi. Akibat kerenyahan dan kebahagiaan yang dirasakan. Deretan motor saja tak terlihat. Tak ada lagi gerombolan anak remaja dan atau dewasa awal yang nongkrong di atas kendaraan yang diparkir di pinggir jalan sepanjang wilayah itu. Yang terlihat memang kendaraan berlalu. Satu dua saja. Itu pun tampak merupakan penduduk lokal. Terlihat dari plat nomor S dan N pada motor mereka, yang masing-masing menunjuk ke area administrasi Kabupaten Mojokerto dan Malang Raya.

Pandemi Covid-19 tampak menjadi pemantik naik dan turunnya usaha bisnis. Bahasa ilmiahnya, the upside-down business. Usaha bisnis-ekonomi yang naik-turun. Termasuk secara partikular bisnis yang beririsan dengan layanan ruang terbuka. Seperti yang bisa didapatkan di kawasan Cangar. Saat pandemi mulai melandai, warga masyarakat tampak mulai melepas rasa rindu mereka untuk berkumpul bersama dengan rekan dan orang dekatnya. Wilayah terbuka berbasis alam menjadi pilihan utama bagi proses keluarnya mereka dari rumah di saat melandainya Covid-19 kala itu. Karena itulah, wilayah sepanjang Cangar merupakan salah satu kawasan wisata idaman bagi sejumlah warga masyarakat saat itu.

Pada titik itulah, ruang-ruang terbuka di wilayah terdekat menjadi destinasi wisata masyarakat lokal. Mau pergi jauh, mereka masih takut. Apalagi, ketentuan untuk harus melakukan pemeriksaan bebas Covid-19 melalui uji usap masih mengalami proses buka-tutup. Dan pemeriksaan itu berbayar pula. Karena itu, menghabiskan waktu di ruang terbuka berbasis alam nan gratis seperti di wilayah Cangar menjadi titik destinasi penting warga lokal tertentu. Keluar rumah, oke. Melepas rindu terpenuhi. Menikmati ruang terbuka berbasis alam juga didapat. Jaraknya juga tak jauh-jauh. Tak perlu pemeriksaan uji usap. Dan yang lebih penting, tak berbayar.

Tapi, masa keemasan usaha bisnis perwarungan di wilayah Cangar di atas hanya bertahan dua tahun saja. Kini semua telah terjun bebas. Mungkin untuk dikatakan berakhir, sungguh sangat ekstrem. Tapi, fakta yang kudapati tak bisa menutupi situasi sulit yang kini dihadapi oleh pelaku usaha bisnis makanan dan minuman model perwarungan yang ada di wilayah itu. Mau tetap buka, pengunjung tak ada. Mau tetap bertahan dengan usaha itu, rugi makin pasti. Maka, bertahan bukan pilihan. Untung belum pasti. Merugi sudah menanti. Situasi itu tentu sulit sekali bagi pelaku usaha makanan dan minuman model perwarungan. Maka, terjun bebas ke titik suram adalah konsekuensi konkret yang harus dihadapi.

Bergesernya Covid-19 dari pandemi ke endemi menjadi pemantiknya. Kini orang bebas bepergian ke mana saja. Tak seperti dua tahun sebelumnya yang masih dibatasi. Akhirnya, kebutuhan mereka untuk healing tak lagi terbatas dan pendek-pendek jaraknya. Apalagi, ada kebiasaan untuk selalu mencoba bepergian ke destinasi yang tidak pernah dikunjungi. Ada kebiasaan untuk tidak berkegiatan dari itu ke itu terus-menerus. Rutinitas di rumah atau tempat kerja semakin memperkuat kecenderungan orang untuk keluar dari rutinitas, dari itu ke itu pula. Akhirnya, yang berjarak pendek seperti wilayah Cangar tak lagi menjadi satu-satunya tujuan kunjungan. Tak lagi menjadi satu-satunya titik destinasi wisata.

Tingkat kunjungan ke wilayah Cangar pun tampak mulai menurun kembali. Tak setinggi saat pandemi Covid-19 masih menghantui walau sudah mulai melandai. Menurunnya tingkat kunjungan dimaksud tentu berdampak serius ke usaha bisnis makanan dan minuman model perwarungan di atas. Akhirnya, sepinya pengunjung diikuti dengan tutupnya usaha bisnis warung di sepanjang wilayah Cangar. Walaupun dua tahun sebelumnya pernah menikmati masa puncak serapan pasar (saleability). Kejadian ini tentu menyiratkan makna tersendiri. Tentu pula, pengalaman yang terjadi pada usaha bisnis makanan dan minuman model perwarungan di wilayah Cangar ini harus memberi kesadaran baru. Karena itu, penting menjadi pelajaran bersama. Penting dilakukan aksi ambil hikmah atas kejadian itu.

Lalu apa saja pelajaran yang bisa dipetik? Ada dua pelajaran penting yang harus bisa ditarik. Pertama, setiap pelaku usaha penting untuk melakukan penilaian pada setiap kesempatan yang datang. Dalam bahasa bisnisnya dikenal dengan opportunity evaluation. Substansinya adalah pentingnya kerja analisis atas bisnis baru yang potensial. Fokusnya pada dua  hal: kelayakan (viability)dan profitabilitas/tingkat potensi keuntungan (profitability). Dengan fokus pada dua aspek ini, setiap pelaku usaha bisnis akan segera memiliki kecakapan kapan akan menanam investasi, kapan memproduksi, dan bahkan sekaligus kapan harus meluncurkan hasil produksi ke pasar. Ujung dari semuanya, pelaku usaha dari awal sekali akan segera bisa melakukan penilaian atas kelayakan, resiko dan sekaligus potensi keuntungan.

Dalam praktiknya, opportunity evaluation tak bisa jauh-jauh dari keterampilan berpikir, menalar, dan mengingat. Kata “berpikir” dan “menalar” ini berarti adanya proses kreatif dalam diri seseorang untuk melakukan pengartian  dan pemaknaan atas kesempatan yang ada atau datang padanya. Kata “mengingat” menunjuk kepada proses kreatif untuk mengaitkan antara yang baru dan yang sudah lama ada dalam ingatan dan pemahaman. Karena itulah, Hean Tat Keh, Maw Der Foo, dan Boon Chong Lim (Opportunity Evaluation under Risky Conditions, 2002:126) menganggap secara esensial opportunity evaluation sebagai fenomena kognitif, karena opportunity evaluation melibatkan rangkaian proses kognitif yang di antaranya berupa persepsi risiko (risk perception). Semakin kuat keterampilan berpikir, menalar, dan mengingat, semakin kuat pula kapasitas untuk bisa menangkap arti dan makna dari kesempatan yang datang.

Foto: Bagian Depan Artikel Opportunity Evaluation under Risky Conditions

Tujuan akhir dari opportunity evaluation sendiri sangat jelas. Yakni, untuk mengoptimalkan alokasi sumber daya dan meminimalkan risiko. Pada kasus usaha bisnis makanan dan minuman model perwarungan di wilayah Cangar di atas, pandemi Covid-19 penting dilakukan telaah dan analisis model penilaian kesempatan atasnya. Bertebarannya orang dalam jumlah besar di wilayah itu saat pandemi Covid-19 mulai menunjukkan tanda-tanda melandai penting diikuti dengan telaah kelayakan atas potensi kebersinambungannya. Sebab, setiap pelaku usaha tak pernah berharap, apalagi ingin, usahanya hanya berumur seusia jagung. Tumbuh sebentar lalu mati. Alih-alih, setiap mereka justru ingin usahanya langgeng dan menguntungkan.

Lalu, bagaimana telaah kelayakan atas potensi kebersinambungan itu bisa dilakukan? Caranya, dengan melakukan simulasi dengan memasukkan unsur pengandaian. Dalam kasus usaha bisnis ekonomi makanan dan minuman model perwarungan di Cangar di atas, simulasi itu penting dilakukan dengan pertanyaan utama begini: apakah kecenderungan bertebarannya orang dalam jumlah besar seperti ini akan tetap terjaga keberlangsungannya jika saja Pandemi Covid-19 sudah tak lagi ada. Pembacaan seksama atas potensi kebersinambungan ini penting sekali dilakukan agar pelaku usaha bisnis tidak salah langkah dalam membaca kesempatan. Hingga usaha yang dijalankan tak bisa berumur panjang.

Pertanyaannya, bagaimana teknis konkretnya dari kerja pembacaan seksama atas potensi kebersinambungan di atas? Perlu diamati pola perilaku berkonsumi (consuming behavior) warga masyarakat. Sebab, saat perilaku berkonsumsi individu masyarakat berubah, berubah pula kesempatan yang menjadi dasar bagi pelangsungan usaha bisnis itu. Dalam kasus usaha bisnis makanan dan minuman di wilayah Cangar di atas, sebagai misal, pola konsumsi warga masyarakat penting dipahami. Sebab, di tahun-tahun berikutnya, ternyata berakhirnya pandemi Covid-19 diikuti segera dengan perubahan pola perilaku berkonsumsi individu masyarakat.

Mereka memang tetap butuh ruang untuk healing. Karena setiap mereka juga ingin tetap bahagia. Apapun situasinya. Tapi titik tujuan untuk praktik healing itu tak lagi dilakukan di wilayah yang dekat-dekat saja. Lebih-lebih, healing pasca pandemi Covid-19 tak harus dilakukan di ruang terbuka berbasis alam. Artinya, pilihan untuk tujuan melakukan healing makin cenderung variatif. Bahkan cenderung sangat banyak dengan ragam pilihan yang semakin lama semakin mengundang rasa ingin tahu dna mencobanya. Akhirnya, kunjungan pada destinasi wisata alam Cangar pun terkoreksi dengan perubahan perilaku individu masyarakat dimaksud.   

Kedua, pentingnya pelaku usaha untuk melakukan opportunity evaluation di atas dengan cepat dan terukur. Seperti dijelaskan di atas, opportunity evaluation memang sebuah kebutuhan mendasar. Tapi kerja analisis itu harus dilakukan dengan cepat dan terukur. Kata “cepat” ini penting ditegaskan untuk mengiringi dan merespon keberadaan kata “kesempatan” sebagai padanan dari kata opportunity. Itu karena, kesempatan hadir pada saat tertentu. Bisa saja ia datang hanya sekali. Tak akan terjadi lagi. Waktunya pun terkadang tak bisa dipastikan. Atau bisa saja kesempatan itu muncul kembali tapi dalam bentuk dan dengan ukuran yang tak sama.

Karena itu, hanya sigap dan tanggap saja sebagai praktik konkret dari semangat “cepat” yang akan bisa merespon dan memenangi kesempatan. Lemot hanya lawan kata saja dari sigap. Lambat hanya akan menggerogoti semangat tanggap yang dibutuhkan untuk kerja cepat. Karena kesempatan sering tak datang dua kali. Maka, hanya sigap yang akan bisa mengantarkan seseorang untuk bisa meraih dan mengambil keuntungan dari setiap kesempatan yang datang. Karena kesempatan bisa berubah, maka hanya tanggap saja yang bisa membuat seseorang bisa memenangi setiap kesempatan yang datang kepadanya atau terbentang untuknya.   

Risk-taker (“pengambil risiko”), karenanya, sering menjadi solusi. Mentalitas dan pilihan sikap kerja ini sangat dibutuhkan. Untuk kerja cepat. Merespon setiap kesempatan yang datang. Hanya penting dicatat, mental risk-taker itu tak berarti sembarangan. Tak bermakna asal-asalan. Bukan asal hantam kromo semata. Bukan. Sekali lagi bukan. Mentalitas risk-taker itu justeru lahir dari modal diri yang selalu berpikir tanggap terhadap kesempatan yang datang. Karena, cepat berarti emas. Dan kesempatan adalah ladangnya. Semua itu menjadi penumbuh mentalitas risk-taker itu.

Tapi, beriringan dengan nilai “cepat” di atas, mental risk-taker juga mempersyaratkan agar semua aksi ambil kesempatan dilakukan dengan penuh kecermatan. Itulah substansi dari kata “terukur”. Bagaimana caranya? Kesempatan ditelaah. Diperkaya dengan data dukung sebagai penguatnya. Karena itu, data dukung penting dimiliki. Termasuk pengalaman penting dirujuk. Data merupakan kumpulan informasi yang sudah terverifikasi dan sengaja dikoleksi untuk kebutuhan pengambilan keputusan. Pengalaman menjadi penyempurna atas data, meskipun pengalaman bisa saja data itu sendiri. Karena pengalaman, apakah datang dari diri sendiri atau lainnya, juga bisa menjadi kumpulan informasi yang terverifikasi oleh lintasan waktu dan praktik hidup individu dan sosial.

Untuk itu, baik data maupun pengalaman harus dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan telaah penilaian atas kesempatan yang datang. Dengan begitu, ada kekuatan informasi pendukung yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan secara terukur. Sehingga lahir pertimbangan matang atas kesempatan yang datang. Keterukuran dengan demikian identik dengan pertimbangan matang. Dan akhirnya, akan muncul kecakapan untuk mengambil keputusan mengenai kapan dan bagaimana dalam berinvestasi, berproduksi dan sekaligus meluncurkan produk ke pasar. Semua itu dilakukan agar tingkat kebersinambungan usaha bisnis bisa terjaga dengan baik.  

Pandemi Covid-19 telah terbukti mengangkat dan menurunkan usaha bisnis makanan dan minuman di wilayah terbuka berbasis alam seperti Cangar. Saat usaha bisnis lain meredup semasa pandemi Covid-19 masih berlangsung meski mulai meredup, usaha bisnis makanan dan minuman di wilayah wisata alam itu berkembang dengan pesat. Tapi, saat sudah tak ada lagi pandemi itu, berangsur habis pula usaha bisnis itu. Fenomena the upside-down business memang biasa dalam usaha ekonomi. Tapi, yang terjadi pada usaha bisnis makanan dan minuman di wilayah alam terbuka dimaksud adalah bentuk irregularitas. Dan semua itu harus menjadi pelajaran berharga.

Perguruan tinggi pun sebagai usaha layanan di bidang pendidikan patut untuk belajar dari kisah yang terjadi pada usaha bisnis makanan dan minuman di sepanjang wilayah Cangar di atas. Animo publik untuk kuliah di program studi yang diselenggarakan, sebagai contoh, bisa naik-turun. Dan naik-turunnya bisa pula tak seperti pada umumnya. Termasuk bisa terjadi pula pada kesempatan yang bisa datang untuk potensi pengembangan. Semua harus dibaca dengan segala kecepatan, ketelitian dan kecermatan. Di sinilah dibutuhkan kecerdasan untuk membaca tanda-tanda dan atau isyarat kecenderungan preferensi publik. Bisa saja melalui pembacaan atas suara mereka di dunia maya. Atau melalui input-sharing yang dilakukan secara terstruktur-terkelola.